IQRA.ID – Kitab kuning adalah istilah yang sangat khas pesantren di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren telah didefinisikan bahwa kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren.
Demikian disampaikan oleh Dra. Hj. Badriyah Fayumi, Lc., MA, Pengasuh Pesantren Mahasina Darul Qur’an dan Hadits Bekasi, dalam program “Pesantren di Radio” yang disiarkan secara langsung oleh Radio di Elshinta pada Senin (11/4) lalu.
Nyai Badriyah Fayumi menjelaskan bahwa eksistensi kitab kuning sudah ada sejak abad 1-2 Hijriyah yang kemudian berkembang hingga sekarang. Tradisi literasi keislaman ini mampu tetap bertahan, sebab kitab kuning memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas.
“Karena pesantren merupakan pendidikan keislaman, maka di situ harus ada sumber dan rujukan yang otoritatif, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Sumber otoritatif ini kemudian dielaborasi lagi secara lebih dalam, luas, dan spesifik, sehingga menghasilkan karya yang disebut kitab kuning,” jelas salah satu anggota Majelis Masyayikh itu.
Menurut Nyai Badriyah, tradisi keilmuan pesantren berbasis kitab kuning memang unik. Setidaknya ada tiga hal yang mendasari keunikan tersebut. Pertama, tradisi kitab kuning dapat menjamin adanya pembelajaran yang berurutan, berjenjang, dan tuntas.
“Biasanya, ketika santri mempelajari satu kitab dasar sudah khatam, baru kemudian beranjak ke kitab lainnya yang levelnya lebih tinggi. Jadi, kitab itu seperti tangga, jika hendak melangkah ke tangga kedua, maka tangga pertama harus sudah selesai dilewati,” tuturnya.
Ia mencontohkan, ketika ilmu Nahwu yang pertama dipelajari biasanya kitab Jurumiyah, yang kedua ‘Imriti atau pun syarahnya, kemudian dapat beranjak ke kitab Alfiyah. Kalau bidang ilmu Fikih, misalnya diawali dengan belajar kitab Safinah, kemudian ada kitab Taqrib/Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan seterusnya.
Keunikan kedua, lanjut Nyai Badriyah, kitab kuning menjamin keilmuan Islam itu bersanad, yaitu memiliki mata rantai yang jelas dan bersambung hingga Rasulullah Saw. Termasuk juga memiliki klasifikasi bahkan afiliasi yang jelas.
“Dengan mengetahui judul kitabnya saja kita bisa mengidentifikasi suatu kitab dari segi genealogi keilmuannya, sehingga bisa ditelusuri jalur sanad penulis kitab tersebut berguru kepada siapa saja, lalu apakah keilmuannya bersambung sampai ke Rasulullah ataukah tidak,” terang Nyai Badriyah.
Keunikan ketiga, sambungnya, belajar kitab kuning itu sekaligus mengakomodasi berbagai macam pola pembelajaran yang terlembagakan. Sebab, kitab kuning sendiri memiliki beragam nama metode ngajinya, seperti bandongan, sorogan, musyawarah atau bahtsul masail, musyawarah kubra, dan lain-lain.
“Pola-pola pembelajaran seperti ini juga membuktikan adanya variasi pembelajaran yang satu sama lain sama-sama saling mendukung. Sehingga, akhirnya memang tradisi kitab kuning yang ada di pesantren ketika dipelajari dengan serius maka akan menghasilkan satu capaian keilmuan yang tuntas komprehensif, luas, dan mendalam,” tegas Nyai Badriyah. (Zidni)