IQRA.ID – Jaringan Alumni Belanda di Indonesia (NL Alumni Network Indonesia) menggelar program Series #3 Orange Talk dengan tema Religious-Based Populism: A Challenge to Maintain Religious-Pluralism and Peace Security in Indonesia (Populisme Berbasis Agama: Tantangan untuk Menjaga ‘Pluralisme Beragama’, Perdamaian dan Keamanan di Indonesia).

Acara ini dilaksanakan pada Jumat (26/2) dengan diisi oleh narasumber berpengalaman di bidangnya:

Acara yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini dimoderatori oleh  Meta Zahro Aurelia, salah seorang alumni Belanda yang kini tengah melanjutkan studi PhD di kampus VU Amsterdam.

Direktur Nuffic Neso Indonesia, Peter van Tuijl dalam sambutanya mengapresiasi terselenggaranya acara ini, mengingat persoalan toleransi dan pluralisme beragama di Indonesia merupakan salah satu isu penting dan strategis dalam mewujudkan Indonesia yang damai dan aman.

Pada kesempatan selanjutnya, materi kunci (keynote speech) Yenny Zannuba Wahid memaparkan salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahid Foundation yang menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat muslim Indonesia, sejumlah 72%, menolak radikalisme.

Sisanya, kata Direktur Wahid Foundation itu, terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, 0,4% pernah melakukan Tindakan radikal di masa lalu. Kedua, 7,7% bersedia melakukan tindakan radikal di masa depan apabila ada kesempatan. Ketiga, tidak punya sikap.

Dari data tersebut, Yenny sampai menyatakan bahwa Islam yang ramah dan toleran, serta kontra terhadap radikalisme masih menjadi mayoritas. Begitu pun halnya yang pro terhadap sistem demokrasi dan Pancasila sebagai dasar negara masih menjadi mayoritas masyarakat Muslim di tanah air.

Pada sesi narasumber, Dr. Mirza Noor Milla mengungkapkan, bahasa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kuat dalam memegang tradisi agama. Ini adalah sebuah hal fundamental yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Lebih jauh lagi, Ia memaparkan betapa narasi agama juga pada akhirnya juga akan banyak digunakan sebagai regulasi dalam persoalan di tengah masyarakat, mulai dari yang berkaitan dengan hal sosial, politik, hingga ekonomi.

Dr. Mirza Noor juga menambahkan bahwa salah satu pemicu radikalisme adalah adanya ketidakpastian negara dan keadaan negara yang darurat dalam segi sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkan kaum fundamentalis agama mengambil peran.

“Solusi yang ditawarkan dalam menahan Gerakan radikalisme adalah dengan meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, sehinga nantinya akan menimbulkan kepercayaan dari masyarakat. Dan ini adalah cara yang lebih baik daripada menyerang ideologi mereka yang mana akan membuat kelompok tersebut makin besar,” jelasnya.

Sedangkan menurut Dr. Chris J. Chaplin, yang lebih banyak membahas seputar Tren Terkini dalam Mobilisasi Keagamaan, mengulas persoalan politik agama yang memanas di tahun 2016 (baca: kasus Ahok) dan berimbas hingga saat ini.

“Demokrasi yang di satu sisi memberikan dampak positif bagi kebebasan berpendapat dan beragama, namun di sisi lain juga dapat menjadi ancaman bagi keduanya,” ungkapnya, sebagaimana siaran pers yang diterima IQRA.ID.

Adapun dari sudut pandang  hukum Islam dan perlindungan terhadap kaum minoritas, Prof. Mohammad Abdun Nasir menyatakan bahwasa syariah bisa saja menjadi bagian dari agenda populisme dalam Islam.

“Tetapi hal ini membutuhkan pembentukan kembali, dimana syariah disini dipahami sebagai fikih atau bagian dari hukum Islam yang dapat diubah, yaitu yang berkaitan dengan interaksi sosial dan manusia (muamalat),” ujarnya.

Lebih jauh lagi, ia  juga tegaskan bahwasanya perlindungan terhadap kaum minoritas adalah salah satu hal yang tidak bisa dilupakan dalam mewujudkan semangat pluralisme dan kebebasan beragama.

Berbeda dengan para narasumber sebelumnya, Dr. Jan-Willem van Prooijen banyak menyinggung psikologi sosial dan polarisasi masyarakat dalam menyikapi persoalan ini, antara lain soal daya tarik gerakan populis.

Ia menjelaskan bahwa gerakan populis dapat memuaskan masyarakat yang membutuhkan kejelasan epistemik. Hal ini merambah kepada pemaparan gambaran realitas politik yang terlalu disederhanakan, dan secara kognitif mudah dipahami.

“Dengan demikian maka masyarakat akan terdiri dari ‘kelompok baik’ lawan ‘kelompok buruk’, dan memunculkan solusi yang simpel untuk masalah yang kompleks,” paparnya.

Adapun Dito Alif Pratama, alumni officer Nuffic Neso Indonesia, selaku kordinator acara sangat bahagia dan bersyukur atas terselenggaranya acara ini. Selain sebagai sarana untuk memfasilitasi kiprah alumni Belanda untuk berkontribusi positif dalam mengedukasi masyarakat.

“Program ini juga bagian dari upaya memperkuat Kerjasama antar Indonesia-Belanda, khususnya di dalam bidang riset dan pendidikan,” jelasnya. (Amien Nurhakim/MZN)

Leave a Response