Seiring merebaknya virus corona di sejumlah daerah, muncul berbagai masalah yang berhubungan dengannya. Mengingat berbagai model penyikapan pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang beragam. Apapun nama dari kebijakan itu, inti utamanya adalah harus tercapainya social distancing (pembatasan kontak fisik melalui menjaga jarak). Selain itu, tujuan lain dari penyikapan ini adalah menghendaki adanya isolasi kesehatan (hajar shahhy). Sehingga penyakit bisa dilokalisir dan dihambat penyebarannya.
Salah satu praktek ibadah yang terkena imbas di tengah merebaknya wabah Covid-19 ini adalah i’tikaf. Padahal dalam situasi Ramadhan ini, ibadah i’tikaf merupakan salah satu rangkaian yang kerap dilakukan oleh kaum muslimin, khususnya di 10 akhir bulan Ramadhan. Untuk itu, berbicara lebih lanjut mengenai i’tikaf ini, maka ada baiknya kita kaji dari awal (tata cara i’tikaf). Sehingga kemudian sampai pada pembahasan lanjut mengenai kemungkinan lain dari menjalankan i’tikaf Ramadhan di rumah saat wabah corona.
Menurut Al-Bujairamy, i’tikaf itu adalah:
“I’tikaf itu adalah diamnya seseorang di masjid dengan disertai niat.” (Hasyiyah Bujairamy ‘ala Syarhi al-Minhaj, Juz 2, halaman 91).
Dalil asal dari i’tikaf adalah firman Allah Swt.:
“Dan janganlah kalian bercumbu dengan istri-istri kalian sementara kalian sedang i’tikaf di masjid.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187).
Di dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
“Dan kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail alaihimassalam agar menyucikan rumahku (Baitullah) untuk orang-orang yang tawaf dan melaksanakan i’tikaf.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 125)
Berdasarkan kedua ayat ini, maka jelas bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah dilakukan di masjid. Berangkat dari kedua ayat di atas, Ibnu Qudamah (Hanabilah) di dalam kitabnya Al-Mughny, menjelaskan lebih lanjut mengenai i’tikaf sebagai:
“Tinggal diam di masjid menurut tata cara tertentu karena niat melakukan pendekatan atau ketaatan kepada Allah SWT.” (Al-Mughny, Juz 3, halaman 186).
Pernyataan Ibnu Qudamah di atas garis besarnya adalah untuk menyatakan bahwa illat dasar dari i’tikaf adalah di masjid dan itu menjadi kesepakatan dari para ulama. Selanjutnya, Al-Shawi di dalam Hasyiyah al-Shawi ‘ala Al-Syarh al-Shaghir menyatakan mengenai hikmah dari disyariatkannya i’tikaf, yaitu:
“Adalah hikmah dari disyariatkannya i’tikaf yaitu menjernihkan cermin akal, dan menghiasi diri dengan akhlak malaikat yang mulia di dalam segenap waktunya hamba. Oleh karena itu, maka yang dimaksud sebagai i’tikaf yang sempurna adalah berusaha meniru akhlak malaikat. Menenggelamkan waktu-waktunya dalam melaksanakan dan menunaikan ibadah, mencegah nafsu dari mengikuti segala dorongan syahwat serta menjaga lisan dari sesuatu yang tidak patut.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir, Juz 1, halaman 725).
Lebih lanjut, al-Shawi menjelaskan:
“I’tikaf itu, merupakan aktifitas yang di dalamnya terdapat usaha penyerahan diri seorang mu’takif secara total untuk melulu beribadah kepada Allah Swt. untuk tercapainya rahmat. I’tikaf juga merupakan upaya menjauhkan diri dari sibuk dalam urusan dunia yang acap menjadi penghalang seorang hamba untuk senantiasa bermesraan dengan Sang Khaliq. Di dalam i’tikaf, seorang mu’takif berusaha menenggelamkan seluruh waktunya di dalam menjalankan shalat, baik secara hakiki maupun secara hukmi. Mengapa? Karena sesungguhnya maksud asal disyariatkannya i’tikaf adalah menunggu waktu sholat jamaah, dan berusaha menyerupakan diri mu’takif dengan malaikat. Yakni hamba Allah yang tiada pernah durhaka terhadap apa yang diperintahkan kepadanya, dan senantiasa melakukan apa yang diperintahkan. Memahasucikan Allah Swt. di waktu siang dan malam tanpa kenal putus.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir, Juz 1, halaman 725).
Pembahasan tentang menjalankan i’tikaf Ramadhan di rumah saat wabah corona akan dibahas pada tulisan selanjutnya. Bersambung.