Salah satu praktik ibadah yang terkena imbas di tengah merebaknya wabah Covid-19 ini adalah i’tikaf. Adakah kemungkinan lain dari menjalankan i’tikaf  Ramadhan di  rumah saat wabah corona? Lalu bagaimana cara I’tikaf Ramadhan di rumah saat wabah corona?

Menurut Al-Shawi, hikmah dari melakukan i’tikaf adalah penyerahan batin hanya semata kepada Allah Swt. Yaitu melalui upaya menenggelamkan diri dalam beribadah sehingga terbuka pintu rahmat kepadanya.

Tanda-tanda terbukanya pintu rahmat itu adalah kualitas kehambaan mu’takif menjadi meningkat menuju derajatnya malaikat. Hal itu dicirikan dari peningkatan kualitas ibadahnya. Berangkat dari hikmah inilah, maka selanjutnya diperinci mengenai hukum asal i’tikaf.

Para ulama menyatakan bahwa i’tikaf itu hukumnya adalah sunnah muakkadah. Karena statusnya sebagai sunnah ini, maka i’tikaf bisa berubah menjadi wajib bilamana dinadzarkan. Hal itu berkaitan dengan aspek nadzar sendiri yang hanya boleh dilakukan terhadap ibadah yang berhukum sunnah.

Nadzar tidak sah bila dilakukan terhadap ibadah yang sifatnya wajib. Di dalam al-Mughny, Juz 3, halaman 186, Syeikh Ibni Qudamah menuqil sebuah pernyataan dari Ibnu Mundzir mengenai hukum kesunnahan i’tikaf itu secara ijma’, bahwa:

“Para ahli ilmu telah berijma’ bahwa i’tikaf hukumnya adalah sunnah sehingga masyarakat tidak boleh mengganggapnya sebagai ibadah wajib. Kecuali bila seseorang mewajibkan atas dirinya sendiri untuk beri’tikaf karena adanya nadzar. I’tikaf karena adanya nadzar seperti ini hukumnya adalah wajib bagi orang tersebut.” (Al-Mughny li Ibni Qudamah, Juz 3, halaman 186)

Pernyataan Ibnu Mundzir ini disandarkan pada sunnah fi’liyah Baginda Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan:

“Sebagian dari dalil yang menunjukkan hukum kesunahan i’tikaf adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa mendawamkan i’tikaf (sehingga berlaku adat). Semata karena niat taqarrub kepada Allah Ta’ala dan mencari fahala dari i’tikaf. Para istri beliau juga senantiasa melakukan i’tikaf baik semasa beliau masih ada, maupun sepeninggalnya. Adapun yang menunjukkan bahwa i’tikaf bukan merupakan ibadah wajib (melainkan hanya sunnah semata), adalah karena beberapa sahabat ada yang tidak melakukan i’tikaf. Sementara perintah dari Nabi shalllahu ‘alaihi wasallam kepada mereka juga tidak dijumpai kecuali hanya sebatas pihak tertentu yang dikehendaki beliau.” (Al-Mughni li Ibn Qudamah, Juz 3, halaman 183).

Agar seorang hamba mudah melakukan upaya penenggelaman diri dalam melakukan ibadah selama melakukan i’tikaf, maka berlaku ketentuan mengenai tempat i’tikaf. Sudah pasti, karena tujuan utama dari i’tikaf itu adalah memperbanyak sholat. Maka hal-hal yang berkaitan dengan tempat menjadi mutlak membutuhkan perincian.

Pertama, karena tempat sholat yang paling utama adalah berada di tiga masjid utama berdasar nash, maka i’tikaf yang paling utama juga berlaku atas tiga masjid tersebut. Ibnu al-Mundzir menyampaikan:

“Para ulama bersepakat bahwasanya i’tikaf hukumnya adalah boleh dilakukan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Eliya (Baitu al-Maqdis).”  (Al-Ijma’ li Ibn Al-Mundzir, halaman 50).

Sudah barang tentu, pernyataan Ibnu Mundzir ini adalah berangkat dari latar belakang agar konsentrasi melakukan perjalanan ke tiga masjid di atas sebagai tempat untuk i’tikaf. Alhasil, hukumnya pun menjadi yang paling utama di banding masjid-masjid lainnya pada aspek ini.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana bila i’tikaf itu dilaksanakan di masjid-masjid lainnya?

Para ulama’ kemudian menjawab, bahwa hukum masjid lainnya adalah disamakan dengan ketiga masjid di atas. Bahkan ada sebuah pernyataan bahwa sebaik-baik tanah, adalah tanah yang di situ didirikan masjid. Alhasil, di manapun berada, i’tikaf di masjid selain ketiganya, hukumnya adalah juga sunnah muakkadah. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh kalangan Malikiyah dan Syafiiyah berikut ini.

Kedua, para ulama dari kalangan Madzhab Maliki dan Syafi’i menyatakan kebolehan pelaksanaan i’tikaf itu tidak terpaku pada tiga masjid di atas. Pendapat ini berangkat dari landasan sifat keumuman dalil yang menyatakan:

“Jangan kalian mencumbu istri-istri kalian disaat sedang i’tikaf di masjid.” (Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 187

Salah satu ulama otoritatif dari kalangan Malikiyah berkata:

“Tiada yang dinamakan i’tikaf melainkan di masjid. Oleh karenanya, tidak sah melakukannya di rumah, di mushalla-mushalla, dan yang identik dengannya, sebagaimana firman Allah SWT “sementara kalian sedang i’tikaf di masjid”. Alhasil, i’tikaf sah hanya jika di masjid, di manapun masjid itu berada. Meski bukan selain dari tiga masjid besar di atas, dan di negara manapun mu’takif berada.” (al-‘Adawy, Hasyiyatu al-Adawi ‘ala Syarhi Kifayat al-Thalib al-Rabbany, Damaskus: Dar al-Fikr, tt., Juz 1, halaman 465).

Dari kalangan Syafiiyah, Syeikh Khathib al-Syirbiny menegaskan:

“I’tikaf hanya sah bila dilakukan di masjid” (Al-Syirbiny, Mughny Muhtaj ila Ma’rifati Ma’any Alfadhi al-Minhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 2, halaman 189).

Kedua pendapat di atas menegaskan bahwa semua masjid di dunia ini, bisa dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan i’tikaf, tanpa pandang bulu. Dan rupanya pendapat ini diakui secara ijma’ oleh kalangan 4 madzhab.

Akan tetapi, ada perbedaan pendapat mengenai manakah yang paling afdlal untuk melakukan i’tikaf dari kesekian masjid selain masjid yang tertera dalam nash? Di sini para ulama’ kemudian menyatakan beragam pendapat.

Ketiga, Masjid jami’ merupakan masjid yang paling afdlal untuk melakukan i’tikaf. Apa itu masjid jami’? Syeikh Khathib Al-Syirbiny menjelaskan:

“Masjid jami adalah masjid yang didirikan sholat Jumat padanya. Ia merupakan tempat yang paling utama untuk i’tikaf dibanding masjid lainnya yang bukan masjid jami’. Karena alasan keluar dari khilaf ulama yang menyatakan wajib dilakukan pada masjid jami’.

Alasan lainnya, karena masjid jami’ lebih banyak jamaahnya, serta memungkinkan lepas dari keluar dari kondisi i’tikaf untuk keperluan sholat Jumat di masjid. Kewajiban i’tikaf harus pada masjid jami’ adalah dikaitkan pada i’tikaf nadzar yang masanya mendekati hari Jumat. Sementara mu’takif adalah seorang yang wajib Jumat sehingga tidak ada alasan keluar dari kondisi i’tikaf.

Keluarnya seorang mu’takif dari i’tikafnya di selain masjid jami’ pada waktu mendekati sholat Jumat, dapat memutus sifat tatabu’ (berturut-turut) i’tikafnya karena sembrono penunaiannya. Ada pengecualian untuk keluarnya mu’’takif dari masjid jami’. Kendati masjid itu merupakan lebih utama-utamanya tempat, akan tetapi mu’takif telah menetapkan masjid lain (bukan jami’) sebagai tempat i’tikafnya.

Karena kondisi i’tikaf pada tempat yang sudah ditentukan, adalah lebih utama. Selagi tidak berdekatan dengan kebutuhan keluar dari menunaikan sholat Jumat.” (Al-Syirbiny, Mughny Muhtaj ila Ma’rifati Ma’any Alfadhi al-Minhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 2, halaman 189).

Bersambung

 

Leave a Response