Jawaban Gus Baha Ketika Ditanya, ‘Sebaiknya, Haji Dulu Apa Umrah Dulu, Gus?’
Dalam suatu pengajian tafsir bersama para santri, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Kragan, Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menerangkan tentang mana yang lebih utama daftar haji atau umrah dahulu.
Berikut penjelasan dari Gus Baha:
Suatu hari ada orang bertanya, “Gus saya punya uang 25 juta, baiknya umrah apa haji dulu?”
“Kamu jenis orang shaleh yang sungguhan atau tidak?”
Orangnya kebetulan setengah shaleh setengah pelit. Kan terlihat dari wajahnya.
Ini memang penting. Dia bilang, “Saya milih haji. Tidak boleh uang 25 juta ini taqdimussunnah alal-fardhi.”
Pikirannya dia, kalau umrah itu taqdimussunnah (mendahulukan sunnah). Pikirannya dia ya setengah goblok kan sebenarnya umrah juga wajib juga bukan bisa dibilang sunnah.
Makanya, dia setengah shaleh. Logikanya rada kacau.
Tiba-tiba menstatuskan umrah sunnah itu dari apa coba? Kadang kan ada masyarakat, “Aku umrah apa haji? Ya harus haji, umrah kan sunnah.”
Bilang umrah sunnah itu dari mana dalilnya? Ada tidak dalil madzhab kita yang mengatakan umrah itu sunnah? Tidak ada kan? Tapi, yang mengatakan seperti itu banyak tidak? Banyak!
Akhirnya saya tanya, “Kamu shaleh apa tidak?”
“Ya, shaleh”
“Tidak. Tidak terlalu shaleh. Satu, kalau kamu shaleh beneran kangen Kanjeng Nabi, saya wajibkan umrah. Bagaimanapun kangen itu tidak ada hukumnya. Kangen Nabi, mati-matian sudah tidak berpikir haji wajib atau tidak. Kalau yang gampang umrah ya umrah.”
Saya 2009, saya punya uang 16 juta rupiah. Zaman itu haji masih 21 rupiah. Saya kangen Nabi, saya buat daftar umrah.
Dalam hatiku seperti ini, “Wes gampang, umrah ketemu Nabi, berdoa di depan Nabi kan mustajab”.
Tak akali. Saya berangkat umrah. Saat di raudhoh saya berdoa, “Nabi umumnya orang berdoa di sini mustajab. Pokoknya saya pengen haji, kalau tidak berarti ada rada yang salah.” Hehehehe
Pada tahun 2011, saya punya uang sekitar 30 juta, istri saya daftarkan haji.
“Dek, kamu daftar haji.”
“Lha, jenengan, Gus…?”
“Hubungan Allah sama aku itu biasanya tidak repot-repot.”
Tidak sampai sekian hari saya bisa haji plus. Berarti sesuai perjanjian di raudhoh. Hehehe
Padahal saya tidak kaya, tapi haji saya haji plus.
Karena itu tadi, kangen Nabi terus saya turuti. Sebenarnya agak salah, tapi kangen itu tidak ada hukumnya.
Makanya, saya tanyai dia, kalau kamu shaleh beneran, kangen nabi tak suruh umrah sekarang. Tapi kalau kamu masih perhitungan, “sowan Nabi atau tidak?”
Mau sowan Nabi kok begitu!
Ciri utama orang senang itu tidak mikir, lha ini masih mikir umrah dulu apa haji dulu. Kalau masih mikir, shalehnya pas-pasan.
Kalau awalnya dia bilang begini, “Gus, saya kangen nabi, tapi uang saya cuma 25 juta bagaimana?”
Maka, saya wajibkan umrah. Saya ajarkan doa saya. Nah dia tidak seperti itu. Hehehe
Misalnya dia daftar haji, secara lahir umurnya tidak cukup. Kalau daftar sekarang berarti kapan bisa haji? Menunggu 25 tahun, berarti haji (sekitar) tahun 2040. Dhohirnya umur 60 tahun. Kira-kira dia sudah taqabalallah?
Andaikan saya jadi orang itu, mesti daftar dua-duanya, ya daftar haji. Tapi, kalau ada orang yang mondok di Mekkah, saya akan memakdubkan diri.
Dalam arti, saya akan daftar haji menunggu sesuai Pemerintah karena harus loyal negara. Tetapi, kalau saya punya uang saya takdubkan.
Kalau ada fatwa yang berbeda dengan saya itu tidak apa-apa.
Hal tersebut sebagai pengingat bahwa kebaikan itu:
Ternyata kalau ngeramati sampai musim haji, ya haji lagi.
Kalau ada bunyi yang bilang, “Kok rugi, haji dua kali?” Pelit berarti.
Masalahnya, fatwa menghadapi orang pelit itu repot. Saya bolak-balik fatwa ketemu orang pelit. Repot….!! Cinta Allah kok menggunakan perhitungan. (Hafidhoh Ma’rufah)
Simak sumber video pengajian ini, klik >> “Gus Baha – Haji atau Umrah”