Jika Maskawin Beraib, Tanggung Jawab Siapa?
Baru mendengar maskawin beraib? Maskawin beraib adalah maskawin dengan kondisi atau kualitas tidak sesuai dengan yang seharusnya karena mengalami aib atau cacat. Kalau maskawin mengandung aib, siapakah pihak yang bertanggung jawab atas hal tersebut?
Sebelum menjawabnya, perlu diketahui bahwa mahar/maskawin dalam bahasan fikih sering kali diistilahkan dengan sebutan shadaq atau shidaq. Kosakata bahasa Arab ini bersumber dari akar kata shadaqa yang artinya benar atau berkata benar.
Atas itu, secara filosofis maskawin dianggap sebagai wujud pembenaran atas kesungguhan pengantin laki-laki menikahi pengantin perempuan. Selain itu, sebab menikah pula hukum maskawin menjadi wajib. Sedangkan menyebutkannya ketika akad nikah tidak sampai dihukumi wajib. Sebatas dianjurkan dalam rangka mengikuti sunah Nabi saw. yang tidak pernah alpa menyebutkan maskawin saat prosesi akad nikah.
Kembali ke pertanyaan semula. Bahwa pada dasarnya, maskawin menjadi tanggung jawab pengantin laki-laki, selama maskawin itu belum diserahterimakan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Di sisi lain, selama itu juga pengantin perempuan belum berhak untuk mendayagunakan maskawin tersebut.
Apabila masih ada di bawah kuasa pengantin laki-laki dan belum diterima oleh pengantin perempuan, lantas maskawin tersebut mengalami aib, maka dalam kondisi seperti itu, Syeikh Abdurrahman al-Jaziri menguraikan empat ilustrasi hukum sebagai berikut. Pertama, maskawin beraib sebab afatan samawiyyatan (segala hal di luar kendali manusia). Kedua, maskawin beraib akibat ulah si pengantin laki-laki.
Aib yang terjadi pada dua ilustrasi tadi menyebabkan infisakh al-shadaq (keabsahan maskawin menjadi rusak). Konsekuensinya, pengantin perempuan berhak memperoleh mahar mitsil, yakni maskawin yang kadarnya disesuaikan dengan kadar maskawin yang diterima oleh kalangan kerabat dekat si pengantin perempuan.
Ketiga, maskawin beraib lantaran tindakan yang dilakukan oleh pengantin perempuan. Dengan catatan, si pengantin perempuan itu ialah perempuan rasyidah, yaitu perempuan dewasa yang berakal sehat atau waras.
Sebab tindakannya tersebut pengantin perempuan menyandang status qabidhah li-haqqiha atau orang yang telah merenggut haknya. Lugasnya, pengantin perempuan tidak lagi berhak mendapat bagian atau tidak punya hak sedikit pun terhadap maskawin.
Keempat, maskawin beraib karena tindakan yang dilakukan oleh orang lain, selain kedua pasangan pengantin. Untuk konteks ini, pengantin perempuan diberikan hak khiyar (hak untuk memilih) di antara dua opsi: menganulir maskawin atau mengakuinya. Penjelasan lebih rinci tentang kedua opsi ini akan penulis paparkan di bagian berikutnya.
Selanjutnya, dengan memilih opsi pertama, pengantin perempuan berhak menuntut mahar mitsil (definisinya seperti telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya) kepada pengantin laki-laki. Sementara si pengantin laki-laki sebagai pihak yang memiliki hak menuntut kompensasi maskawin kepada orang yang telah membuat maskawinnya menjadi beraib.
Sebaliknya, dengan memilih opsi kedua, pengantin perempuan tidak berhak menuntut mahar mitsil (definisinya seperti telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya) kepada pengantin laki-laki. Bahkan, pengantin perempuan sendiri sebagai satu-satunya pihak yang berhak menuntut kompensasi maskawin kepada orang yang bersangkutan yang telah menyebabkan maskawin tersebut mengalami aib atau cacat.
Memang ketentuan dalam keempat ilustrasi hukum di atas, berlaku bagi maskawin yang terdiri atas satu benda/komponen. Adapun maskawin yang mencakup lebih dari satu komponen, tentu ketentuan-ketentuan tersebut berlaku terbatas pada komponen maskawin yang mengalami aib atau cacat saja.
Di samping itu, pada kasus maskawin yang lebih dari satu komponen ini, hak khiyar (hak bagi pengantin perempuan untuk memilih, yakni antara menganulir keabsahan maskawin yang kena aib atau justru tetap mengakui maskawin tersebut), adalah menjadi bertambah ketika salah satu dari komponen maskawin itu ternyata beraib.
Tidak hanya pada saat beraib karena tindakan orang lain (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya), tetapi pengantin perempuan juga diberikan hak khiyar (hak untuk memilih seperti telah disinggung sebelumnya), manakala terjadi infisakh al-shadaq (kondisi keabsahan maskawin dinyatakan rusak), akibat faktor di luar kendali manusia ataupun karena ulah pengantin laki-laki.
Sebagai contoh, maskawin terdiri atas dua benda/komponen, yaitu mobil dan motor. Kemudian, salah satu di antara dua komponen maskawin itu beraib, misalnya maskawin mobilnya. Entah itu aibnya disebabkan oleh afatan samawiyyatan (faktor di luar kendali manusia), ataupun disebabkan oleh tindakan pengantin laki-laki terhadap mobil tersebut.
Jika begitu, khusus bagi status maskawin yang berupa mobil tadi dikategorikan tidak sah (istilah lainnya ialah infisakh al-shadaq). Lantaran maskawin mobilnya tidak sah, maka pengantin perempuan berhak melakukan khiyar, yaitu berhak untuk memilih antara menganulir maskawin mobil itu, atau tetap mengakuinya sekalipun mobil tersebut beraib.
Konsekuensi kedua opsi tersebut adalah sama-sama berhak mendapatkan mahar mitsil (definisinya seperti telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya), atau dalam pembahasan ini, hal itu boleh juga dikatakan sebagai “substitusi maskawin”.
Berikut ini perinciannya. Apabila pengantin perempuan memilih untuk tetap mengakui keabsahan maskawin mobil sekalipun beraib. Konsekuensi atas opsi ini adalah dia berhak mendapatkan “substitusi maskawin” dengan besaran seharga mobil tersebut.
Lalu, apabila pengantin perempuan memilih untuk menganulir maskawin mobil yang beraib itu. Konsekuensi dari opsi ini adalah dia berhak merengkuh mahar mitsil dengan besaran sewajarnya, yakni sesuai dengan kadar maskawin yang diterima oleh kalangan kerabat dekat si pengantin perempuan tersebut.
Arkian, begitulah penjelasan ringkas mengenai beberapa ketentuan yang berlaku manakala maskawin mengalami aib atau cacat. Keterangan selengkapnya dapat ditelusuri lebih lanjut di kitab Syarah Fathul Wahhab karya Syekh Zakaria al-Anshari (jilid I, halaman 54-55) dan di kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (jilid IV, halaman 113).
Selebihnya, kendati pembahasan soal maskawin ini cukup kompleks dimengerti, penulis tetap berharap pembaca dapat menyimaknya secara seksama. Apalagi, perihal maskawin bukan sekadar menyoal seserahan. Lebih daripada itu, hakikat maskawin jadi satu simbol kesungguhan pengantin laki-laki mempersunting pengantin perempuannya.