Hidup sebagai santri di era milenial ini adalah sebuah nikmat yang patut disyukuri karena sejak dini telah dibimbing dan diajarkan berbagai ilmu yang menunjang untuk mendalami pemahaman agama. Sehingga memiliki pemahaman agama yang moderat dan sesuai dengan misi Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Namun, rasanya belum cukup jika kita hanya mensyukuri nikmat tersebut dengan hanya berdiam dan tidak tergerak untuk menjadi agent of change, khususnya dalam bidang dakwah. Hal ini sebagai upaya men-counter paham radikalisme dan mewujudkan kembali perdamaian.
Oleh karena itu, perlunya mengetahui terlebih dahulu bagaimana prinsip dasar dakwah Islam. Hal ini sebagai langkah utama untuk membuktikan bahwa dakwah Islam yang sesungguhnya adalah dakwah yang menjunjung nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Serta tidak ada unsur paksaan maupun jutifikasi pembenaran sepihak di dalamnya. Serta menjunjung tinggi terjaganya harmonisasi sosial.
Dakwah dan komunikasi massa memiliki kesamaan dan keterkaitan. Yakni sama-sama ada proses komunikasi di dalamnya atau secara sederhana dakwah itu adalah komunikasi.
Dengan pengertian lain, pada dasarnya dakwah selalu menggunakan media komunikasi sebagai sarana dalam penyampaian dakwahnya. Maka untuk melihat lebih jauh tentang pentingnya media sebagai sarana penyampaian informasi dan menarik audiens, perlu adanya kacamata teori untuk melihatnya.
Elihu Katz, salah satu pakar komunikasi massa yang menyusun teori uses and gratification mengemukakan dalam teorinya bahwa audiens dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya.
Mereka dianggap bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Teori ini juga menjelaskan bagaimana individu menggunakan komunikasi massa untuk memuaskan kebutuhannya.
Dengan berangkat dari teori tersebut, masyarakat merupakan pihak yang aktif dalam menentukan media yang dalam hal ini adalah media dakwah demi kepuasan mereka. Maka sudah sepatutnya strategi dakwah bertransformasi dengan menggunakan sarana media yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Karena masyarakatlah yang akan menentukan menarik atau tidaknya dakwah yang dilakukan.
Titik utama pada teori uses and gratification ini adalah bagaimana media digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial audiensnya. Maka jika mengacu pada teori ini, ada beberapa indikator yang harus diperhatikan dalam berdakwah.
Pertama, dakwah harus menggunakan media populer sebagai sarananya dalam meraih perhatian audiens.
Kedua, isi pesan dakwah yang disampaikan melalui sarana media tersebut hendaklah tetap berpegang pada ideal moral dakwah dan mampu menyajikan informasi-informasi yang tidak monoton dan membosankan. Sehingga dapat menarik minat audiensnya dan juga agar mampu bersaing dengan media yang lainnya.
Karena menurut teori uses and gratification ini, audiens-lah yang berperan aktif dan berperilaku selektif terhadap media.
Dengan membaca teori di atas, kita bisa mengasumsikan bahwa gerakan Islam radikal telah lebih dahulu berhasil menguasai medan dakwah di media sosial meskipun esensi dakwah mereka sangat jauh dari misi fundamental dakwah Islam yang sebenarnya. Namun, berkat kemampuan mereka mengolah dan menggunakan berbagai macam media penunjang, mereka berhasil mengambil hati para pengguna media sosial.
Dalam film “Jihad Selfie” misalnya. Ditampilkan bahwa propaganda gerakan Islam radikal seperti halnya ISIS maupun yang lainnya saat ini tidak melulu bergantung pada penyebaran ideologi maupun doktrinasi kelompok. Melainkan dengan membagikan foto-foto yang menunjukkan para prajurit yang sedang memegang senjata dan memamerkannya di media sosial terkesan “maskulin dan gagah”.
Foto-foto yang nampaknya “keren” tersebut ternyata dapat dengan mudah mempengaruhi para pemuda yang sedang mencari jati diri. Adapun faktor ikut-ikutan teman juga merupakan magnet tersendiri bagi kaum jihadis muda.
Dengan begitu, penting bagi kita sebagai santri milenial Nusantara untuk turut serta memberikan sumbangsih kepada bumi pertiwi ini. Sudah saatnya jihad santri masa lalu—yang diwujudkan dalam bentuk perjuangan mengangkat senjata—direkonstruksi dengan jihad santri milenial. Yang mampu memanfaatkan pena dan media sosial sebagai senjata ampuhnya dalam menangkal pemahaman radikal dan ekstrimis.
Adapun dalam konteks era globalisasi saat ini, upaya dakwah yang berlandaskan nilai-nilai fundamental ajaran Islam dan mengedepankan harmonisasi sosial harus selalu digalakkan. Menampilkan narasi-narasi Islam yang mencerminkan prinsip dasar Islam yang damai melalui media sosial maupun internet.
Ini menjadi upaya baru dalam mengaktualisasikan prinsip dialektika Islam dan budaya di era digital. Sekaligus sebagai bentuk perlawanan atas paham radikal yang telah masif ditemui di ruang-ruang digital.
Munculnya beberapa platform media dakwah digital yang memiliki visi digitalisasi dakwah ahlussunah wal jama’ah dan menyebarkan paham keislaman yang moderat menjadi tren yang sangat positif. Sebab hal ini merupakan salah upaya konkret yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi santri-santri muda kreatif untuk berkecimpung dalam dunia dakwah digital serta berkarya dan berjihad dalam menangkal paham-paham radikalisme dan ekstrimisme melalui media sosial.
Mereka dapat menyajikan konten-konten keislaman yang benar-benar mampu merepresentasikan prinsip dasar dakwah Islam yang mengedepankan esensi Islam yang damai dan menjaga harmonisasi sosial. Serta mengemasnya dengan kemasan yang menarik sehingga mampu mengambil hati para pengguna media sosial.
Upaya ini sekaligus meneguhkan bahwa Islam bukanlah agama yang melegitimasi terjadinya aksi-aksi kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang selalu mampu menghadirkan kesejukan dan mewujudkan perdamaian antar umat beragama di tengah masyarakat Indonesia.
Islam bukanlah agama yang menolak bahkan merendahkan budaya. Melainkan agama yang menghargai budaya sebagai buah peradaban manusia dan bahkan tak jarang mengadopsinya dengan menambahkan nilai-nilai keislaman di dalamnya.