Cirebon, 31 Oktober – 2 Nopember 1922 berlangsung Kongres Al-Islam. Kongres yang dipimpin Cokroaminoto dan Agus Salim ini melahirkan perdebatan sengit yang mengubah cara berinteraksi umat Islam di Indonesia pada masa selanjutnya.
Perdebatan sengit itu terjadi antara ulama tradisionalis yang diwakili K.H. Raden Asnawi dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dengan kalangan Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang diwakili oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Ahmad Soorkati. Pihak Muhammadiyah menuding cara tradisionalis yang berpegang pada mazhab sebagai penyebab bekunya umat. Sedangkan pihak tradisionalis menuding Muhammadiyah mau membuat mazhab baru dan mau seenaknya menafsirkan Alquran dan Sunnah tanpa mau merujuk pada ulama terdahulu (Anam, 1985).
Sejak itu, interaksi kalangan tradisionalis yang berbasis pesantren dengan kalangan pembaharu Muhammadiyah kurang harmonis. Sementara itu pada 1923, daratan Semenanjung Arab terjadi pertempuran sengit antara pasukan Ibnu Saud yang mengikuti faham Wahabi melawan pasukan Syarif Husein. Pertempuran sengit itu akhirnya dimenangkan oleh Ibnu Saud.
Kemenangan Ibnu Saud membuat kalangan tradisionalis Indonesia cemas. Kalangan tradisionalis khawatir jika Ibnu Saud memaksakan faham Wahabi yang ia anut dan membantu kaum pembaharu yang sedang melakukan propaganda di Indonesia.
Tak lama setelah itu, pada 25 Desember 1924, diadakan Kongres Al-Islam Luar Biasa yang membicarakan tentang pengiriman wakil Indonesia ke Kongres Khalifah se-Dunia yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Disusul dengan Kongres Al-Islam Central Comitte Chilafat di Yogyakarta pada awal tahun 1925.
Sebagai wakil ulama tradisionalis, K.H. Abdul Wahab Hasbullah pada Kongres Al-Islam Central Comitte Chilafat mengusulkan agar delegasi yang dikirim Kongres Khalifah se-Dunia nanti mau mendesak Raja Ibnu Saud supaya memberlakukan kebebasan bermazhab di tanah Hijaz. Usul K.H. Abdul Wahab Hasbullah ternyata tidak ditanggapi oleh peserta kongres yang sebagian besar kaum pembaharu. Hal ini membuat kalangan tradisionalis tersinggung untuk kesekian kalinya.
Menyiasati keadaan tersebut, akhirnya kalangan tradisionalis Indonesia yang pelopori K.H. Raden Asnawi dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah selanjutnya membentuk Komite Hijaz. 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H, Komite Hijaz mengundang ulama se-Jawa dan Madura untuk melakukan muktamar di Surabaya.
Dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa Komite Hijaz akan mengirim utusan untuk menemui Raja Ibnu Saud. Utusan yang terpilih itu adalah K.H. Raden Asnawi dan K.H. Bisri Sansuri. Tugas utama utusan itu adalah mendesak Raja Ibnu Saud supaya memberlakukan kebebasan bermazhab di tanah Hijaz dan tidak memaksakan faham wahabinya.
Dalam catatan Lottop Stoddard (1966), kala itu kalangan tradisionalis bingung atas nama apa utusan mereka menghadap Raja Ibnu Saud. Akhirnya K.H. Mas Alwi usul agar utusan itu berbicara atas nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Segenap ulama yang hadir menyetujuinya. Jadilah hari itu sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama.
Dalam kepengurusan awal setelah Anggaran Dasar disetujui K.H. Raden Asnawi menduduki anggota mustasyar bersama Syekh Ahmad Ghanaim dari Mesir. Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-3 di Surabaya pada September 1928, para muktamirin dengan suara bulat kembali memilih Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Ra’is Am. Sementara itu K.H. Raden Asnawi pada kepengurusan baru itu bergeser sebagai anggota Syuriah (Anam,1985).
Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-3 itu, ada keputusan penting berkaitan dengan pengembangan NU, yaitu keputusan “Majlis Khamis” (Komisi Lima) yang dipimpin oleh Kiai Saleh Lateng Banyuwangi dengan anggota: K.H. Hasyim Asy’ari, Kiai Ridhwan, K.H. Raden Asnawi dan Kiai Muharram. Majlis Khamis memutuskan untuk dibentuk “Lajnah Nasihin” yang tugasnya adalah menyiarkan dan mempropagandakan NU ke pelbagai daerah di Nusantara.
Lajnah Nasihin ini terdiri dari 9 orang; K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Bisri Sansuri, K.H. Raden Asnawi, K.H. Mas Alwi, K.H. Mustain, K.H. Abd Wahab Hasbullah, K.H. Abd Halim, dan Ustadz Abdullah Ubaid.
Sejak saat itu, NU tidak bisa dipisahkan dengan K.H. Raden Asnawi. Beliau menjadi propagandis utama NU di Kudus. Sampai akhir hayatnya hanya sekali beliau tidak menghadiri muktamar NU. Yaitu ketika muktamar NU ke-21 di Medan dan beliau sedang sakit.