Siapa tak kenal Mbah KH. Kholil Bangkalan Madura? Guru para ulama Nusantara yang memberikan kontribusi begitu besar untuk bangsa ini. Di antara para muridnya adalah Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Sansyuri, para pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Mbah Kholil Bangkalan adalah kiai yang dikenal memiliki banyak karomah. Sebagaimana dikisahkan oleh KH Husein Ilyas, salah satu karomah Mbah Kholil adalah menyelamatkan rakyat Madura dari kelaparan.
Dikisahkan bahwa Mbah Kiai Kholil Bangkalan mempunyai mushala kecil yang tempat pengimamannya memiliki tiga pintu. Di samping kanan, samping kiri, dan di depan pengimaman. Melalui pintu-pintu itu Kiai Kholil tengak-tengok untuk mengundang para jamaah.
Zaman penjajahan Belanda banyak rakyat yang mengalami kesusahan dan kelaparan. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi rakyat Madura. Kiai Kholil Bangkalan membela rakyat Madura sangat totalitas.
Setiap pagi, Kiai Kholil Bangkalan berteriak-teriak dari mushalanya yang kecil itu, untuk memanggil masyarakat Madura untuk diajak shalat dan diajak wiridan.
“Saudara-saudara, ayo kumpul di sini, yang mau shalat, ayo shalat bersama, yang mau wiridan ayo saya pimpin wiridan bersama. Bagi yang tidak mau shalat atau tidak mau wiridan ya tidak apa-apa yang penting ke sini, diam saja di sini tidak apa-apa.”
Setelah Kiai Kholil selesai wiridan, beliau mengibaskan sajadahnya, atas kuasa Allah, di balik sajadah itu keluar uang berhamburan banyak sekali. Waktu itu uang yang keluar berbentuk uang receh putih.
Kiai Kholil mengasihi semua orang yang hadir di mushalanya itu. Baik yang shalat, yang wiridan, ataupun yang hanya diam saja. Semuanya mendapatkan bagian.
“Ayo siapa yang butuh uang, sampean ambil sendiri, jangan sampai menipu. Jika anggota keluarga kalian hanya satu, ya ambil satu. Jika anggota keluarga kalian hanya dua, maka ambillah dua. Jika anggota keluarga kalian berjumlah sepuluh, ya silakan ambil sepuluh.”
Namanya orang diperlihatkan uang yang berhamburan dalam jumlah banyak, kalau tidak mengambil lebih, rasanya kok kurang lega. Dahulu, orang kalau menyimpan uang itu di kopiah.
Ada yang keluarganya hanya satu, ternyata ketika kopiahnya dibuka ada sepuluh uang yang ia simpan di kopiahnya tersebut. Ada yang keluarganya berjumlah sepuluh, karena ia merasa bersyukur, ia hanya mengambil satu uang saja.
Akan tetapi atas kuasa Allah melalui keramatnya Kiai Kholil, orang yang keluarganya hanya satu tetapi mengambil sepuluh, setibanya di rumah, kopiahnya ia buka lagi, ternyata yang tadinya sepuluh hanya tinggal satu.
Begitu pula yang keluarganya berjumlah sepuluh, akan tetapi hanya mengambil satu, setibanya di rumah, ternyata ada sepuluh uang yang didapatinya di kopiah.
Uang yang diterima dari Kiai Kholil ini akhirnya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Madura kala itu.
Setelah masyhur diketahui bahwa masyarakat Madura tidak ada yang kekurangan pangan, penjajah Belanda atau disebut Kompeni, langsung menyelidiki fenomena ini.
Kompeni bertanya kepada masyarakat Madura, “Apa sebabnya kok rakyat Madura tidak kekurangan pangan?”
“Barokahnya Kiai Kholil yang setiap pagi bagi-bagi uang. Cukup untuk makan sehari,” jawab masyarakat Madura.
Setelah memperoleh jawaban tersebut, Kompeni akhirnya berkesimpulan bahwa hal ini dianggap menyaingi kekuatan Kompeni. Akhirnya, KH Kholil didatangi oleh Kompeni.
“Pak? Sampean katanya orang yang membagi-bagikan uang kepada rakyat?” tanya Kompeni penasaran.
“Iya betul,” jawab Kiai Kholil dengan santai.
“Apa sampean itu mencetak uang?” Kompeni semakin mendesak Kiai Kholil untuk menjawabnya.
“Iya betul,” Kiai Kholil menjawab dengan tanpa rasa takut sedikit pun.
“Mana alat untuk mencetaknya?!” Kompeni semakin dibuat marah oleh tingkah Kiai Kholil.
“Ini, bibir saya,” Kiai Kholil menunjuk bibirnya yang ia gunakan untuk mencetak uang.
Ketika Kompeni diberi tahu kalau alat pencetak uangnya adalah bibir, mereka marah. Kiai Kholil ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Memang kelihatannya Mbah Kiai Kholil itu di dalam penjara. Akan tetapi, setiap pagi, Mbah Kholil tetap shalat dhuha di mushala kecilnya itu. Beliau tetap saja bagi-bagi uang kepada masyarakat Madura.
Akhirnya ada yang melaporkan bahwa Kiai Kholil di dalam penjara, tetapi kalau pagi tetap saja bagi-bagi uang di mushalanya.
Di dalam penjara ada Kiai Kholil, begitu juga di mushala, pada saat yang bersamaan juga ada sosok Kiai Kholil. Kompeni sampai kebingungan. “Sebenarnya yang mana, Kiai Kholil yang asli?”
Kebingungan yang tak berujung itu membuat para Kompeni sampai perutnya sakit, dadanya sesak, bahkan tidak bisa buang angin, buang air kecil, dan buang air besar selama berhari-hari.
Disuntik tidak sembuh, diobati tidak sembuh, diberi ramuan tradisional juga tidak sembuh. Akhirnya mereka berinisiatif untuk meminta tolong kepada setiap orang pintar pribumi untuk mengobati mereka.
Akhirnya Kompeni mendatangi orang pintar atau tabib pribumi, “Mbah, sebenarnya kami ini sakit apa?” Tanya salah seorang Kompeni.
Tabib yang didatangi itu sudah mengetahui penyakit Kompeni yang sebenarnya. “Sampean itu sudah berbuat aniaya kepada orang suci, ia seorang kiai, seorang ulama. Jadi kalau sampean mau sembuh, maka lepaskanlah kiai itu!” Kata tabib tadi dengan tegas.
Agar bisa sembuh, tanpa basa-basi, Kompeni menuruti anjuran orang pintar itu. Mereka langsung menjemput Kiai Kholil di penjara untuk dikembalikan ke tempat asalnya.
Sumber: “Karomah Mbah Kholil Bangkalan“