Transaksi muamalah merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Jual-beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, usaha bagi hasil, gadai, hutang, dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh transaksi yang sering dilakukan oleh manusia. Semakin banyak kebutuhan manusia, semakin sering pula ia melakukan transaksi muamalah.
Karena sudah menjadi aktivitas yang sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap kali tidak memperhatikan persoalan akad. Sebagai contoh, kita sering mendapati orang-orang mengatakan “Saya pinjam pulpennya ya”, “Saya pinjam motornya ya”, dan “Saya pinjam ponselnya ya”. Padahal maksud mereka tidak hanya meminjam tetapi juga mengambil tinta pulpen, mengurangi bensin motor, dan memanfaatkan kuota internet temannya.
Ketika kita berbelanja di supermarket atau minimarket, kita malah sering mengabaikan akad. Kita hanya menyerahkan uang dan kasir memberikan nota dan uang kembalian. Tegur sapa kasir juga hanya kita balas dengan senyuman. Akad ijab dan kabul yang menjadi karakteristik fikih muamalah sama sekali tidak tampak. Lantas, apakah transaksi yang akadnya tidak jelas seperti contoh-contoh yang disebutkan itu sah?
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Mazhab Syafi’i, Syiah, dan Dzahiri menghukumi akad-akad di atas tidak sah. Sementara mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali menganggap sah akad-akad tersebut. Jika madzab Maliki melegalkan secara mutlak. Madzab Hanafi dan Hambali menyaratkan dua hal yaitu bayaran harus jelas dan pihak yang berakad tidak mengeluarkan pernyataan yang bertetangan dengan akad yang diucapkan.
Dalam kitab Nadzariyyah al-Maqasid ind al-Imam al-Syathibi, Ahmad al-Raisuni menjelaskan bahwa perbedaan antar madzab mengenai persoalan legalitas akad berakar dari kaidah yang dipegang oleh masing-masing mazhab. Kelompok pertama berpegang pada kaidah al-‘ibrah fi al-‘uqud li al-alfadz wa al-mabani (pertimbangan keabsahan akad adalah lafaz dan penjelasan). Sementara kelompok kedua memegang kaidah al-‘ibrah fi al-‘uqud li al-maqasid wa al-ma‘ani (pertimbangan keabsahan akad adalah tujuan dan makna).
Argumen kelompok pertama adalah bahwa syarat mutlak dari keabsahan transaksi adalah kesalingrelaan di antara dua orang yang bertransaksi. Karena kesalingrelaan tidak bisa ditangkap secara empiris oleh indra, kesalingrelaan harus ditunjukan dengan lafaz-lafaz yang dapat menunjukannya. Oleh sebab itu, lafal-lafal tersebut harus benar-benar sesuai dengan transaksinya.
Sebagai contoh, ucapan “Saya beli baju ini dengan bayaran 100.000 rupiah” dan jawaban “Baik, saya terima” merupakan bentuk akad yang menunjukan kesalingrelaan dari pemindahan kepemilikan dengan jalan jual-beli.
Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa transaksi bisa tetap sah dengan segala pekerjaan atau praktik yang mampu menunjukan kesalingrelaan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dapat menunjukan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, perwakilan, dan lain-lainya menyebabkan keabsahan transaksi tersebut tanpa memedulikan makna literal akad dan keterucapannya.
Melihat argumen yang digunakan oleh masing-masing mazhab, saya cenderung memilih pendapat mazhab kedua. Karena, meskipun makna literal akad berbeda dengan hakikat transaksi yang dilakukan, adat kebiasaan masyarakat secara tak sadar telah mengkonstruksi alam pikiran kedua belah pihak pada makna atau tujuan akad seperti dalam kasus pinjam-meminjam yang dicontohkan di atas. Dalam ilmu nahwu, ini disebut al-‘ahd al-dzihni (pengetahuan mental yang sudah terkonstruk).
Dalam kasus transaksi di supermarket atau minimarket, penyerahan uang oleh pembeli dan pemberian nota pembayaran dan uang kembalian oleh kasir telah menunjukan bahwa praktik tersebut merupakan jual-beli. Selagi kedua belah pihak tidak mempersoalkan barang yang ditransaksikan, kesalingrelaan telah ditunjukan secara empiris dalam praktik ini.
Kaidah kedua ini juga sejalan dengan spirit agama Islam yang senantiasa memberikan kemurahan bagi para pemeluknya. Sebagaimana Muhammad al-Thahir Ibn ‘Asyur jelaskan dalam Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah, kemurahan merupakan sifat pertama dan tujuan yang paling agung dari syariat Islam.
Terdapat banyak dalil yang Ibn ‘Asyur sebutkan untuk membela klaimnya ini seperti “Sesungguhnya Allah menghendaki kamu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan ” (QS. al-Baqarah: 185), “Dan Allah tidak menjadikan bagi kamu kesulitan dalam agama” (QS. al-Haj: 78), dan “Dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu” (al-Maidah:6)
Melihat zaman yang terus berubah dengan berbagai kemajuan teknologi, pemikiran-pemikiran yang kontekstual dan berorientasi pada tujuan lebih relevan untuk diterapkan.