Pada pertengahan tahun 2018 yang lalu, bersama rombongan pengurus MWC NU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus, penulis berkesempatan ikut (ngalap berkah) sowan ke ndalam KH. Maimoen Zubair Sarang, Rembang.
Setelah mengetahui asal kota kami, wajah beliau tampak sumringah. Di sela-sela percakapan, mbah Maimoen berulang kali berkata, “Aku seneng banget dino iki ketamunan wong Kudus (Saya senang sekali hari ini didatangi tamu dari Kudus)”.
Tidak itu saja, setiap tidak lebih dari sepuluh menit, beliau selalu memanggil santri ndalam, “Cung, jajane ditokno meneh (Cung, hidangannya dikeluarkan lagi)”.
Sebagai wong Kudus, hal itu menjadikan hati kami terasa mongkog dan bangga. Terlintas tanya di dalam hati penulis. Apa yang menjadikan Kudus ‘istimewa’ dalam kenangan mbah Maimoen?
Beliau pun menceritakan kekagumannya pada Kudus. Bahkan, beliau menyempurnakan kekagumannya pada Kudus dengan menikahi perempuan asal Kudus. Dalam pengakuannya, Mbah Maimoen menyebutkan Kudus sebagai kota kedua setelah kota asalnya, Rembang.
Keistimewaan Kudus di hati Mbah Maimoen di antaranya didasarkan pada keunikan kyai-kyainya. Pada zaman dulu, kyai Kudus tidak ada yang mempunyai pondok. Untuk mengaji, santri bisa datang dan pergi sesuai kesanggupan waktu dan kesempatan.
Karena itu, tidak pernah ada jumlah pasti berapa santri yang mengaji. Satu waktu banyak santri datang, tapi kali lain yang datang hanya sedikit. “Pondok di Kudus untuk pertama kalinya baru dirintis oleh Mbah Yasin Bareng (Jekulo)”, terangnya.
Kehidupan kyai Kudus yang tanpa pondok digambarkannya sebagaimana kehidupan di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Menurut beliau, kyai tanpa pondok akan lebih terhindar dari ‘bangga diri’ dan umuk atas jumlah santrinya.
Hal ini berbeda dengan kyai pemilik pondok. “Mereka akan diuji rasa bangga dengan mengatakan ‘iki santriku’ (ini santriku), sekian jumlahnya dan seterusnya ”, kata mbah Maimoen.
Lebih lanjut, mbah Maimoen menegaskan, pondok itu dunyo. “Buktinya, sepeninggal sang kyai banyak pondok yang diperebutkan oleh anak-cucunya seperti halnya warisan”, imbuhnya berargumentasi.
Selain tradisi keilmuan,menurut mbah Maimoen, kyai Kudus juga unik dalam sikapnya terhadap dunia politik. Pada pemilu tahun 1955, santri-kyai Kudus all out memperjuangkankan kemenangan Partai NU di Kudus.
Tetapi giliran duduk di kursi DPR, tidak ada kyai Kudus yang menyanggupinya. “Dan, karena itu, anggota DPR yang mewakili Kudus didatangkan dari kota lain, salah satunya adalah Kyai Maghfur Utsman Blora”, kenang mbah Maimoen.
Mbah Maimoen juga mengenang perjuangan dakwahnya di Kudus ketika masih usia muda. Beliau mengingatkan sebuah masjid yang dibangunnya di wilayah kecamatan Jati, daerah basis PKI kala itu.
Banyak kyai yang khawatir dan mencegah keinginannya itu, tetapi beliau berketetapan hati untuk mewujudkan cita-citanya membangun masjid. Masjid itu akhirnya berdiri dan masih kokoh berdiri hingga kini.
Namun demikian, ada satu hal yang mengganjal di hati mbah Maimoen di masa itu. Di wilayah Muria, dimana ada makam salah satu wali songo, Raden Umar Said (Sunan Muria), beliau tidak menemukan akar keilmuan (keulamaan) yang menyejarah. Yang ada justru munculnya fenomena dukun, terutama wilayah Rahtawu.
Artikel ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris