Di era tabi’in, hidup dua ulama besar. Keduanya adalah Hasan al-Bashri (642 – 728 M) dan Abu Bakar Muhammad bin Sirin al-Bashri (653 – 729 M) atau lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Sirin.

Meski terpaut usia sepuluh tahun, keduanya adalah teman yang karib. Namun, karena sesuatu hal, hubungan persahabatan keduanya menjadi renggang.

Setiap kali nama Ibnu Sirin disebut di hadapan Hasan al-Bashri, ia selalu menanggapi dengan sinis “Hindarkanlah kami dari menyebutkan tukang tenun itu!”, sergahnya.

Perlu diketahui, salah satu keahlian Ibnu Sirin adalah menenun.Sampai pada suatu malam, Hasan al-Bashri bermimpi. Dalam mimpi tersebut, ia seolah-olah dalam keadaan telanjang bulat sedang berdiri di tempat pembuangan sampah sambil memegang tongkat.

Pagi harinya, ia risau dan terganggu dengan mimpi itu. Ia kemudian memerintahkan pada salah seorang santrinya.“Pergilah kamu! Temui Ibnu Sirin. Ceritakan mimpiku ini padanya. Tetapi, katakan kepadanya kalau itu adalah mimpimu.”

Santri itu pun berangkat pergi menemui Ibnu Sirin di rumahnya. Ia lalu menceriterakan mimpi itu kepada Ibnu Sirin. Seusai mendengarkan cerita mimpi itu, Ibnu Sirin berkata menanggapi, “Katakan kepada orang yang melihat mimpi itu, jangan bertanya hal semacam ini pada tukang tenun.”

Akhirnya, santri tersebut pulang. Ia menceritakan apa yang terjadi dan kata-kata Ibnu Sirin yang disampaikan kepadanya. Mimpi itu semakin membuat hati Hasan al-Bashri gundah.

Ia lalu berkata kepada santrinya, “Ayo kita berangkat. Kita temui beliau.”

Keduanya berangkat untuk bertemu Ibnu Sirin. Ketika melihat Hasan al-Bashri datang, Ibnu Sirin segera bangkit dan menyalaminya. Keduanya kemudian saling mendoakan keselamatan.

Jarak yang sebelumnya ada di antara kedua sahabat itu pun hilang. Hubungan keduanya kembali menjadi baik dan cair. Keduanya lalu duduk dan saling menegur dan mengingatkan tentang masalah (Jawa: melehke) yang pernah terjadi di antara mereka.

Hingga kemudian Hasan al-Bashri berkata, “Sudahlah. Lupakan itu semua. Kini aku sedang dirundung kegundahan. Hatiku terganggu oleh mimpiku semalam.”

Melihat kegundahan sahabatnya, Ibnu Sirin menanggapi dengan santai. Ia pun berkata,“Janganlah mimpi itu merisaukan hatimu. Mimpi itu pertanda baik. Sesungguhnya telanjang dalam mimpimu adalah ketelanjanganmu dari duniawi. Hatimu tidak lagi terpaut pada urusan dunia.

Adapun tempat pembuangan sampah menggambarkan dunia ini. Kamu telah dibukakan keadaan sesungguhnya dunia ini sehingga kamu bisa melihat sejatinya dunia ini. Sedangkan tongkat yang kamu pegangi adalah gambaran dari hikmah atau kebijaksanaan yang engkau utarakan dan orang-orang mengambil manfaat dari hikmah itu.”

Mendengar tafsir mimpi itu, kegundahan Hasan al-Bashri pun sirna. Setelah Ibnu Sirin menyudahi ceritanya, Hasan al-Bashri bertanya penuh selidik, “Dari mana kamu mengetahui bahwa itu adalah mimpiku?”

Sambil tersenyum, Ibnu Sirin menjawab, ”Ketika santrimu bercerita tentang mimpi itu, aku berfikir dan menduga itu bukan mimpinya. Dugaanku, tidak ada seorangpun yang patut bermimpi semacam itu kecuali kamu.”

 

Sumber: Kitab Alf Qishshoh wa Qishshoh min Qashas ash-Shalihin wa as-Shalihat wa nawadir az-Zahidin waz-Zahidat karya Haniy al-Hajj.

 

Artikel ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris

Leave a Response