Dua pendekar NU ini bersahabat erat, saling menjaga etika dan hubungan, lahir dan batin. Keduanya diasuh sosok kharismatik yang melahirkan ulama-ulama besar, yaitu KH Zubair Dahlan.
KH MA. Sahal Mahfudh dididik ayahnya, yakni KH Mahfudh Salam yang kebetulan teman akrab KH Zubair Dahlan ketika studi di Mekah. Kemudian meneruskan di Bendo Kediri bersama KH Muhajir yang dikenal shufi.
Lalu tabarrukan-tafaqquhan di Sarang bersama KH Zubair Dahlan. Sedangkan ketika menunaikan haji belajar kepada Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani.
Adapun KH Maimoen Zubair dididik ayahnya, yakni KH Zubair Dahlan. Lalu meneruskan ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Abdul Karim, KH Marzuqi Dahlan dan KH Mahrus Ali.
Terus Mbah Moen melanjutkan pendidikan di Mekah di bawah asuhan Sayyid Alawi Al-Maliki, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, Syaikh Yasin Bin Isa al-Fadani, dan lain-lain.
Berikut ini beberapa kesamaan KH MA. Sahal Mahfudh dan KH Maimoen Zubair.
Pertama, dalam konteks keilmuan. Keduanya adalah lughawi (linguis). Kiai Sahal punya karya kitab Faraidul Ajibah. Kiai Maimoen dikenal qari’ kitab Syarah Ibnu Aqil ala Alfiyyati Ibni Malik.
Kiai Maimoen mendalami Alfiyyah ibnu Malik di Lirboyo di bawah bimbingan KH Abdul Karim (Mbah Manaf) yang dikenal pakar ilmu Nahwu. Sementara itu, Mbah Manaf belajar lama kepada Syaikh Cholil Bangkalan Madura yang lebih dahulu dikenal ahli di bidang Nahwu.
Di samping itu, keduanya adalah pakar dalam bidang fikih dan ushul fikih. Kiai Sahal punya karya kitab berjudul Faidlul Hija, Al-Bayanul Mulamma’, Thariqatul Husul dan Anwarul Bashair.
Sedangan Kiai Maimoen Zubair punya karya kitab Nushushul Akhyar, Al-Ulama al-Mujaddidun, dan lain-lain. Kiai Maimoen juga punya tiga karya bidang tauhid, yaitu Taqrirat al-Kharidatul Bahiyyah, Taqrirat Bad’ul Amali, dan Taqrirat Jauharatut Tauhid.
KH Sahal Mahfudh lebih kuat distingsi bidang ushul fikih. Sementara KH Maimoen Zubair dikenal kuat sebagai mufassir (pakar tafsir). Kiai Sahal dikenal dengan bendera “fikih sosial”. Sedangkan Kiai Maimoen dikenal “fikih kebangsaan”.
Kedua, dalam konteks pendidikan. KH Sahal Mahfudh aktif sebagai Direktur PIM Kajen, Rektor INISNU Jepara, dosen terbang di berbagai perguruan tinggi, serta mendapat gelar HC (Honoris Causa) dari UIN Jakarta.
Sedangkan KH Maimoen Zubair aktif merintis Pesantren Al-Anwar 1 (salaf), Al-Anwar 2 (MTs.-MA), Al-Anwar 3 (Perguruan Tinggi), dan Al-Anwar 4 (SMK).
Ketiga, dalam konteks kebangsaan. Keduanya adalah penggerak sosial, pemimpin pesantren yang melahirkan kader-kader pembangun bangsa, dan aktivis organisasi Nahdlatul Ulama dari bawah sampai puncak. KH Sahal Mahfudh adalah Rais Am Syuriyah PBNU, sedangkan KH Maimoen Zubair adalah Mustasyar PBNU.
Adapun perbedaan keduanya dalam memilih wasilah perjuangan kebangsaan adalah sebagai berikut:
Pertama, KH Sahal Mahfudh aktif dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam wadah BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Sedangkan KH Maimoen Zubair aktif dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sampai wafatnya.
Kedua, KH Sahal Mahfudh aktif di MUI (Majlis Ulama Indonesia) dari bawah sampai puncak. Sedangkan KH Maimoen Zubair aktif di Jam’iyyah Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN). Beliau sering datang dalam acara yang diadakan Habib Luthfi bin Yahya.
Ketiga, KH Sahal Mahfudh aktif dalam forum-forum ilmiah di berbagai tempat. Sedangkan KH Maimoen Zubair aktif menyampaikan dakwah di tengah lapisan masyarakat.
Kedua pendekar ulama ini telah meninggalkan kita semua. Legacy keduanya masih terus dikaji dan dikembangkan sampai sekarang dan insya Allah sepanjang masa.
Menjadi tanggungjawab kita semua meneruskan legacy kedua pendekar ulama ini, baik dalam konteks keilmuan, pendidikan maupun kebangsaan.
Kita iIngat dawuh Syaikh Muhammad Ibnu Malik:
وما يلي المضاف يأتي خلفا – عنه في الاعراب إذا ما حذفا
Santri harus siap mengganti tanggung jawab-tugas kiai, ketika kiai sudah wafat.
Kita juga ingat maqalah:
فتشبهوا إن لم تكونوا مثلهم – ان التشبه بالرجال فلاحj
Maka tirulah jika kamu semua belum seperti mereka, sesungguhnya meniru para tokoh adalah kebahagiaan. Wallahu a’lam.