Menjelang Ramadan, masyarakat muslim di tatar Sunda mempunyai tradisi unik yang dikenal dengan munggahan. Sebuah tradisi turun menurun dalam menyambut kedatangan bulan yang penuh keberkahan. Munggahan atau istilah lainnya disebut ngalelemu merupakan upaya mempersiapkan diri dalam menghadapi ibadah puasa.

Dalam Bahasa Sunda munggahan berasal dari kata unggah yang memiliki arti naik ke tempat yang agak tinggi. Konon kata ini sudah dikenal dalam budaya Sunda buhun. Hal ini dapat dilacak pada pustaka Sanghyang Siksakandang Karesyan yang ditulis dengan bahasa dan aksara Sunda pada tahun 1518 M.

Dalam karya tersebut tertulis bahwa di antara keinginan manusia adalah yun munggah atau ingin surga. Jadi, inti munggah adalah naik, maka tidak heran istilah inipun digunakan juga dalam ibadah yang memiliki arti naik, seperti munggah haji.

Tradisi munggahan orang tua dulu biasanya diselenggarakan dengan mengumpulkan keluarga, saudara, kerabat dekat, dan tetangga di dalam rumah atau menyengaja mencari suasana di alam bebas seperti di pegunungan, sawah, kolam, dan bukit-bukit. Kegiatannya berupa kumpul-kumpul (silaturahmi) yang diisi dengan mendengarkan nasehat orang tua berisi persiapan Ramadan. Acara ini dilanjutkan dengan saling memaafkan dari kekhilafan dan diakhiri dengan makan bersama (botram).

Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi munggahan hampir mengalami pergeseran nilai. Tradisi munggahan sekarang hanya diartikan dengan makan-makan saja. Hampir setiap menjelang Ramadan tiba, kita menyaksikan rumah makan, warung nasi, dan obyek wisata kebanjiran pengunjung yang hendak botram. Dalam suasana pandemi covid-19 sekalipun tradisi munggahan masih tetap digandrungi walaupun secara terbatas. Ini menandakan tradisi ini masih berkenan di hati masyarakat.

Meskipun tradisi munggahan ini tidak ditemukan secara tekstual dalam nash. Namun munggahan merupakan kearifan lokal yang berdialektika dengan ajaran Islam, sarat nilai luhur sebagai upaya memantapkan jiwa dan raga dalam mengahadapi bulan Ramadan

Apabila dimaknai secara mendalam, tradisi munggahan ini semakna dengan istilah i’dad ar-Ramadhan yang terdapat dalam khazanah turats. Tentu hal ini sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam, karena maqashid (tujuan) akhir dari tradisi ini adalah agar umat Islam dapat menjalankan syariat puasa dengan sebaik-baiknya. Bukan puasa yang kosong dari makna, tapi puasa yang mampu menaikkan derajat manusia beriman menjadi muttaqin.

Inti mungahan yang sesungguhnya adalah bagaimana kita mampu meningkatkan diri dalam menghadapi Ramadan, termasuk di antaranya persiapan fisik. Sebab jika fisik kita lemah, bisa jadi kemuliaan yang dilimpahkan oleh Allah subhanahu wata’ala pada bulan Ramadhan tidak dapat diraih secara optimal. Dalam konteks inilah, manusia diharapkan dapat munggah jasadiyah dalam arti meningkatkan kesiapan fisik supaya tidak lemah dan lesu saat memasuki Ramadan.

Selain persiapan fisik, kitapun harus memaksimalkan persiapan ruhiyah, sehingga saat memasuki bulan Ramadan segalanya sudah siap dan tidak mengalami kekagetan. Kadang, karena semangat ibadah instan (dadakan) inilah yang pada akhirnya berujung munculnya rasa bosan. Untuk itu, kita perlu meningkatkan semangat jiwa (ruh) kita dengan ibadah nawafil pra Ramadhan, seperti puasa, tilawah Alquran, bersedekah dan ibadah-ibadah lainnya.

Munggahan ruhiyah seperti ini sangat dianjurkan. Berkaca pada amaliyah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang mempersiapkan diri menjelang Ramadan dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Dalam sebuah hadits diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:

Saya tidak melihat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).

Banyak sekali makna penting yang dapat digali dari tradisi munggahan ini. Setidaknya umat Islam harus siap dengan munggah jasadiyah dan ruhiyah. Selain itu jangan dilupakan munggah ilmiiyah. Munggah ini mempunyai makna meningkatkan ilmu, khususnya pengetahuan yang terkait dengan ibadah Ramadan.

Bagaimana umat Islam berpuasa dengan baik, apa syarat yang harus dipenuhi, apa yang membatalkan puasa, dan apa yang merusak pahala puasa, serta bagaimana meraih keutamaan-keutaman pada bulan yang penuh keberkahan ini. Tanpa ilmu, kebanyakan orang yang berpuasa tidak akan menghasilan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Hal ini dikarenakan ibadah puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup.

Wilujeng  Munggahan…!!!

 

Leave a Response