Salah satu tausiah Kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad semasa hidupnya yang selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan kepada santri-santrinya adalah “santri harus betah dan kerasan di pondok”.

Tentu saja mafhum mukhalafah betah dan kerasan di pondok artinya seorang santri jangan sering-sering izin pulang tanpa adanya kebutuhan mendesak atau kifayah, apalagi izin pulang hanya untuk menghadiri salamatan khitan atau walimah. Alhasil, Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Sumenep Madura merupakan diantara sekian banyak pesantren yang menerapkan sistem perizinan pulang berlapis sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Perizinan pulang tanpa menginap biasanya tidak begitu susah. Cukup menghadap pengurus bagian keamanan dan ketertiban dengan menyampaikan alasan serta membawa kartu izin pulang. Jika mendapatkan rekomendasi dan menyelesaikan beberapa persyaratan tertentu, maka santri yang bersangkutan diperkenankan pulang dengan catatan kembali sebelum adzan maghrib dikumandangkan.

Sementara bagi santri yang hendak pulang lebih satu hari, maka selain menghadap kepada pengurus, ia diharuskan menghadap kepada Kiai Basyir langsung. Biasanya, hanya santri yang benar-benar punya kepentingan mendesak yang berani menghadap kiai.

Bagi santri kompleks bahasa Arab yang dikenal dengan Darul Lughah Al-Arabiyah Wal Fiqh As-Salafi, perizinan pulang bukan perkara yang susah-susah amat. Selama mereka punya keberanian menghadap Kiai Basyir lalu menyampaikan maksud dan untuk keperluan apa pulang dengan berbahasa Arab, maka saat itulah biasanya akan merekah senyum penuh bangga dari sosok penuh kharisma tersebut.

Kalau sudah ada santri yang menghadap kepada beliau untuk izin pulang dengan berbahasa Arab, biasanya beliau langsung bertanya, “Kam yaum? (berapa hari?)” dan cukup dijawab saja, “Tsalatah ayyam, ya Syaikh (tiga hari, Kiai)” atau sesuai dengan keperluannya. Bahkan ada salah satu teman saya, namanya Abd. Hayyi, pernah izin kepada Kiai Basyir selama sebulan untuk mengikuti kursus pengembangan bahasa Arab di luar pondok dan beliaupun memberi izin.

Tidak hanya untuk kepentingan agar mudah mendapatkan izin pulang dari pemegang otoritas tertinggi di pesantren, komunikasi berbahasa Arab dengan Kiai Basyir dilakukan beberapa santri justru untuk menghidar ribetnya komunikasi dalam bahasa Madura halus (sopan). Akhirnya para santri mulai membangun persepsinya sendiri, bahwa segala urusan kepesantrenan pokoknya akan menjadi jauh lebih mudah dengan bahasa Arab. Apalagi—menurut mereka—membuat kiai senang ini sudah bernilai tabarrukan. Maka di sinilah kaidah satu kali dayung dua pulau terlampaui berlaku.

Pada kesempatan yang lain, tepatnya sehabis hadiran (jamaah) Ashar, ada dua orang santri menghadap Kiai Basyir membawa suatu pengaduan, “Ya Syaikh, fawaqihu sawo innama tuwassikhu al-sahah, narju minkum al-halal wa al-barakah (Kiai, buah sawo {yang berjatuhan} hanya mengotori halaman {kompleks bahasa Arab}, oleh karena itu, kami mohon kehalalan {mengkonsumsi} dan barakah).”

Sekali lagi Kiai Basyir hanya bisa tersenyum bangga dan beliau memperbolehkan santri-santrinya memakan buah sawo yang berjatuhan tersebut, tepatnya berada di halaman kompleks Darul Lughah. Akhirnya para santri secara sepihak malah beranggapan bahwa “fatwa” beliau tersebut berlaku terus-menerus dalam setiap musim berbuah.

Kiai Basyir memang sosok yang memiliki kepedulian besar terhadap ilmu agama. Sementara bahasa Arab merupakan salah satu perangkat paling penting bagi seorang santri untuk bisa memahami kitab-kitab ulama klasik dalam bahasa sumbernya. Kiai Basyir sangat mengapresiasi segala usaha yang dilakukan oleh santri-santrinya dalam rangka tercapainya pengetahuan agama secara baik dan benar, termasuk dalam perihal bahasa Arab.

Lahu Al-Fatihah…

Wallahua’lam…

 

 

Leave a Response