KH. Abdul Majid Bakry adalah putra dari pasangan suami istri Pangka dan Nciho. Beliau dilahirkan di Desa O’o Kecamatan Donggo Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 1920. Beliau memiliki 7 saudara, lima perempuan yaitu: Sihe, Saive, Hadijah, Sau, Gio, dan dua laki-laki, yaitu Mursalin dan Muhammad Saleh.
Abdul Majid kecil dikenal dengan nama Majid. Masa kecil beliau dihabiskan bersama keluarganya yang dibesarkan dengan ekonomi lemah. Rumah beliau hanya berukuran 4×5 meter dengan 4 tiang yang beratapkan alang-alang.
Pada zaman itu memang tidak jarang masyarakat yang tinggal dengan rumah seadanya seperti itu. Ayah Abdul Majid merupakan petani kecil biasa serta termasuk bagian dari satuan pengamanan anggota kerajaan Bima masa itu atau dikenal dengan istilah satpam.
Masa kecil Majid dikenal sebagai anak yang pemberani, pintar, ulet, santun, rajin, jujur serta taat kepada orang tua dan agama. Bagi teman-teman sepermainannya Majid adalah seseorang yang mau bekerja sama, tidak mau menang sendiri serta menyenangkan.
Beliau adalah sosok yang disayang teman-temannya karena suka membantu dan pandai dalam bergaul. Beliau dikenal sangat rajin karena masa kecilnya dihabiskan dengan bekerja membantu orang tua.
Menurut keterangan kakaknya, Ina Tima, di sela-sela waktu bersekolah atau istirahat, beliau menyempatkan diri untuk membantu orang tua di sawah dan di ladang demi mendapatkan upah untuk kebutuhan keluarga.
Abdul Majid kecil menempuh pendidikan di sekolah rakyat yang bertempat di Desa O’o Kecamatan Donggo. Salah satu guru yang dekat dengan beliau adalah Bapak Abdul Wahab. Majid merupakan anak yang sangat rajin, beliau disayangi oleh gurunya, karena setiap pulang sekolah beliau tidak langsung pulang ke rumah, melainkan membantu pekerjaan rumah gurunya seperti menanak nasi, dan lain-lain.
Pada tahun 1941 ketika beranjak dewasa Abdul Majid tinggal di dalam istana bersama keluarga kerajaan Bima. Beliau dipercaya karena pintar mengaji dan sholeh. Di sana beliau menempuh pendidikan dan belajar agama yang dibimbing langsung oleh seorang qori internasional yang sangat terkenal pada masa itu, yaitu Ustadz H. Abubakar Husein.
Abdul Majid merupakan murid langsung yang sangat dekat dengan beliau, karena Abdul Majid merupakan siswa terpilih yang diseleksi dari banyaknya pemuda Donggo yang bisa mengaji. Selain belajar mengaji dan ilmu Al-Qur’an, beliau juga belajar Agama Islam lebih dalam dan lebih luas. Di sanalah beliau memperoleh ajaran Islam sebelum menyebarluaskannya ke tanah Donggo, Bima, NTB.
Karena kepandaian serta jiwa kepemimpinannya Abdul Majid bahkan diangkat menjadi putra ideologis H. Sanuddin dan Sultan Muhammad Salahuddin yang merupakan orang-orang penting dalam kesultanan Bima. Abdul Majid diperlakukan seperti anak kandung sendiri.
Beliau disekolahkan di Madrasah Tsanawiyah (Mts) di Kota Bima, dan dalam waktu satu tahun berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan sempurna. Setelah tamat Tsanawiyah, dengan modal ijazah tersebut beliau sudah bisa menjadi pengajar di sekolah rakyat di Donggo, akan tetapi beliau lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi. Akhirnya beliau melakukan ujian masuk sekolah Mu’alimin, dan lulus sebagai peraih rangking pertama dengan indeks prestasi yang tinggi.
Bersama beberapa temannya yang sama-sama berasal dari Bima, Abdul Majid akan dibiayai oleh Sultan untuk sekolah di pesantren Mu’alimin di Jombang yang merupakan institusi pendidikan terkenal di pulau Jawa masa itu. Akan tetapi Abdul Majid tidak diperbolehkan oleh ayah ideologisnya H. Sanuddin, karena kepandaian serta jiwa kepemimpinan Abdul Majid sangat dibutuhkan di Bima, terkhusus di wilayah Donggo tempat kelahirannya. Akhirnya beliau tidak jadi melanjutkan pendidikannya ke Jombang dan beralih menjadi guru agama di Donggo.
Ketika Abdul Majid menjadi pengajar di Donggo, sebelumnya Donggo merupakan wilayah yang belum tersebar agama Islam. Masyarakat masih percaya ajaran animisme dan dinamisme. Mereka masih menyembah hal-hal mistis seperti ruh halus, bebatuan, keris, dan lain-lain.
Oleh karena itu Abdul Majid harus pandai mengatur dan mengambil perhatian Masyarakat terhadap agama baru yang diajarkannya. Dengan sabar dan keuletan beliau mengajak sedikit demi sedikit masyarakat Donggo mengikuti ajarannya yang dimulai dari keluarganya.
Dengan ajaran dalam kitab suci Al-Qur’an yang dipelajarinya beliau meyakinkan masyarakat Donggo. Akhirnya pada tahun 1947 Agama Islam dapat diterima baik di Donggo dibuktikan dengan masuk Islamnya sebagian besar masyarakat Donggo.
Oleh karena itu sampai sekarang K.H Abdul Majid Bakry dikenal sebagai orang pertama yang membawa ajaran Islam di tanah Donggo. Beliau merupakan ulama yang menjadi penerang Donggo yang sangat terkenal hingga masa sekarang. Hidupnya dihabiskan untuk berdakwah dari desa ke desa di wilayah Donggo bahkan sampai ke wilayah Dompu.