Selain seorang ulama teladan, beliau merupakan tokoh politik yang sangat disegani oleh seluruh masyarakat. Beliau adalah anggota DPRD Kabupaten Bima. Beliau juga menjadi pemimpin di desanya.
Abdul Majid juga merupakan tokoh pertama yang membangun Front Anti Komunis di Kecamatan Donggo masa itu. Walaupun PKI di Indonesia sudah menyebar luas bahkan sampai ke Kota/Kabupaten Bima, akan tetapi komunis mati kutu di tanah Donggo, berkat perjuangan dan kerja sama masyarakat dan front anti komunis yang diketuai oleh Abdul Majid sendiri.
Selain itu Abdul Majid juga membangun sebuah organisasi Islam yaitu Angkatan Pemuda Islam (API) yang beranggotakan sekitar 500 orang. Sekarang API sudah bergabung dengan organisasi besar Islam yang bernama Gerakan Pemuda Islam Indonesia.
Tahun 1972 Abdul Majid merupakan salah satu tokoh terkenal pada peristiwa Donggo 1972 yang sangat legendaris dan tak terlupakan sampai sekarang. Bersama keempat tokoh Donggo lainnya yaitu: H. Abbas Oya B.A, H. Kako, Jamaluddin H.Yasin, dan H. M. Ali Arsyad, Majid memperjuangkan hak-hak masyarakat Donggo dan Kabupaten Bima masa itu di bawah kepemimpinan Bupati Bima yang dinilai dzalim dan mengkhianati hak-hak rakyat.
Abdul Majid dipercaya sebagai pemimpin desa serta orang yang paling disegani di Kecamatan Donggo. Selama Abdul Majid menjadi pemimpin, kehidupan masyarakat Donggo menjadi sangat baik. Masjid-masjid mulai dibangun, lahan pertanian mulai kembangkan, sekolah agama dan pesantren tahfidz didirikan di setiap desanya.
Beberapa sekolah yang telah beliau bangun antara lain: Sekolah Islam Darul-Ulum di Desa O’o, sekolah-sekolah rakyat di Kananta, pesantren tahfidz, dan masih banyak lagi infrastruktur lainnya. Oleh karena itu Abdul Majid menjadi tokoh yang sangat dikagumi sampai sekarang, baik oleh orang tua, pemuda, anak-anak bahkan disegani oleh banyak pejabat-pejabat terkenal daerah Bima.
Ada cerita yang cukup terkenal dahulu yang juga ditulis oleh anaknya dalam bukunya. Masa itu ada beberapa masalah yang mengakibatkan amukan warga karena muncul dua pemuda yang mabuk-mabukan di Desa Saneo Kabupaten Dompu. Warga mengamuk karena pemuda itu dianggap telah mengotori desa mereka.
Akhirnya pemuda itu dikejar dan hampir ingin dibunuh akan tetapi terhalang karena lebih dulu diamankan polisi. Mendengar itu masyarakat tidak mau tahu, mereka tetap meminta dan berdemo ke kantor polisi Kabupaten Dompu agar dua warga tersebut dibunuh.
Karena hal itu polisi bahkan tidak tahan dan sulit menangani amukan massa. Untunglah ada salah satu polisi yang mengenal Abdul Majid sebagai ulama yang ditaati dan disegani seluruh masyarakat. Polisipun memutuskan untuk menjemput Abdul Majid dan meminta bantuannya untuk menangani massa yang mengamuk.
Dengan hadirnya Abdul Majid massa akhirnya mulai tenang dan bisa terkendalikan. Akhirnya mereka mengikuti arahan baik dari Abdul Majid dan kembali ke rumah masing-masing dengan baik.
Cerita di atas menjadi bukti bahwa Abdul Majid merupakan ulama, guru, serta pemimpin yang sangat dihormati dan disegani masyarakat, sehingga ia pun hidup berpindah-pindah dari desa satu kedesa lain. Adanya beliau menjadikan kehidupan masyarakat di desa itu menjadi lebih berkembang.
Beberapa desa yang pernah ditinggali beliau adalah Desa O’o, Rora, Mbawa, Kananta, Karama Bura Kabupaten Dompu, dan lain-lain. Setiap desa yang ditinggalinya menjadi desa yang maju sampai sekarang. Dan dengan berdakwah seperti itulah beliau hidup sampai akhir hayatnya.
Selama hidup Abdul Miajid pernah menikah tiga kali. Pertama beliau menikahi seorang janda cantik putri bungsu dari anak orang terpandang di desa O’o yang bernama Khadijah. Pernikahan Abdul Majid dengan Khadijah didukung oleh keluarganya dan diterima baik oleh keluarga Khadijah.
Akhirnya mereka resmi menikah pada tahun 1948. Pernikahannya dengan Khadijah menghasilkan buah hati sebanyak 4 orang, yang bernama Fatmawati, Nasruddin, Salahuddin dan Nasrullah.
Tahun 1957 Abdul Majid resmi menikah lagi dengan Fatimah, siswinya sendiri. Pernikahannya dengan Fatimah melahirkan 6 orang anak, yaitu Ghazaly, Hambaly, Hayati, Taufiq, Zulkifli, Nur Jannah, Mone dan Nur Wahidah. Perjalanan rumah tangga Abdul Majid dengan Fatimah berjalan mulus sampai beliau dihadiri berita duka dengan kepergian istrinya.
Fatimah meninggal dunia pada tahun 1988 setelah menjalani 31 tahun bahtera rumah tangga dengan Abdul Majid. Kepergian istrinya menjadi pukulan bagi Abdul Majid, akhirnya beliau hidup sendiri di masa tuanya.
Setelah beberapa lama Abdul Majid menikah dengan Ijah, yaitu janda beranak empat yang ditinggal mati suaminya. Pernikahan itu disetujui oleh anak-anak serta ke-39 cucunya mengingat Abdul Majid yang hidup sendiri di masa tua.
Pernikahan beliau dengan Ijah berjalan hingga 18 tahun, sampai Ijah meninggalkan Abdul Majid selama-lamanya karena penyakit kangker payudara yang dideritanya. Kematian Ijah meninggalkan 4 orang anak dan 11 orang cucu.
Sampai akhirnya Abdul Majid hidup dengan anak-anak dan cucunya selama puluhan tahun hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tahun 2017 di sore hari, tepatnya Selasa 14 Februari, di usianya yang ke-109 tahun.
Kepergian Abdul Majid meninggalkan luka yang amat besar bagi Masyarakat Donggo. Guru besar, ulama, pemimpin, yang menjadi teladan dan penasihat mereka meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
Wawancara dengan salah satu teman seperjuangan beliau yaitu H. Abbas H. Oya B.A. Yang dilaksanakan pada hari Sabtu 14 November 2020 Jam 10.00-11.45 WITA, di kediaman H. Abbas H. Oya B.A.
Ghazaly, Ama la Nora. Mutiara Donggo. Jakarta Barat: NCI Press. 2008.