Nama Kiai Hasyim Asy’ari tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Beliau adalah sosok kiai karismatik dan ulama kesohor dari Jawa Timur yang memiliki kedalaman ilmu agama. Di Nusantara, beliau adalah ulama abad 20 yang kemasyhurannya di bidang Hadis tak tertandingi.
Kiai Hasyim berguru kepada Syekh Mahfudz Termas, seorang ulama Nusantara yang menjadi “guru besar ilmu hadis di Makkah”. Tak diragukan lagi kalau Kiai Hasyim memiliki sanad kitab Shohih Bukhori dan Shohih Muslim yang bersambung ke Rasulullah.
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini, selain pemikir pendidikan Islam tradisional (khususnya pendidikan karakter), juga ulama produktif Jawa Timur pada masanya. Di antara karya yang dianggitnya adalah Adab al-Alim wa al-Muta’alim fi ma Yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limihi wa ma Yatawaqqafu ‘alayhi al-Mu’allim fi Maqamati Ta’limihi.
Kemudian Hasyiyat ‘ala Fath al-Rahman bi Syarh Risalat al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariyya al-Anshari, al-Risalah al-Tawhidiyyah, al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘Aqa’id, al-Risalah al-Jama’ah, Tamyuz al-Haqq min al-Bathil, al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus, dan Manasik Sughra, dan lain sebagainya.
Selama ini tidak banyak yang mengetahui bahwa Kiai Hasyim Asy’ari juga menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi kalangan perempuan. Beliau memang tidak secara eksplisit mengupas tentang bagaimana konsep pendidikan bagi kalangan perempuan dalam karya-karyanya.
Tetapi, menurut Ishom Hadzik, gagasan Kiai Hasyim tersebut lahir dari sebuah pemahaman yang mendalam terhadap sunnah Nabi. Yakni: “Perempuan adalah pilar sebuah negara”.
Dikutip dari buku Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari: Perintis Kemerdekaan Indonesia karya Muhammad Asad Shahab, bentuk kepedulian Kiai Hasyim Asy’ari terhadap pentingnya sebuah pendidikan bagi kalangan perempuan, disampaikan langsung oleh beliau kepada kaum Muslimat yang datang dari Jawa Timur. Tatkala mereka hendak menyerahkan uang kepada Kiai Hasyim, yang dikumpulkan dari hasil sumbangan pada bulan Ramadhan.
Kiai Hasyim tidak menerima sumbangan itu. Beliau justru memberikan nasihat kepada mereka perihal pentingnya sebuah pendidikan bagi kalangan perempuan. Sembari menyerahkan kembali uang tersebut kepada mereka, beliau berpesan agar uang tersebut dipergunakan oleh mereka untuk mendirikan sebuah (lembaga). Sebagai wadah pendidikan bagi kalangan perempuan.
Sebab, bagi Kiai Hasyim, ilmu adalah sebuah senjata yang paling ampuh dalam menjalani kehidupan ini. Sehingga, tanpa ilmu kehidupan yang dilakoni oleh kita seakan tidak ada maknanya, karena tidak memiliki arah dan tujuan yang hendak dicapai (tentu sesuai dengan norma-norma agama).
Peristiwa tersebut memberikan arti tersendiri bagi mereka (kaum Muslimat) dan semangat yang kuat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan khususnya bagi kalangan perempuan sendiri.
Namun, gagasan Kiai Hasyim tentang pentingnya pendidikan bagi kalangan perempuan awalnya ditolak oleh sejumlah kiai di forum Muktamar NU. Tetapi seiring berjalannya waktu, Kiai Hasyim dapat meyakinkan mereka agar menaruh perhatian terhadap pendidikan khususnya bagi kalangan perempuan.
Tidak lama setelah itu, sejumlah pesantren mulai membuka pendidikan untuk kalangan perempuan, di antaranya Pesantren Manbaul Ma’arif, Denanyar, Jombang. Dan Nyai Khairiyah Hasyim yang menetap di Makkah juga membuka madrasah untuk perempuan, yang dikenal dengan Madrasah al-Banat.
Komitmen Kiai Hasyim Asy’ari menemukan momentumnya dalam menyelamatkan umat (tidak hanya untuk laki-laki, tetapi juga perempuan) dari kubangan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Yakni dengan mendirikan sebuah organisasi sosial-keagamaan, yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Bagi Kiai Hasyim Asy’ari, organisasi ini (NU) merupakan salah satu wadah (media) untuk membangun kekuatan yang lebih besar di kalangan umat Islam pada umumnya dan para alim ulama pada khususnya. Membangun kekuatan untuk menegakkan nilai-nilai keislaman, memperjuangkan hak-hak mereka (umat Islam), dan memberdayakan mereka agar memiliki wawasan yang lebih luas di Bumi Pertiwi.
Itu artinya, Kiai Hasyim Asy’ari mendobrak pola pikir masyarakat perihal budaya patriarki (perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu). Budaya yang berkembang di tengah masyarakat Nusantara kala itu. Budaya yang bagi banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang sudah final karena ditopang oleh doktrin teologis.
Seperti, adanya anggapan bahwa seorang perempuan tidak boleh beraktivitas di luar rumah. Karena ia tidak pantas memegang kekuasaan, bahkan diklaim tidak memiliki kemampuan laiknya seorang laki-laki.
Maka dari itu, pemikiran Kiai Hasyim Asy’ari tersebut menjadi angin segar bagi kalangan perempuan kala itu. Di mana kaum perempuan dapat meningkatkan kualitas keilmuan dan peran mereka.
Tidak hanya berkutat pada tiga hal, yakni kasur (untuk menunaikan kewajiban), dapur (untuk menyajikan makanan), dan sumur (untuk mencuci pakaian). Tetapi juga mendapatkan akses ke ruang publik yang lebih luas.