Sikapnya yang teguh dan senantiasa berpegang teguh pada koridor kajian fiqh klasik, itulah yang menyebabkan sosok Kiai Mas Subadar sering dilibatkan dalam bahstul masa’il (pembahasan masalah) yang diselenggarakan oleh Nahdhlatul Ulama saat itu.
Selain itu, tutur katanya juga halus, argumentatif, dan mampu menyesuaikan diri dengan bahasa masyarakat yang dihadapi. Ini membuat masyarakat di kawasan tapal kuda, Jawa Timur, sering mendatangi pengajian yang diisinya. Mereka tertegun menyimak orasi Kiai Muhammad Subadar.
Muhammad, demikian nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya, lahir pada 1942 di sebuah desa Besuk, Kejayan, Pasuruan dari pasangan KH. Subadar dan Hj. Maimunah. Pada usia 3 bulan (1942), ia telah yatim karena ditinggal wafat sang ayahanda, KH. Subadar. Sehingga ia banyak belajar mandiri dengan diasuh oleh ibundanya yakni Hj Maimunah.
Kecenderungan belajar mandiri pada generasi kelima dari KH Aly Murtadho, pendiri pondok pesantren yang kini diasuhnya, memang sudah tampak dari kecil. Lebih-lebih ketika Subadar menggeluti jenjang pendidikan formal, masuk SR (sekolah dasar pada waktu itu) langsung duduk di kelas tiga. Tapi kemudian tak pernah ia menamatkannya. ”Itu tak pantas ditiru. Saya orang yang pembosan,” katanya menerawang masa lalu.
KH. Muhammad Subadar sangat mengidolakan sosok Ibunda. Baginya, Hj Maimunah adalah sosok panutan. Sebab melalui sentuhan lembut dan tangan dingin sang Ibunda, ia menjadi pribadi yang mandiri dan tegar dalam menatap tantangan jaman.
“Ibu sangat perhatian dengan kondisi mengaji saya. Kalau saya minta apa-apa, ibu sering memberi motivasi semangat saya untuk bisa mengaji. Ini membuat semangat belajar saya lebih berkobar untuk menguasai pelajaran agama. Seperti ketika masih kecil ia minta dibelikan sepeda, namun syaratnya harus hafal sekian surat Al-Qur’an. Dan saya bisa, hingga akhirnya ia bisa dibelikan sepeda,” ujarnya sambil tersenyum.
Pendidikannya masa kecil itu sempat terputus, namun melalui motivasi dan bimbingan sang ibu, Hj Maimunah, itulah yang membuatnya merasa dekat dengan pelajaran agama. Secara kebetulan pula, ia banyak dididik oleh lingkungan keluarga yang sarat religius, termasuk ia belajar pada kakak-kakaknya seperti KH. Ali Murtadlo dan KH Ahmad di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan. Tamat dari Madrasah Ibtidaiyah, ia lalu melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, dari 1958-1961.
Di pondok Lirboyo, Kediri itu KH. Muhammad Subadar menemukan tempat belajar yang sesungguhnya. Hari-hari di pondok dihabiskan untuk mengaji dan belajar ilmu agama, terutama mengenai ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain.
Di pondok yang terkenal dengan gaya belajar yang ketat namun berkualitas, ia menemukan dua guru yang sangat berkesan dalam hidupnya. “Dua guru saya itu hebat sekali, yakni KH. Makrus Ali dan KH. Idris Marzuki (Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo). Masjid, kitab, dan pesantren adalah seakan-akan menjadi jalan hidupnya dan seluruh waktunya sudah diberikan untuk orang lain,” katanya.
Selain itu, mengenai keduanya, Subadar banyak belajar cara-cara mengelola pondok pesantren. ”Keduanya itu adalah pasangan yang hebat dalam mengelola pesantren,” tambah KH. Muhammad Subadar.
Setelah dirasa cukup memperdalam ilmu agama dari beberapa ulama yang ada di sekitar Pasuruan, ia kemudian mulai memperdalam keilmuannya secara mandiri dengan menelaah kitab-kitab klasik (kuning). Dengan tekun, secara otodidak, sejak tahun 1961 ia menggali khazanah peninggalan ulama abad pertengahan hampir selama 6 tahun.
Praktis, pada masa itu ia banyak mengurung diri dalam kamar, tidak ke mana-mana, seluruh waktunya dihabiskan mengkaji kitab-kitab klasik yang ada di perpustakaan Pondok Pesantren Roudhotul Ulum.
Lepas dari masa-masa “mengurung diri”, ia kemudian mulai berkiprah dalam organisasi NU pada tahun 1967. Mula-mula ia di IPNU, dua tahun kemudian namanya langsung mencuat sebagai ketua GP Anshor Pasuruan.
Aktivitasnya di organisasi sempat terhenti setelah menikahi Aisyah pada tahun 1969. Baru pada kisaran 1976 Subadar kembali terjun dalam kegiatan organisasi dan sekaligus mengemudikan kepemimpinan pesantren Raudhotul Ulum. Pada tahun 1980, ia terpilih sebagai Rois Syuri’ah NU Cabang Pasuruan dan Wakil Rois Syuri’ah NU Jawa Timur.
Selain di tengah kesibukannya mengelola organisasi NU, ia pun tak melupakan tugas utamanya yakni mengajar santri. Pengasuh Pondok Pesantren Raudhotul Ulum ini, setiap pukul 06.00 sampai siang banyak mendampingi sekitar 2000-an santri putra dan putri, terutama mengajar kitab-kitab tasawuf seperti Ihya Ulumiddin, Bidayah An-Nihayah dan lain-lain.
Sementara dari sore sampai malam hari, ia selalu memenuhi undangan pengajian. “Kalau pengajian malam hari bisa berpindah-pindah dari satu desa ke desa yang lainnya. Pukul rata sampai enam tempat sehari,” katanya.
Sosok ulama yang gigih membentengi umat Islam, terutama di pedesaan ini mengaku sangat suka berada di tengah-tengah umat. Berbagai rintangan dalam berdakwah, tak dirasakannya, namun dinikmatinya sebagai suatu tantangan.
”Pernah saya berdakwah ke daerah pegunungan di Pasuruan, medan jalanan yang buruk membuat kendaraan tak bisa meneruskan perjalanan. Namun masyarakat tetap memaksanya untuk mengisi pengajian, padahal saya sudah sangat capek. Akhirnya, masyarakat ramai-ramai membawa tandu dan membawa saya ke arena pengajian. Itu sangat berkesan bagi saya,” kata KH. Muhammad Subadar.
Ia disukai para peserta pengajiannya karena kehalusan dalam bertutur. Tak heran, ia harus mengisi banyak majelis taklim yang tersebar di Pasuruan dan daerah-daerah sekitarnya. Yang terjadwal, sekitar lima puluh tiga tempat taklim dalam sebulan harus disambanginya.
Tantangan dakwah sekarang menurut KH Moh Subadar adalah ramainya maksiat yang sedang merajalela. Ancaman bencana moral itu harus disikapi oleh semua pihak. Aktivitasnya di organisasi NU, pernah masuk dalam Ahwa PBNU dan juga wakil Majlis Syariah DPP Partai Persatuan Pembangunan.
Sebelum meninggal, KH Mas Subadar sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Darmo Surabaya sejak 13 Juli. Namun kondisi kyai kelahiran 1942 itu tidak kunjung membaik. Namun begitu, almarhum meminta pulang.
KH Muhammad Mas Subadar wafat pada Sabtu malam, 30 Juli 2016 pada usia 72 Tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Desa Besuk, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.