Keberadaan dan kiprah kyai lokal sejak masa silam masih patut untuk dikaji dan didokumentasikan melalui tutur tulisan. Kendati sederetan tokoh terkemuka yang melulu masuk daftar seratus atau seribu tokoh berpengaruh di dunia masih menyedot perhatian.
Namun mereka, para kyai lokal juga memiliki andil, pengaruh, dan kontribusi positif bagi perkembangan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Salah satunya adalah KH Mustaqim.
KH Mustaqim lahir di Desa Nyawangan, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Ketika usianya memasuki 12 tahun, ia diserahkan kepada Kyai Zarkasyi di Kauman, Tulungagung. Oleh Kyai Zarkasyi, ia diajari berbagai macam ilmu agama Islam.
Menginjak usia 15 tahun, ia dibawa oleh pamannya Kyai Sholeh untuk diajak berguru ke Syekh Khudlori di Malangbong, Garut, Jawa Barat. Di sini ia mendapatkan ijazah dan talqin Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dan Tarekat Naqsabandiyah. Selain itu, ia juga belajar ilmu silat yang dikemudian hari menarik minat banyak orang untuk berguru kepadanya.
Memasuki usia 23 tahun, KH Mustaqim dinikahkan oleh Kyai Zarkasyi dengan Nyai Halimatus Sa’diyah, putri Mbah H. Rois. Di kediaman mertuanya ini, ia mengajarkan ilmu silatnya. Semakin lama, semakin banyak orang yang tertarik berguru kepada KH Mustaqim.
Dalam pengajaran ilmu silat, KH Mustaqim menekankan kepada muridnya untuk selalu membaca dzikir di setiap gerakannya. Selain itu, wudhunya tidak boleh batal. Jika batal maka harus berwudhu kembali. Karena menurut KH Mustaqim, apapun itu, termasuk ilmu silat hanya sebagai perantara untuk mendekatkan seorang hamba kepada Maha Penciptanya.
Di tahun 1940, Syekh Abdur Razaq bin Abdullah at-Tarmasi bertamu ke kediaman KH Mustaqim. Kedatangannya ini dilatarbelakangi oleh salah satu murid KH Mustaqim, Asfaham yang mengembara sampai ke Pondok Termas, Pacitan. Di sana, Asfaham berbicara tidak karuan dan menantang santri dan para ustaz untuk berdebat.
Peristiwa jadzab itu menarik perhatian Syekh Abdur Razaq, kendati ucapan Asfaham ngelantur, namun muatan yang disampaikan adalah ilmu dan kebenaran. Ketika ditanya siapa gurunya, Asfaham menjawab KH Mustaqim dari Tulungagung.
Setelah Syekh Abdur Razaq menyampaikan maksud kedatangannya untuk berguru, ia ditolak secara halus oleh KH Mustaqim.
“Nyuwun pangapunten Yai, kulo sampun dangu mireng asmo agung panjenengan. Kulo sejatosipun gadah rencana badhe sowan dateng Tremas. Kulo badhe nderek dados murid panjenengan” (Mohon maaf kyai, saya sudah lama mendengar nama besarmu. Saya sendiri sebenarnya memiliki rencana untuk datang ke Termas. Saya ingin menjadi muridmu).
Hal ini terjadi berkali-kali, sampai akhirnya KH Mustaqim bersedia karena menghormati seorang tamu dan takzim terhadap keluhuran Syekh Abdur Razaq.
Purnawan Buchori Perjalanan Sang Pendekar memaparkan bahwa KH Mustaqim memberikan ijazah aurad dan cara mengamalkannya. Ada 3 pendapat tentang aurad yang diijazahkan KH Mustaqim kepada Syekh Abdur Razaq.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa aurad itu adalah Hizb Autad (Kafi). Pendapat kedua, aurad itu adalah Hizb Asma’ Baladiyah. Pendapat ketiga, bahwa aurad itu adalah Bismillahilladzi laa yadhurru (illa akhirihi) dan al-Aganiyyu al-Mani’u (illa akhirihi) yang dibaca dalam jumlah tertentu.
Setelah selesai, KH Mustaqim meminta Syekh Abdur Razaq untuk memberikan ilmunya. Syekh Abdur Razaq mengambil sebuah buku yang dibawanya dari Tremas, berisi wirid-wirid. Ia meminta KH Mustaqim memilih sendiri wirid yang dikehendakinya. Dengan mengucap basmalah, ia membuka halaman buku secara acak, tanpa membaca apa isi halaman yang dibuka.
Dalam keadaan terbuka, buku itu diberikan kembali kepada Syekh Abdur Razaq, kemudian mengamati isi catatan pada buku yang dibuka. Syekh Abdur Razaq mengatakan kepada KH Mustaqim bahwa halaman yang dibuka itu adalah aurad Tarekat Syadziliyah.
Setelah itu terjadi prosesi pembaiatan Tarekat Syadziliyah dari Syekh Abdur Razaq kepada KH Mustaqim. Pada kesempatan itu, Syekh Abdur Razaq berpesan kepada KH Mustaqim untuk mengembangkan Tarekat Syâdzilîyah di Tulungagung.
Sejak itu, KH Mustaqim berangsur-angsur meniadakan pengajaran silat dan mengubah kediamannya menjadi sebuah pondok pesantren. Belakangan pondok pesantren itu dikenal dengan sebutan Pondok Pesulukan Tarekat Agung (PETA).
Kendati di masa awal mengalami banyak hambatan, namun itu tidak menyurutkan niat KH Mustaqim untuk mengembangkan Tarekat Syadziliyah. Murid-muridnya yang masih sedikit ditekankan untuk tidak melakukan kemusyrikan.
Implikasi penekanan itu, membuat KH Mustaqim ditangkap dan diasingkan ke Malang oleh Jepang, karena menolak melakukan upacara sekerei. Upacara membungkuk menghadap matahari terbit sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari.
Tidak berhenti di situ, ketika terjadi pertempuran 10 November 1945, KH Mustaqim mengirim murid-muridnya untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Mereka dibekali tali rotan sepanjang satu meter yang sudah diberi doa.
Melihat kontribusi KH Mustaqim ini semakin menegaskan bahwa Islam dengan segala ajarannya selalu memuat nilai-nilai nasionalisme. Keduanya saling sokong dan menguatkan. Demikian.