Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj pada peringatan Haul Emas KH Wahab Chasbullah ke-50 Selasa (22/06) menyampaikan bahwa bangsa Indonesia sedang menghadapi lima perang besar. Sehingga lima perang besar itu harus dimenangkan.
Berikut paparan Kiai Said Aqil Siradj:
Kita sedang menghadapi lima perang besar yang harus dimenangkan. Bukan perang fisik, tapi perang ini bisa merebut, menguasai, mengubah cara berfikir masyarakat sehingga pada pada akhirnya satu bangsa akan tunduk pada bangsa lain. Bukan perang fisik, tetapi perang pengaruh, perang peradaban.
Perang itu lebih berbahaya daripada perang fisik. Dan ini sudah terbukti di Timur Tengah. Sudah terjadi di Timur Tengah. Negara tercabik-cabik, masyarakatnya rusak, hancur eksistensinya, kepribadiannya, karena tidak mampu menghadapi perang kebudayaan.
Sehingga faktor suku dan faktor agama menjadi faktor penyebab perang saudara. Sudah empat puluh tahun perang saudara di Timur Tengah. Sesama Islam, sesama Arab.
Perang tersebut adalah, pertama, perang kebudayaan pop. Bangun tidur sampai tidur lagi orang dijejali konten film, musik, game, animasi, dan lain-lain.
Anak kecil sudah sangat bergantung dengan hal-hal itu. Dilarang sudah tidak bisa lagi, paling-paling diarahkan sedikit masih bisa.
Kedua, perang digital. Semua negara memproduksi platform digital untuk menciptakan ketergantungan dan memotret perilaku dan algoritma bangsa lain agar selalu dalam kendali.
Negara besar ini bagaimana mengupayakan bisa menguasai segalanya. Termasuk data base. Data kita yang 270 juta sudah bocor. Sudah dikuasai oleh luar negeri.
Ada sekian rakyat Indonesia, yang sarjana sekian, yang awam sekian, petani sekian, pedagang sekian, yang profesional sekian, yang pengangguran sekian, buta huruf sekian, yang kaya sekian, kelas menengah sekian, kelas bawah sekian.
Sudah bocor semua data itu. Ini menjadikan kita nanti, (ya mudah-mudahan tidak terjadi), akan tergantung pada negara lain.
Dengan adanya Covid-19, ini ada perang baru, perang vaksin. Negara yang mampu memproduksi vaksin akan menjadi pemenang dalam perang ini. Negara yang tidak mampu, yang hanya mengimpor saja, itulah negara yang kalah. Padahal pandemi Covid-19 ini sudah berbagai varian.
Varian delta ini sudah lebih ganas, lebih cepat menular dari Covid-19 yang semula. Ini membutuhkan vaksin yang lebih canggih lagi, lebih canggih lagi, lebih canggih lagi. Kita belum mampu membikin vaksin yang tahap pertama, penyakitnya sudah meningkat ke level yang ketiga. Ini perang vaksin.
Berikutnya (keempat) ada perang biologis. Penguasa industri kesehatan, vaksin misalnya, menjadi panglima yang dapat menguasai dan mempengaruhi kebijakan suatu negara.
Kita akan didikte oleh negara yang memproduksi vaksin. Mudah-mudahan tidak separah atau tidak sebahaya yang kita bayangkan. Tapi jelas, kita akan didikte negara yang punya vaksin.
Kelima, perang makanan, air, dan energi. Siapa yang memiliki sumber-sumber makanan, air, dan energi maka akan mampu menjadi penguasa global. Itulah gambaran era globalisasi memasuki 5.0 bukan lagi 4.0.
Di sisi lain, Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdaulat harus mampu menyeimbangkan pengelolaan people, planet, property, dan peace untuk memperkokoh eksistensi bangsa. Ini juga luar biasa beratnya.
Kepedulian terhadap lingkungan dan pengendalian serta pengelolaan polusi sampah, terutama sampah plastik harus segera dilakukan karena ancaman lingkungan adalah ancaman kehidupan.
Oleh karenanya kita harus mampu memadukan antara teknologi spirituality dan humanity agar tidak terjebak dalam pertarungan global yang melahirkan kolonialisasi gaya baru. Kita harus mampu mewujudkan smart people yang bisa menjawab tantangan zaman, bukan hanya sebagai objek dan pasar dalam kompetisi global.
Oleh karena itu, digital talent (talenta digital) dan cyber army (tantara dunia maya) harus diperbanyak dan diperkuat agar mampu mewujudkan kedaulatan digital di Indonesia.