Desember 2019 adalah bulan pertama penyebaran Corona Virus Disease atau Covid-19. Kasus pertama muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Setelah beberapa bulan, Covid-19 akhirnya menyebar dengan cepat ke berbagai negara, termasuk Indonesia, pada awal Maret 2020.

Mengutip dari laman resmi Satgas Penanganan Covid-19,  pada 9 Maret 2020, pihak WHO (World Health Organization) secara resmi menyatakan bahwa Covid-19 adalah pandemi.

Kasus penularan Covid-19 di banyak negara terus meningkat. Di Indonesia sendiri kasus penyebarannya sudah memasuki gelombang kedua. Masyarakat yang positif terjangkit virus ini sudah tembus ke angka dua juta orang. Beberapa tempat karantina pasien Covid-19 sudah mulai kelebihan kapasitas dan tidak bisa menampung lebih banyak orang lagi.

Meningkatnya kasus masyarakat yang terserang Covid-19 mempengaruhi aspek psikologis seseorang. Misal, tingkat kecemasan masyarakat akan penularan virus ini menjadi semakin tinggi.

Kecemasan merupakan respons umum yang terjadi selama masa krisis (Rinaldi & Yuniasanti, 2020). Banyak dari kita yang sering merasa khawatir perihal apakah tempat yang kita duduki saat ini sudah steril atau belum? Atau tentang apakah di jalan tadi kita tidak sengaja berpapasan dengan penderita Covid-19 yang tidak memiliki gejala?

Kemudian, tanpa sadar kecemasan itu sudah memasuki fase yang lebih tinggi. Beberapa orang menjadi sering mencuci tangan mereka secara berulang kali, padahal mereka sudah melakukan hal itu beberapa detik yang lalu.

Ada juga yang menjadi sering berpikiran negatif ketika berinteraksi dengan orang yang bahkan juga menerapkan protokol kesehatan. Pada beberapa orang, kecemasan itu berhasil menguasai pikiran dan mulai mengganggu kehidupan sehari-hari secara tidak sengaja.

Faktor terbesar yang menjadi penyebab meningkatnya kecemasan seseorang adalah karena individu takut terjangkit Covid-19. Ada juga beberapa faktor lain, seperti terdapat banyaknya artikel atau berita tidak benar yang berseliweran di dunia maya dan kondisi lingkungan sekitar yang kurang memperhatikan protokol kesehatan.

Hal ini jika dibiarkan tentu akan sangat berbahaya bagi orang-orang yang mudah sekali cemas dan merasa takut dengan kondisi pandemi sekarang.

Sebenarnya apakah kecemasan itu? Apa kecemasan dapat membahayakan? Kecemasan merupakan perasaan yang umum terjadi dan berasal dari ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang dialami oleh setiap individu (Nevid, Rathus & Greene, 2018).

Kecemasan akan menjadi berbahaya apabila terjadi terus-menerus sehingga mulai mengganggu dan membuat aktivitas sehari-hari terhambat.

Dalam biopsikologi, kecemasan masuk ke dalam salah satu jenis gangguan emosi. Kecemasan diketahui terjadi karena amigdala (bagian otak yang bertanggung jawab atas emosi seseorang) menjadi sangat aktif bersamaan dengan otak yang dipenuhi oleh neurotransmitter dan kortisol (hormon stress pada manusia). Hal ini menyebabkan otak sulit mengendalikan emosi, termasuk emosi negatif, sehingga muncul perasaan cemas.

Lalu apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi perasaan cemas ini? Orang-orang memiliki banyak cara untuk mengatasi kecemasan. Contohnya seperti mendapatkan dukungan sosial, penilaian kembali situasi, latihan, pengalihan, mendapatkan kesadaran untuk mengontrol situasi, dan sebagainya (Kalat, 2020).

Salah satu cara paling ampuh biasanya adalah dengan melakukan relaksasi. Ada tiga hal pokok dalam relaksasi yang bisa membuat orang menjadi lebih tenang, yaitu sikap yang sesuai, pikiran yang beristirahat, dan keadaan yang menenangkan (Wijayanti, 2018).

Selain melakukan dua rekomendasi kegiatan di atas, ada juga metode yang disarankan dalam Islam untuk mengurangi dan mengatasi rasa cemas seseorang. Metode yang dikenal dengan sebutan Psikometri Islam ini menyebutkan bahwa ada tiga cara yang bisa kita lakukan untuk mengurangi rasa cemas.

Tiga cara itu adalah dengan melakukan dzikir, membaca Al-Fatihah, dan mendengarkan murotal (pembacaan al-Qur’an) dan doa (Nugraha, 2020).

Banyak orang yang berpendapat bahwa dzikir mampu mengurangi rasa cemas seseorang. Karena dzikir mampu membawa pemikiran dan kondisi jiwa seseorang menjadi terarah dan seimbang (Sumarni, 2019). Kemudian, membaca Al-Fatihah, mendengarkan murotal dan doa juga diyakini dapat menimbulkan perasaan damai, tenang, dan percaya diri pada seseorang.

Mendengarkan alunan suara yang lembut ketika seseorang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an mampu menghilangkan gangguan jiwa dan dipercaya dapat menjaga kesehatan jiwa.

Membaca doa juga merupakan salah satu media penyembuh yang mampu mendatangkan motivasi dan emosi positif pada setiap individu yang melakukannya. Kegiatan ibadah ini dipercaya mampu meningkatkan kepercayaan diri, semangat hidup dan juga rasa optimis dalam jiwa sehingga rasa cemas pada individu dapat secara otomatis teratasi.

Covid-19 memang bisa menular kepada siapa saja, tidak memandang usia, gender, ekonomi, dan status sosial seseorang. Namun, kita juga tidak boleh membiarkan rasa cemas ini menguasai kita hingga berubah menjadi gangguan kecemasan.

Boleh cemas, namun juga harus tetap optimis. Karena jika kita merasa sudah mematuhi protokol kesehatan dengan baik dan benar, maka insyaallah kita bisa terhindar dari penularan Covid-19 ini.

 

Leave a Response