Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dalam rangka menekan laju gelombang kedua pandemi Covid-19 mendapat respons yang beragam dari masyarakat. Sebagian setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut, sebagian lainnya menolak.

Mereka yang setuju berpandangan bahwa pemberlakuan PPKM Darurat adalah sebuah keniscayaan. Penyebaran Covid-19, terlebih varian delta, sudah sangat mengkhawatirkan. Kalau kegiatan masyarakat tidak dibatasi, dikhawatirkan semakin banyak masyarakat terpapar. Fasilitas kesehatan bisa kolaps.

Sementara mereka yang tidak setuju berpendapat bahwa pemberlakuan PPKM Darurat sangat merugikan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Roda perekonomian mereka menjadi bergerak sangat lambat, kalau bukan malah macet total. Tak hanya soal ekonomi, sebagian kalangan keberatan menerima kebijakan PPKM Darurat karena membatasi aktivitas di tempat ibadah.

Pro dan kontra masyarakat dalam menyikapi kebijakan pemerintah adalah hal yang biasa. Apalagi Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai hal semacam ini?

Ulama Sunni seluruhnya sepakat bahwa menaati pemimpin negara merupakan suatu kewajiban. Adapun kewajiban menaati ini berlaku terhadap setiap pemimpin yang Muslim baik dia bertakwa ataupun tidak selagi belum jatuh pada kekufuran yang nyata (Hasugian: 2019).

Sayangnya, sebagian kelompok Islam ngotot bahwa pemimpin yang wajib ditaati adalah yang menjadikan hukum-hukum Allah sebagai undang-undang negaranya secara formalistik. Bagi mereka, hukum Islam adalah hukum negara. Oleh karenanya, sekalipun pemimpin di suatu negara secara substansial menjalankan hukum Allah, mereka akan tetap tidak mengakui dan menaatinya.

Padahal, konsep menaati pemimpin dalam Islam tidak sekaku itu. Dalam kajian fiqih siyasah disebutkan bahwa Islam tidak mempunyai sistem pemerintahan yang baku. Oleh sebab itu, apa pun sistem pemerintahannya, selama ia menjalankan prinsip-prinsip utama dalam memerintah dan memimpin, maka wajib dipatuhi.

Adapun prinsip-prinsip tersebut, antara lain keadilan (QS. An-Nisa: 58-59), mewujudkan persatuan (QS. Al-Baqarah: 103, QS. Al-Anfal: 46 dan lainya), musyawarah (QS. Asy-Syura: 38), dan lainnya. Adapun dalil taat kepada pemimpin, di antaranya tertuang dalam QS. An-Nisa’ ayat 59:

“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan para ulil amri (pemimpin negara) di antara kalian..”

Hal di atas juga telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad. Beliau bersabda: “Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika disuruh berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari No. 4340, 7257 dan Muslim No. 1840).

Taat pada pemimpin adalah suatu ibadah dan akan diberi ganjaran karena itu adalah perintah agama. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah, barang siapa yang tidak menaatiku, berarti ia tidak menaati Allah. Barang siapa yang taat kepada pemimpin, berarti ia menaatiku, barang siapa yang tak menaatiku, berarti ia tidak menaatiku.” (HR. Bukhari no. 7137 dan Muslim no. 1835).

Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan hadis di atas, tanpa keraguan sedikit pun kita katakan bahwasannya PPKM Darurat bukanlah kebijakan atau perintah untuk bermaksiat atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Ia justru bagian dari menjalankan syariat, yakni menjaga jiwa dan menjauhi bahaya (lihat QS. Al-Baqarah: 195).

Tegasnya, PPKM Darurat adalah bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjaga keselamatan rakyat sehingga tak perlu diusik dan diperdebatkan lagi.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sangat memperhatikan konsep pemeliharaan jiwa (hifz al-Nafs) baik dalam tingkat dlarruriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat (Jaseer Audah: 2007: 24). Berikut penjelasan tiga tingkatan tersebut:

Pertama, memelihara jiwa dalam tingkat daruriyat seperti memenuhi kebutuhan pokok dan bersifat primer yang apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan terancamnya jiwa manusia.

Kedua, memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat atau kebutuhan yang bersifat sekunder seperti dibolehkannya memilih dan menikmati makanan dan minuman yang lezat yang apabila kegiatan ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia melainkan hanya akan mempersulit hidupnya saja.

Ketiga, memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat atau kebutuhan yang bersifat tersier seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Hal ini, hanya berhubungan dengan masalah kesopanan, keindahan, dan sama sekali tidak akan mengancam jiwa manusia maupun mempersulit kehidupan manusia.

Lantas, mematuhi kebijakan PPKM Darurat berada pada tingkat yang mana? Jelas bahwa PPKM Darurat sebagai upaya untuk menekan laju kematian akibat terpapar Covid-19 berada dalam tingkatan pertama. Jadi, PPKM Darurat sangat relevan dengan syariat Islam. Karena, hal tersebut untuk menjaga keselamatan jiwa.

Pertanyaannya, jika tujuannya ternyata mulia (demi keselamatan jiwa), alasan apa lagi yang membuat kita tidak mau menaati pemimpin yang dalam konteks ini sedang menjalankan salah satu kewajibannya dalam menjaga jiwa rakyat?

Leave a Response