Apakah manusia mampu menciptakan sejarah dan nasibnya sendiri? Ataukah manusia hanya sekedar “otomaton” yang digerakkan secara pasif oleh sejarah, oleh peristiwa-peristiwa yang berhamburan di sekelilingnya? Apakah manusia otonom, merdeka, atau heteronom, tergantung pada faktor-faktor di luar dirinya?
Inilah pertanyaan-pertanyaan musykil yang muncul di setiap zaman. Jawaban atas semua pertanyaan itu sebetulnya sudah tersedia dalam buku-buku dari pelbagai bidang keilmuan: filsafat, teologi, teori politik, sosiologi, psikologi, filsafat sejarah, dsb. Anda tinggal membaca buku-buku itu, dan anda akan menjumpai perdebatan di antara para ahli mengenai perkara ini, plus jawaban mereka.
Tetapi buku adalah barang “mati”. Dia adalah semacam peta Google yang kita pakai sebagai pemandu untuk mencari alamat. Melihat peta di Google tidaklah sama dengan proses mencari alamat yang anda lakukan secara langsung dalam kehidupan nyata.
Perdebatan akidah mengenai apakah manusia bebas atau dikendalikan oleh takdir Tuhan, sudah banyak kita jumpai dalam traktat atau risalah teologi. Silahkan membaca perdebatan para ulama mengenai hal ini di sana. Yang meminati dunia ide, pasti akan menikmati perdebatan ini.
Tetapi bagi saya, ada hal lain yang jauh lebih menarik tinimbang perdebatan pada level teoritis ini. Yang tak kalah menarik adalah “menjalani” sendiri sejarah hidup pada level individu, dan mengalami secara individual bagaimana kita, sebagai manusia, bekerja, berusaha, mencoba menciptakan sejarah atau “takdir” bagi diri sendiri.
Pada level kehidupan yang kongkret ini, kita akan berjumpa dengan pengalaman hidup yang kompleks dan beragam. Kadang-kadang kita berhasil menciptakan sejarah, kadang-kadang kita kalah oleh sejarah. Kadang kita berhasil menciptakan “takdir” kita sendiri, kadang gagal.
Seorang filsuf Amerika Sidney Hook (dia adalah murid langsung dari filsuf pragmatisme yang masyhur, John Dewey), menuliskan sebuah pengamatan yang menarik dalam bukunya yang sudah klasik, “The Hero in History” (terbit pertama pada 1943).
Di sana, ia mengemukakan bahwa ada dua jenis manusia dalam hubungannya dengan sejarah. Ada manusia yang ia sebut “eventful man”, dan manusia lain yang ia namakan “event-making man”. Yang pertama adalah “manusia peristiwa”, yang kedua adalah “manusia pencipta peristiwa”.
Sekedar catatan: Hook menulis buku ini pada tahun 1943, pada saat kesadaran gender belum sekuat sekarang. Itulah sebabnya ia menggunakan istilah yang “bias gender”, yaitu “man”, seolah-olah yang menciptakan sejarah hanya laki-laki saja. Jika ia masih hidup dan menulis kembali bukunya itu, tentu dia akan menggunakan istilah yang lain.
Kembali ke analisa Hook. Manusia peristiwa adalah orang-orang pada umumnya; mereka yang bekerja, melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebagian besar orang masuk dalam kategori ini. Dunia dan sejarah tak bisa berjalan tanpa peran “manusia peristiwa”. Meskipun mereka tidak “menciptakan sejarah”, tetapi merekalah yang “menjalankan” dan mengoperasikan sejarah.
Apa gunanya sejarah diciptakan jika tidak ada “tukang-tukang” yang mengoperasikannya? Ya to? Apa gunanya mobil dibuat oleh pabrikan jika tak ada “manusia pada umumya” yang membeli mobil itu dan mengendarainya?
Karena itu, jangan berkecil hati menjadi “manusia peristiwa”. Peran ontologis atau wujudiah mereka sangatlah agung, sebab “mobil” sejarah bisa bergerak oleh orang-orang seperti ini.
Kemampuan “manusia peristiwa” dalam mengubah dan membentuk sejarah memang tidak sebesar “manusia pencipta sejarah” yang akan saya bahas dalam bagian berikut. Dengan kata lain, “kebebasan” dan kemampuan mereka tidaklah sebesar “manusia pencipta sejarah”, tetapi mereka tetaplah memiliki derajat kebebasan tertentu.
Manusia jenis kedua adalah apa yang oleh Sidney Hook disebut “event-making man”, manusia yang menciptakan sejarah. Mereka inilah para “pahlawan”. Orang-orang seperti Mbah Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Ahmad Dahlan, Bung Karno, Bung Hatta, Kartini, Rasuna Said, Gus Dur, Cak Nur, dll. — mereka ini adalah sosok-sosok yang menciptakan sejarah dalam konteks Indonesia. Mereka adalah “event-making men (and women).”
Orang-orang seperti ini memiliki derajat kebebasan dan kemampuan yang tinggi, sehingga mereka tak dikuasai oleh peristiwa, melainkan menciptakan peristiwa, membelokkan arah sejarah, “bending the course of history”, dan menciptakan sejarah baru.
Jika menggunakan akidah Asy’ariyyah (akidah yang diikuti oleh mayoritas Muslim Sunni di dunia sekarang, termasuk Indonesia) untuk menganalis fenomena ini, kita bisa memakai istilah “kasab” (كسب) dalam kaitan dengan dua jenis manusia tersebut. Kasab adalah istilah yang diciptakan oleh para teolog Asy’ariyyah untuk menamai suatu “kemampuan” pada diri manusia untuk melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, istilah kasab ini mungkin bisa diterjemahkan sebagai “agency”.
Manusia, dalam pandangan akidah Asy’ariyyah, mampu melakukan suatu kegiatan tertentu, mampu menggerakkan perubahan dalam sejarah, bukan karena “daya” yang datang dari dirinya sendiri, melainkan karena kemampuan yang secara derivatif datang dari Tuhan. Kemampuan itu disebut “kasab”.
Kembali kepada dua jenis manusia ala Sidney Hook tadi, kita bisa mengatakan dalam kerangka akidah Asy’ariyyah sebagai berikut. Manusia peristiwa adalah mereka yang memiliki derajat “kasab” atau “agency” yang rata-rata saja. Karena itu, peran mereka sebatas sebagai “operator sejarah”. Mereka adalah para eksekutor “sejarah baru” yang dirancang, didesain, dan diperjuangkan oleh para “event-making man”.
Sementara “manusia pencipta sejarah” dianugerahi Tuhan dengan “kasab” dalam derajat yang tinggi, sehingga mereka tidak sekedar menjalankan sejarah secara pasif. Mereka, karena derajat kasab yang tinggi itu, mampu mengatasi segala rupa “constraint” atau halangan-halangan yang ada dalam sejarah, lalu mengubah arahnya, dan melahirkan “sejarah baru”.
Tetapi, seperti saya tegaskan sebelumnya, kehidupan manusia tidak bisa berjalan hanya dengan satu jenis manusia. Sejarah tak bisa berjalan hanya dengan “eventful man” saja, tetapi ia juga tidak bisa bertumpu pada “event-making man” tok. Sejarah butuh keduanya.
Dengan kata lain, sejarah butuh pahlawan, tetapi juga butuh orang-orang biasa yang berjualan di pasar, mencangkul di sawah, menjual kopi, “angon wedhus”, menyiapkan masakan di dapur, mencuci piring, dsb. Sekian.
Artikel ini dikutip dari lama akun Facebook pribadi Ulil Abshar Abdalla pada 7 Juni 2020.