Sederet tokoh tercatat dalam lembaran demi lembaran media cetak dan teringat di kepala banyak orang. Orang-orang terkesan terhadap sebuah nama tokoh bisa jadi memiliki banyak alasan. Entah itu gaya bicara, ungkapan, sikap, intonasi suara, paras wajah, karisma, hingga wujud karya lain yang ditinggalkan.
Tak ayal, di sebuah masa mereka merasa kangen akan kehadirannya kembali di tengah zaman yang telah berganti, meskipun tokoh tersebut telah tiada. Orang-orang terselamatkan dengan pengabaran kembali baik lewat catatan, audio atau rekaman suara, hingga audio-visual.
Kita teringat tokoh bernama KH. Zainuddin MZ. Salah satu sosok pada masanya terkenal dengan kiprahnya sebagai dai kondang di Indonesia. Ia tak sebatas populer di kalangan jemaah bertumpah ruah dalam sebuah lapang.
Di media cetak, khususnya majalah, nama Zainuddin MZ tidaklah asing bagi para pembaca. Fotonya terpampang dalam beberapa situasi dan sederet pemberitaan-pemberitaan mengenai dirinya dan berbagai aktivitasnya. Mulanya kita mendapati sebuah iklan dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 8 Vol. II Tahun 1991. Kita mendapati informasi begini:
“KH Zainuddin MZ Menjawab! Anda punya masalah keagamaan? Tanyakan pada Majalah ADZAN! Insya-Allah Ustadz KH Zainuddin MZ menjawabnya. Bagaimana caranya? Kirimkan pertanyaan Anda (sertai photocopy KTP atau pengenal lainnya) ke Redaksi Adzan: Jl H Agus Salim 24 Jakarta 10340. Bagi pertanyaan yang dimuat pada Rubrik Tanya Jawab disediakan hadiah gratis kaset ceramah KH Zainuddin MZ.”
Perkara dakwah bukanlah suatu yang eksklusif dan menyulitkan publik. Keluwesan, keterbukaan, dan kemudahan komunikasi memang perlu dilibatkan dengan serius agar benar menjangkau kalangan publik secara luas. Dakwah harus mengena kepada siapa saja.
Kita terpana dengan cara-cara yang dilakukan sebagai aspek metodologi dalam membangun dialog pengetahuan. Baik meliputi religiositas, masalah sehari-hari, urusan keluarga, ibadah, hingga bacaan akan perjalanan zaman. Di sana muncul ruang secara langsung atas keberadaan dai tersebut pada medium massa.
Dai maupun pendakwah mendapati sebuah harapan maupun ekspektasi di jutaan pasang mata sebagai oase dalam sebuah kekeringan makna akan kehidupan. Tiada lain adalah sebagai upaya untuk bersama-sama memahami mana yang baik dan perlu dilakukan serta mengetahui mana yang tidak baik dan tak boleh dilakukan.
Semuanya menjadi akumulasi dalam proses kehidupan tiap manusia. Kita membaca sebuah laporan di Majalah Panji Masyarakat No. 647 11-20 Mei 1990 berjudul K.H. Zainuddin MZ: “Ada Tiga Tujuh Belas…Tapi Jangan Dipasang Ya?”. Kita kutip sebuah kalimat di sana:
“Kedatangan KH. Zainuddin MZ jadi penglipur lara umat Islam daerah Riau yang sedang ‘haus’ akan ujaran-ujaran yang bersengat dan kena sasaran, di samping menjadi sarana penyampaian aspirasi yang selama ini terpendam. Artinya, melalui suara Zainuddin, segalanya dapat tersalurkan.”
Petuah, nasihat, pengalaman, dan ajakan menjadi sajian dalam dialog yang terjadi relasi antara keberadaan pendakwah dengan para jemaah. Mereka sama-sama mencoba untuk tenang, khusyuk, dan khidmat dalam meneroka dan menghadapi segala beban dan tantangan dalam hidup dalam dinamika zaman.
Pendakwah menjadi sosok sentral dan harus sadar menerima lahirnya kekecewaan bagi beberapa orang yang ingin sekali berjumpa dan melihat hadirnya. Tak terkecuali dihadapi juga oleh KH. Zainuddin MZ. Situasi itu misalnya tergambar dalam sebuah tulisan dalam rubrik Surat Pembaca di Majalah Panji Masyarakat No. 659 11-20 September 1990:
“Dalam rangka ikhtifal-an madrasah di Pabuaran, Kabupaten Serang, Jabar 16 Juli lalu, panitia mencoba mendatangkan ustadz yang sedang naik daun K.H. Zainuddin Mz. Tak pelak lagi, pada waktu acara berlangsung umat Islam di sana berbondong-bondong ingin mendengarkan ceramah ustadz yang kondang itu. Tapi kemudian beliau tidak hadir dan yang datang hanya wakil beliau saja.
Padahal acara itu segala sesuatunya sudah disiapkan empat bulan. Sehingga, banyak di antara umat Islam di sana menjadi kecewa berat. Oleh karenanya, saya mengharapkan agar K.H. Zainuddin Mz dapat menjelaskannya pada masyarakat agar tidak mengundang fitnah dan desas-desus yang bisa jadi merugikan nama baik pak Ustadz.”
Hari-hari penting bagi seorang yang telah mendapat posisi di hati banyak orang memungkinkan undangan demi undangan masuk tak dapat dipatuhi. Persoalan waktu menjadi satu hal terumit dalam kehidupan. Terlebih apalagi pada sosok terlanjur kondang.
Ingatan, kesan, dan pengalaman banyak orang terhadap KH. Zainuddin MZ merupakan pendakwah dengan pembawaan enak, sistematis, terstruktur, bahasa luwes, dan tak meninggalkan humor. Itu tentu saja menjadi sarana penting dalam memberikan pengertian demi pengertian pada jemaah secara imbang dalam penyampaiannya.
Keberadaan humor menjadi salah satu yang lekat di dalam sosok tersebut dalam dakwah demi dakwah berlalu dan dilakukannya. Metode itu kemudian menjadi sarana secara turun-temurun dalam periode demi periode babak dunia dakwah.
Candra Malik menyebutkan dalam sebuah tulisannya, Lagu dan Dakwah dalam bukunya, Republik Ken Arok (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016): “Pendakwah bukan makhluk paling suci, bukan pula yang paling benar, di antara ciptaan Allah yang bernama manusia. Melalui ceramah, tulisan, humor, dan lagu, dakwah bisa berperan sangat baik guna saling mengingatkan.”
Orang-orang teringat akan sosok KH. Zainuddin MZ salah satunya dari sisi humorisnya dan bagaimana menciptakan sebuah kesadaran ruang dalam metode baik itu penyampaian dan komunikasi pada para jemaah. Banyak orang masih terngiang, sekalipun tak sedikit mereka tidak mengalami pada zamannya.
Mereka sebatas mengerti pada sebuah catatan, rekaman, maupun video yang terselamatkan seiring perkembangan teknologi. Namun, dengan percakapan demi percakapan yang muncul atas interaksi itu, mereka seakan mengalami pada zaman berlalu. Mereka pasti pada kangen.