Imam Hanafi atau Abu Hanifah (w. 767 M) bernama lengkap Nu‘man bin Tsabit, ulama fikih generasi paling awal yang merupakan pendiri Mazhab Hanafi. Beliau merupakan seorang tabiin, sebab pernah bertemu dengan sahabat Nabi Muhammad Saw Anas bin Malik dan beberapa peserta Perang Badar.
Lahir di Kufah pada abad I Hijriah dan meninggal di Baghdad pada abad II Hijriah, Abu Hanifah tidak hanya ahli di bidang fikih, tetapi juga ilmu tauhid (kalam/telogi).
Salah satu gurunya ialah Syaikh Hammad bin Abu Sulayman, ulama fikih kenamaan asal Kufah. Kepadanya, Abu Hanifah nyantri selama 18 tahun. Usianya masih muda sekali, 22 tahun.
Ketika salah satu kerabat Syaikh Hammad di Basrah wafat, beliau merasa cukup mewakilkannya pada Abu Hanifah; jadi pengajar, mufti, dan pengarah dialog. Ketika mengemban tugas itulah, Abu Hanifah mendapati banyak pertanyaan datang kepadanya.
Syaikh Nawawi menceritakan satu di antara kisah tersebut dalam kitabnya, Fath al-Majid. Ulama asal Banten yang juga masyhur di Haramain itu menceritakannya sebagai penguat dalil bagaimana membantah hujah anti-ketuhanan kaum atheis.
Istimewanya, bantahan tersebut dilakukan oleh Abu Hanifah, yang ketika itu masih remaja. Padahal, ia baru benar-benar menggatikan gurunya kelak, ketika berusia 40 tahun. Syaikh Nawawi bertutur:
Alkisah, hiduplah pemeluk atheis (dahriya’) di zaman Syaikh Hammad, gurunya Abu Hanifah. Ia telah berhasil membungkam ulama melalui satu pertanyaan; perihal keberadaan Allah Swt. yang tak memiliki tempat. Tetapi ia belum puas. Ia kembali menantang, untuk memastikan bahwa para ulama sekitar benar-benar bertekuk lutut tidak mampu menjawab sekelumit pertanyaannya.
“Masih tersisakah seseorang di antara ulama kalian?” tanyanya menantang
Para menteri menjawab, “Iya. Hammad.”
“Datanglah kalian padanya. Mintalah dia untuk menghadapku.”
Sang menteri pun mendatangi Syaikh Hammad. Mereka meminta beliau untuk segera menghadap sang raja yang atheis itu. Tetapi Syaikh Hammad memahami duduk perkaranya, sehingga meminta waktu senggang semalam. Beliau memahami betul bahwa ulama lainnya telah keok di hadapan sang raja.
Pagi harinya, sebelum berangkat, ia menghadap Abu Hanifah, murid kesayangannya. Ketika itu usia Abu Hanifah masih muda sekali.
“Kenapa njenengan kelihatan putus asa?” tanya Abu Hanifah ketika mendapati gurunya murung, seakan menyimpan beban besar.
“Bagaimana mungkin aku tidak berputus asa, sedangkan aku diminta menghadap raja atheis yang para ulama telah bungkam oleh pertanyaan-pertanyaannya. Selain itu, aku mimpi tidak enak semalam,” terang Syaikh Hammad.
“Apa itu?” tanya Abu Hanifah penasaran
“Aku melihat rumah yang luas dan penuh hiasan, yang di tertanam di dalamnya pohon-pohon berbuah. Lalu dari sudut rumah itu keluarlah babi, dan memakan buah, daun, dan dahannya, hingga tak tersisa apapun kecuali ujung bawah batangnya. Tak lama, dari batang itu muncullah singa, dan membunuh babi itu.”
“Guruku,” kata Abu Hanifah, “Allah swt. telah mengajariku ilmu takbir mimpi. Mimpi njenengan ini baik untuk kita, dan buruk untuk musuh-musuh kita. Maka jika njenengan izinkan saya menakbirkannya, saya sungguh akan melakukannya.”
“Takbirlah mimpi itu, hai Nu’man,” sahut Syaikh Hammad tak sabar.
Abu Hanifah pun mulai mengartikan mimpi gurunya.
“Rumah yang luas dan penuh hiasan adalah Islam. Pohon-pohon berbuah ialah para ulama. Ujung batang yang tersisa di situ adalah njenengan. Babi adalah sang raja atheis, dan singa yang membunuhnya adalah saya. Maka berangkatlah njenengan dengan membawa saya. Dengan begitu, berkat keistimewaan dan kemuliaanmu, saya memiliki kesempatan untuk berbicara dengan raja itu.”
Syaikh Hammad senang bukan main. Beliau pun mendatangi tempat perjanjiannya dengan para menteri
Syeikh Hammad mendatangi tempat perjanjiannya dengan para menteri, dan para hadirin berkumpul bersama Syaikh Hammad. Sementara itu, Abu Hanifah berada di bawahnya sambil mengangkat sepatunya dan sepatu gurunya. Sang raja pun juga tiba dan langsung menuju singgasana.
“Mana ulama yang mampu menjawab pertanyaanku?” tantangnya.
Suasana hening. Apalagi ulama lain, bahkan Syaikh Hammad sendiri pun juga belum menjawab.
“Apa-apaan ini. Bertanyalah. Orang yang mampu akan menjawab pertanyaanmu,” Abu Hanifah memancing sang raja mengeluarkan pertanyaan yang sudah membungkam para ulama tersebut. Beliau yakin akan bisa menjawab, meskipun dirinya masih teramat muda.
“Siapa engkau, hai anak muda?” tanya raja. “Kau bermaksud berbicara denganku? Bagaimana dengan para sesepuh yang berpangkat dan berbaju mewah itu. Bagaimana dengan para pembesar yang telah keok di depanku? Bagaimana mungkin engkau yang masih kecil dan hina ini mampu melakukannya?”
“Allah tidak meletakkan kemuliaan untuk para pembesar, atau yang berbaju mewah. Allah meletakkannya untuk para ulama,” jawab Abu Hanifah.
“Jadi engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku?” tegas raja.
Abu Hanifah mengangguk. Sedikit pun ia tak merasa gentar harus berdebat dengan raja. Di sisi lain ia sangat yakin dengan mimpi gurunya sebelum berangkat, bahwa ialah pemenangnya nanti. Ia pun mulai terlibat perdebatan, tanya-jawab sengit dengan sang raja.
“Apakah Allah itu ada?”
“Iya”
“Di mana dia?”
“Dia tidak memiliki tempat berdiam”
“Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat?”
“Buktinya ada di badanmu sendiri”
“Apa itu?”
“Apakah badanmu memiliki ruh?”
“Iya”
“Di mana ruhmu? Apakah di kepala, apakah di perut, atau bahkan di kakimu?”
Sang raja pun kebingungan. Ia tak bisa menjawab. Untuk kali pertama, ia harus bungkam di hadapan anak muda. Tetapi Abu Hanifah belum puas dengan dalilnya. Beliau kemudian meminta segelas susu.
“Apakah susu ini memiliki lemak?”
“Iya,” jawab sang raja.
“Di mana tempat lemaknya? Di atas atau di bawahnya?”
Abu Hanifah lantas menimpali, “Sebagaimana ruh tak dijumpai tempatnya, sebagaimana juga susu tak diketahui tempat lemaknya, Allah tidak memiliki tempat di alam semesta.”
“Lalu apa yang ada sebelum Allah dan sesudahnya?” Tanya raja untuk kedua kalinya kepada Abu Hanifah.
“Tidak ada sesuatu apapun di depan maupun di belakangnya”
“Bagaimana mungkin tergambar di pikiranku, sesuatu tak memiliki awal dan akhir?”
“Ini dalilnya juga ada di badanmu.”
“Apa itu?”
“Apa yang ada sebelum ibu jari dan sesudah jari kelingkingmu?”
“Tak ada apapun sebelum ibu jari dan setelah kelingkingku.”
“Maka seperti itulah Allah. Tidak ada sesuatu di depan ataupun di belakangnya, sebelum maupun sesudahnya.”
“Masih ada satu pertanyaan lagi,” kata sang raja, setelah dua pertanyaan berhasil Abu Hanifah jawab.
“Akan saya jawab, insyaallah.”
“Apa pekerjaan Allah sekarang?”
Mendengar pertanyaan terakhir itu, Abu Hanifah tidak langsung menjawab.
“Engkau kebalik. Seharusnya yang menjawab itu ada di atas singgasana, dan yang bertanya berada di bawahnya. Saya akan menjawab, seandainya kau bersedia turun.”
Sang raja turun dari singgasana mengiyakan, dan Abu Hanifah ganti menduduki singgasana sang raja. Ketika beliau di atas mimbar, raja mengulang pertanyaan tadi.
“Ayo apa pekerjaan Allah sekarang?” katanya
“Pekerjaan Allah sekarang ialah menjatuhkan kebatilan sepertimu, dari atas ke bawah. Dan Dia menaikkan orang yang benar (haqq) sepertiku dari bawah ke atas.”
Sang raja diam tak berkutik. Tiga pertanyaan yang diajukannya tak lagi membungkam lawan, justru ia takluk di hadapan anak muda, di bawah singgasananya sendiri.
Dengan demikian, mimpi Syaikh Hammad benar. Melalui keistimewaan nalarnya itu, kelak Abu Hanifah dikenal sebagi imam mazhab paling rasional ketimbang para imam sesudahnya; Malik, Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal.
(Kisah ini disarikan dari kitab Fath al-Majid karya Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani)