Suatu ketika, saat orang-orang sedang berusaha dapat melihat bulan sabit di awal Ramadhan, tidak seorang pun yang berhasil melihatnya selain Anas bin Malik seorang. Ketika itu umurnya hampir seratus tahun. Anas seorang ahli hadis terkemuka. Sejak  usia sepuluh tahun sudah diserahkan oleh ibunya untuk berkhidmat kepada Nabi setelah Hijrah ke Madinah.

Kemudian Anas mengangkat kesaksiannya itu di depan Hakim Iyas bin Muawiyah.

“Tunjukkan kepada kami di mana persisnya posisi bulan sabit itu,“ pinta Iyas kepada Anas.

Anas mengajak hakim dan orang banyak untuk ditunjuki posisi bulan yang telah disaksikannya, “Itu dia!  Tapi mereka tidak melihat apa-apa. Hakim Iyas lalu memperhatikan Anas. Ternyata ada sehelai uban terjurai di atas alis Anas sehingga menghalangi pandangannya. Hakim Iyas menyibak uban itu dan merapikannya.

“Coba tunjukkan lagi, di mana bulan itu sekarang,“ pinta Hakim Iyas kemudian.

Anas berusaha mencari posisi bulan itu.

“Ya, saya tidak menemukannya,“ aku Anas akhirnya. [Syarh al-‘Uyûn fi Syarh Risâlati Ibn Zaidun, Ibnu Nubabah]

Barangkali kita tak setua Anas yang mulia, beliau periwayat hadis yang dihormati. Tapi sehelai uban itu kini bisa berupa sikap fanatik (terfana pada satu titik ) terhadap “golongan” atau “capres” kita, misalnya, sehingga mata kita “terhalangi” untuk membedakan fakta dan hoaks. Eh, kok jadi bahas ini ya. Yang menarik di sini adalah cara menentukan awal dan akhir Ramadhan itu.

Ada yang menggunakan metode hisab wujudul hilal dan ada yang menggunakan metode hisab imkanur ru’yah. Apa perbedaannya? Metode wujudul hilal menganggap bahwa jika hilal (awal bulan) sudah ada, meskipun tidak tampak/terlihat, maka tetap berpuasa keesokan harinya. Dengan kata lain, bila posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar daripada 0 derajat, maka sudah dianggap masuk bulan baru. Sedangkan metode imkanur ru’yah berpendapat bahwa adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang.

Metode kedua lah yang digunakan oleh Pemerintah, karena lebih berpegang pada hadis berikut.

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. ” (HR Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080). Dalil ini menunjukkan bahwa hilal harus terlihat dan bukan sekadar ada untuk menandakan mulai berpuasa atau mengakhirinya kalau sudah masuk bulan Syawal.

Terlepas dari perbedaan metode tersebut—kita mesti menghormati pilihan masing-masing—tampaknya tersirat pesan di balik rukyatul hilal itu: Ritus sakral Islam, terutama shalat lima waktu dan puasa Ramadan, berkaitan erat dengan siklus alam, dan bukan waktu mekanis. Waktu shalat ditentukan dengan menyingsingnya fajar, terbitnya matahari, memuncaknya matahari, pertengahan sebelum terbenam, terbenamnya matahari, dan berakhirnya hari. Meski kalender—berdasarkan metode hisab—memberi tahu kita kapan bulan Ramadhan dimulai dan berakhir, tanggal itu tetap perlu ditentukan dengan melihat langsung terbitnya bulan baru, sehingga pengalaman langsung mendahului perhitungan ilmiah. Kecanggihan teknologi digital tidak hanya bisa menentukan menit, tapi detik kapan bulan baru akan terbit pada satu lokasi tertentu. Namun, yang lebih penting adalah terlihatnya secara langsung bulan sabit di cakrawala. Dengan bertahan pada prinsip “melihat” (rukyah), kaum muslim di mana saja menunjukkan pemahaman mereka bahwa “ayat-ayat” Tuhan harus ditemukan pada pengalaman alam, bukan pada proses berpikir semata.

Tak dimungkiri, kehidupan kontemporer yang semakin bernuansa perkotaan dan modern terasa semakin memutus kedekatan dan kepekaan kita terhadap siklus alam. Dari sirah nabawiyah kita tahu bahwa di Mekah ada kebiasaan memercayakan bayi pada ibu susuan dari suku Badui yang tinggal di padang pasir. Nabi Muhammad diasuh Halimah dan tinggal bersama Bani Sa‘d. Mulanya saya pandang ini hanya tradisi biasa. Namun, dari Prof. Tariq Ramadan (2008) saya dapatkan wawasan baru: tinggal di kawasan padang pasir itu ibarat bersekolah alam. Nabi dekat dengan alam sejak dini. Di masa-masa pembentukan, Muhammad muda terbiasa mengamati, memahami, menghargai, dan bersahabat dengan alam.

Pada tahun-tahun pertama kehidupannya, Nabi membangun hubungan khusus dengan alam yang terus terjalin sepanjang karier kenabiannya. Alam raya dipenuhi tanda-tanda yang mengingatkan kehadiran Sang Pencipta. Dan lebih dari yang lainnya, padang pasir membuka mata manusia untuk mengamati, merenung, dan mencerap makna. Oleh karena itu, banyak ayat Alquran yang menyebutkan perihal penciptaan dan berbagai pelajaran darinya. Padang pasir, yang tampak tidak memiliki kehidupan, berkali-kali memperlihatkan dan membuktikan kepada hati yang terbuka adanya sebuah mukjizat kehidupan setelah mati:

Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang Menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu (Q. 41: 39).

Bertahun-tahun kemudian, ketika Nabi tinggal di Madinah dan sedang menghadapi konflik dan peperangan, wahyu turun di kegelapan malam: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal (QS 3: 190). Nabi menangis sepanjang malam. Saat hendak azan subuh, Bilal bertanya apa yang membuatnya menangis. Nabi menjelaskan dan menambahkan, “Sungguh celaka orang yang mendengar ayat ini tapi tidak mau merenungkannya!” Saat keberangkatan pasukan ke medan perang, Nabi juga berpesan kepada mereka: jangan sampai merusak tanaman dan pepohonan.

Jadi, kedekatan dengan alam, menghargai keberadaannya, dan mengamati serta merenungkan apa yang ia tunjukkan, tawarkan, atau inginkan (kembali) dari kita merupakan tuntutan iman. Waktu-waktu shalat dan berpuasa memperpeka kita pada siklus alam. Alam merupakan panduan utama dan kawan setia keimanan. Bukankah dalam Alquran Allah juga banyak bersumpah dengan waktu dan siklus alam?

Demi waktu dhuha.

Dan malam saat telah diam (adh-Dhuha: 1-2);

Demi malam, kala menguntit, berbisik.

Demi pagi, kala bernafas (at-Takwir, 17–18)

Dan, masih banyak lagi. Wallahu a‘lam.

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response