Seorang guru agama memimpin study tour murid-muridnya ke penggilingan gula merah di sebuah desa. Di situ mereka diterima dengan ramah sekali oleh petani pemiliknya. Mereka disuguhi hidangan ketela pohon yang dibenam di dalam kawah perebus gula.

Ketika mereka sedang asyik menikmati hidangan tersebut, guru memanggil mereka untuk memperhatikan sepasang kerbau menarik kayu pemutar gilingan. Mereka menduga akan ditanya tentang jarak perjalanan kerbau selama sekian jam memutari silinder penggilingan tersebut.

Ternyata guru mereka berbicara tentang yang lain. Kata sang guru: “Seperti kerbau itulah nasibmu. Bila kamu tidak mampu keluar dari lingkaran ruang yang sangat kamu cintai. Ia merasa sudah jauh menempuh jarak, kenyataannya ia masih tinggal di tempat itu juga.” (Zuhri: 1992).

Manusia adalah bagian dari makhluk kosmos. Makhluk yang senantiasa berputar-putar. Dari hari ke hari, kita tak hanya kerap memasuki pintu yang sama, melewati jalan sama, menempati ruang yang sama. Selain itu juga sebenarnya kita hanya melakukan aktivitas yang berulang-ulang (berputar-putar, seperti seisi semesta kosmos yang beredar mengitari porosnya–mulai dari inti atom, bumi, bulan, matahari, hingga gugusan galaksi. Semua bertawaf).

Aktivitas kehidupan fisik kita hanya senantiasa berputar-putar antara tidur dan bangun, bekerja dan istirahat, pergi dan pulang, berak dan makan, dan seterusnya. Kita tidak bosan-bosan melakukan aktivitas-aktivitas itu. Kita asyik dalam lingkaran ruang dan waktu.

Lantas gimana, dong? Konon, selain makhluk kosmos, kita juga makhluk sejarah, makhluk yang meski terus berputar dalam lingkaran ruang dan waktu tapi terus meningkatkan makna kehadirannya—ia seperti mendaki tangga spiral yang terus naik dan meluas.

Terus berputar dari rumah ke kantor dan ke rumah lagi, dari bangun, kerja, dan tidur lagi, tapi pastikan kian bertambah ilmunya, pengalamannya, kearifannya, penghasilannya, kualitas spiritualnya, dan medan pengabdiannya.

Cukuplah kita simak pesan Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam-nya:

لاَتَرْحَلْ مِنْ كَوْنٍ إِلَى كَوْنٍ فَتَكُوْنَ كَحِمَارِ الرَّحَى يَسِيْرُ وَالْمَكَانُ الَّذِى ارْتَحَلَ إِلَيْهِ هُوَ الَّذِى ارْتَحَلَ مِنْهُ, وَلكِنِ ارْحَلْ مِنَ الأَكْوَانِ إِلَى الْمُكَوِّنِ. وَإِنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى. وَانْظُرْ إِلَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ, وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَجَرَ إِلَيْهِ. فَافْهَمْ قَوْلَهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ وَتَأَمَّلْ هذَا الأَمْرَ إِنْ كُنْتَ ذَا فَهْمٍ.

Janganlah engkau pergi dari alam ke alam. Sehingga, engkau menjadi seperti keledai penggilingan; tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak. Akan tetapi, pergilah dari alam-alam menuju Sang Pencipta alam. “Dan kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu” (Q 53: 42).

Perhatikan pula sabda Rasulullah saw., “Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan barang siapa berhijrah karena dunia yang ingin diraihnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia inginkan. (HR al-Bukhârî). Pahamilah sabda Rasulullah ini dan renungkanlah jika engkau mempunyai pemahaman. Wallahu a’lam.

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response