Pada suatu hari, terjadi perselisihan antara Abu Ja’far al-Manshur (712–775 M), khalifah kedua Bani Abbasiyah, dengan permaisurinya, al-Hurrah. Perselisihan timbul karena keinginan al-Manshur untuk menikah lagi. Puncak perselisihan itu adalah perpecahan (syiqaq) karena ketidakadilan sang khalifah kepada istrinya. Sang istri menuntut keadilan padanya.

Yakin akan memenangi gugatan sang istri, al-Manshur menyanggupinya. Ia lalu bertanya kepada istrinya, “Dengan siapa kamu rela menyelesaikan masalah di antara kita ini?”

Sang istri berkata, “Dengan Imam Abu Hanifah.”

Al-Manshur pun menyetujui pilihan istrinya. Ia kemudian menghadirkan Imam Abu Hanifah (80–148 H/699–767 M) ke istana. Al-Manshur berkata kepada Imam Hanafi atau Abu Hanifah, “Wahai Imam Abu Hanifah, Istriku, al-Hurrah menentangku.”

Imam Abu Hanifah mempersilahkan kepada al-Manshur untuk berbicara, “Wahai amirul mukminin, bicaralah.”

Al-Manshur kemudian mengajukan pertanyaan, “Wahai Imam, berapa banyak seorang lelaki boleh menikahi perempuan?”

“Empat,” jawab Imam Abu Hanifah singkat. Al-Manshur bertanya kembali, “Dan berapa dia boleh menikahi hamba sahaya?”

“Sekehendaknya. Tiada batasan jumlah,” tukas Imam Abu Hanifah.

“Bolehkah seseorang berpendapat bertentangan dengan ketentuan itu,” tanyanya penuh semangat.

“Tidak, “ sahut Imam Abu Hanifah.

Mendengar jawaban-jawaban itu, Ia yakin keputusan Imam Abu Hanifah akan berpihak kepadanya. Sebelum melanjutkan pembicaraannya, ia melirik istrinya sambil tersenyum penuh kemenangan. Lalu Ia pun melanjutkan dialognya dengan Imam Abu Hanifah,”Engkau telah mendengar pendapat dan argumentasiku, wahai syeikh. Kini, bagaimana pendapatmu tentang masalahku?”

Imam Abu Hanifah menanggapi dengan penuh wibawa,”Wahai Abu Ja’far, Allah membolehkan itu semua hanya bagi orang yang bisa berlaku adil. Sedangkan, orang yang tidak bisa berbuat adil atau khawatir tidak bisa berbuat adil, seyogyanya ia tidak menikah lebih dari satu istri saja.” Imam Abu Hanifah lalu menyitir surat an-Nisa’ ayat 3:

فَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً

“Semestinya, kita ini berakhlaq dengan akhlaq Allah dan menerima nasehat-nasehat yang bersumber dari Allah,” imbuh Imam Abu Hanifah.

Mendengar wejangan itu, Abu Ja’far hanya bisa terdiam. Senyum kemenangan yang sebelumnya mengembang perlahan meredup dan hilang. Cukup lama mulutnya terkunci. Seolah, lidahnya kelu tak mampu berucap. Akhirnya, Imam Abu Hanifah mendahului untuk berbicara.

Ia minta diri untuk kembali pulang.
Sesaat setelah Imam Abu Hanifah tiba di rumah, pelayan istri khalifah datang sambil membawa berbagai macam hadiah; uang, pakaian, hamba sahaya, dan khimar.

Namun demikian, Imam Abu Hanifah menolak semua hadiah itu. Kepada pelayan itu, ia berpesan,”Sampaikan salamku kepada permaisuri. Katakan kepadanya, saya hanya mempertahankan agamaku. Saya berdiri tegak dalam posisi itu karena Allah semata, bukan bertujuan untuk mendekati seseorang maupun berharap mendapatkan harta dunia.”

Sumber: Kitab Alf Qishshoh wa Qishshoh min Qashas ash-Shalihin wa as-Shalihat wa nawadir az-Zahidin waz-Zahidat karya Haniy al-Hajj.

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response