Sejak 1981, bocah-bocah di depan televisi mendapat hiburan, pengajaran, dan propaganda. Mereka menonton serial boneka Si Unyil setiap Minggu pagi. Serial itu digemari, disajikan 603 episode, 1981-1993. Si Unyil menjadi program fiksi terlama disiarkan di Indonesia. Kita mengingat Si Unyil di TVRI, tontonan pilihan ketimbang acara-acara menjemukan menuruti kemauan pemerintah. Serial itu mulai mendapat godaan dengan kemunculan RCTI, TPI, SCTV, dan lain-lain. Pada abad XXI, nostalgia Si Unyil diadakan lagi di televisi meski dengan corak dan misi berbeda. Bocah-bocah masih menonton tapi sak menghebohkan masa lalu.
Si Unyil bercerita tentang bocah-bocah di perdesaan. Para tokoh berbasa Indonesia. Sekian tokoh representasi keragaman di Indonesia. Permainan dan hiburan menjadi keseharian para tokoh. Serial itu pula mengenalkan sosok bernama Pak Raden, lelakis berkumis tebal dan berbusana Jawa. Philip Kitley dalam buku berjudul Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (2001) menganggap Si Unyil adalah metafor pembentukan dan sara negara membimbing bocah-bocah dalam pelbagai persoalan. Pesan-pesan penting disampaikan melalui serial Si Unyil memungkinkan ada pengaruh besar dan mendalam.
Pak Raden mengingatkan Suyadi (1932-2015). Suara keras dan berwibawa Pak Raden memang suara Suyadi. Sejak awal, Suyadi menjadi direktur artistik dan memberi bobot karakter tokoh serial Si Unyil di TVRI. Gagasan menampilkan Indonesia di televisi dianggap berhasil dengan Si Unyil, terbaca oleh Philip Kitley sebagai “ramuan ideologis dan estetis”. Kita memiliki masa lalu bersama Si Unyil melalui Pak Raden dan memiliki pengenalan tambahan untuk Suyadi. Tokoh penting dalam Si Unyil tapi memiliki keampuhan pula dalam gubahan cerita-cerita anak dan ilustrasi.
Pada 28 November 2015, penghormatan diberikan kepada Suyadi dengan mengadakan peringatan Hari Dongeng Nasional. Ia dianggap tokoh penting dan berpengaruh dalam ikhtiar-ikhtiar mendongengi bocah-bocah di seantero Indonesia. Suyadi tentu bukan pendongeng tunggal di Indonesia. Sekian orang pun pendongeng mulia meski belum mendapat pengakuan atau pengesahan atas nama pemerintah. Peringatan itu ditandai tanggal kelahiran Suyadi. Orang-orang terlalu mengingat Suyadi dalam serial Si Unyil. Kini, kita ingin mengingat dan menghormati dengan buku-buku gubahan Suyadi. Ia mendongeng dengan tulisan.
Pada 1982, terbit buku berjudul Siapa Punya Kuali Panjang? terbitan Djambatan. Cerita dibuat Suyadi dan ilustrasi oleh Nana Ruslana. Ilustrator itu langgan dalam buku-buku pelajaran dan bacaan SD terbitan Depdikbud-Balai Pustaka. Sekian orang menganggap ilustrasi di buku-buku itu dikerjakan Suyadi. Kini, kita diajak cermat bahwa ada ilustrasi di sampul garapan Suyadi tapi ilustrasi dalam buku-buku cenderung buatan Nana Ruslana.
Cerita mengandung nasihat. Suyadi mengisahkan Odah, gadis cantik di desa. Odah itu tercantik tapi sombong. Setiap hari, ia memilih berdandan di hadapan cermin ketimbang membantu ibu di dapur. Kesombongan mengakibatkan Odah tak disukai teman-teman dan para tetangga. Pada suatu hari, datanglah suadagar bernama Dadang ke desa. Ia menikahi Odah. Kehidupan keluarga dimulai dengan kecewa. Di rumah, Odah tak bisa berlaku sebagai istri. Odah tak bisa memasak nasi.
Suyadi bercerita: “Dadang berangkat ke tempat pekerjaannya dan berpesan bahwa ia kembali pada waktu makan siang. Odah bingung. Bagaimana cara memasak nasi? Biasanya ibunyalah yang mengerjakannya. Odah menyalakan api, lalu diisinya periuk penuh-penuh dengan beras sampai ke mulu periuk.” Tindakan itu salah. Odah bertambah salah saat menanak nasi malah ditinggal tidur. Hanguslah! Siang, Dadang sampai di rumah. Nasi gosong itu tak bisa dimakan. Kecewa. Dadang memilih menanak nasi sendiri. Sejak peristiwa mengecewakan, Dadang memilih makan di warung.
Cerita itu mengajak pembaca memikirkan masalah pendidikan bagi perempuan, pendidikan berurusan keluarga. Cerita berselera lama. Suyadi sedang memberi cerita dan nasihat kerumahtaanggan. Bocah membaca buku mungkin diajak lekas menata diri untuk kelak berpredikat istri atau ibu. Cerita agak menghibur tapi mengesankan ada pengaruh dari seruan-seruan Orde Baru bertema keluarga. Episode berulang setelah Si Unyil dijadikan indoktrinasi pembangunan nasional. Suyadi masih mungkin memberi hiburan tapi menguatkan pesan-pesan keluarga dalam gubahan cerita.
Suyadi dalam Si Unyil ditampilkan dengan busana dan sikap kejawaan. Cerita berjudul Siapa Punya Kuali Panjang? mengandung pula acuan kejawaan. Sejak ratusan tahun lalu, sastra piwulang digunakan dalam pendidikan-pengajaran di Jawa. Sastra bermaksud mendidik atau membentuk kepribadian. RM Soedarsono dan Gatut Murniatmo dalam buku berjudul Nilai Anak dan Wanita dalam Masyarakat Jawa (1986) mengingatkan dampak dari gubahan Wulang Estri. Babak menjadi istri memerlukan ilmu. Kecantikan memang penting tapi bukan utama agar bisa menjadi istri mulia. Wulang Estri memberi petunjuk-petunjuk mengenai kebahasaan, sikap, busana, dan segala hal menjadikan keluarga bahagia. Peran istri dalam memasak turut menentukan martabat. Pengajaran menjadi istri memang berlaku sejak dini dipengaruhi gubahan-gubahan sastra lama dan teladan para leluhur. Suyadi mungkin terpengaruh ajaran-ajaran kejawaan dalam menggubah cerita, menempatkan Odah sebagai tokoh masih harus mendapatkan pengajaran-pendidikan sebagai istri.
Para penikmat bacaan anak dan kritikus sastra masih jarang memberi perhatian untuk buku-buku gubahan Suyadi. Kemonceran masih kalah dari buku-buku gubahan Aman, Soekanto SA, Arswendo Atmowiloto, Mansur Samin, dan lain-lain. Suyadi tercatat menulis buku cerita berjudul Siapa Punya Kuali Panjang?, Timun Mas, Pedagang Peci Kecurian, dan Seribu Kucing untuk Kakek. Dua buku terakhir diterbitkan ulang dalam kemasan apik oleh Noura (2017), wujud penghormatan tokoh dan penetapan Hari Dongeng Nasional. Buku-buku membuktikan ia adalah pencerita ulung. Kita saja sering bernostalgia dengan Si Unyil tapi telat atau jarang menikmati buku-buku dipersembahkan untuk bocah-bocah di seantero Indonesia.
Mendongeng secara lisan dan tulisan berbeda bobot pengaruh bagi anak. Suyadi memilih rajin mendongeng dengan tulisan-tulisan meski mampu mendongeng lisan di hadapan bocah-bocah. Kesanggupan mendongeng dengan tulisan membuktikan Suyadi mafhum cara membuat kalimat dan kecenderungan pesan dalam cerita. Sekian buku mengesankan ia penulis cerita anak mumpuni, memenuhi kaidah-kaidah penulisan cerita: berhati-hati menggunakan kata-kata, merekam sesuatu kejadian dalam benak, mengolah dalam batin, dan mengejawantahkan dalam tulisan indah (Wilson Nadeak, Cara-Cara Bercerita, 1987).
Di keluarga-keluarga Indonesia, buku-buku gubahan Suyadi mungkin belum masuk daftar penting untuk dibacakan kepada anak-anak atau dibaca sendiri oleh anak-anak. Kemauan orangtua mendongeng mengacu buku-buku gubahan Suyadi mungkin bisa diimbuhi pengenalan biografi tokoh dan “memanggil” nostalgia serial Si Unyil masa Orde Baru. Mendongeng dan membacakan buku mungkin peristiwa terindah saat kita masih berduka gara-gara wabah. Di rumah, ibu atau bapak bisa membacakan buku-buku gubahan Suyadi. Buku-buku itu seturut penjelasan Murti Bunanta (2008) tentang “kekuatan cerita terletak dalam kata-kata”. Pada saat membacakan buku, orangtua tak lupa mengajak anak menikmati gambar-gambar. Suyadi bakal terus bersama kita saat mendongeng itu kewajaran dan kebaikan berlangsung di rumah. Begitu.