Perlu ditegaskan lebih dahulu, apakah jagat sastra Indonesia belakangan ini, menunjukkan gelagat untuk cenderung terserap ke dimensi yang lebih transenden dan sufistik? Atau semata-mata ‘jalan di tempat’ menggubah klise eskapisme sosial dan persoalan asmara belaka?

Dugaan pertama agaknya lebih kuat dan cukup indikatif. Hal ini berlandaskan setelah menengarai beberapa figur sastrawan yang melahirkan karya-karya sastra bernuansa adikodrati dan rohani.

Anasir yang terpampang jelas dari suguhan Kuntowijoyo dalam Khotbah di Atas Bukit-nya. Lalu simbolisme halus Danarto melalui cerpen-cerpen dalam Adam Makrifat dan Godlob. Atau umpamanya sajak-sajak “mantra” ala Sutardji Calzhoum Bachri, Abdul Hadi W.M., sampai puisi-puisi ‘sunyi’ dan kembara rindu hasil teroka Emha Ainun Nadjib. Kesemuanya itu menjadi titik tumpu sekaligus bukti akan kecenderungan itu.

Sengaja atau tidak, gejala tersebut merepresentasikan dimensi, wacana, cara-pandang spiritual. Selain itu juga sekaligus menjadi hubungan dialektis antara diri pengarang dengan kerinduannya terhadap sesuatu yang lebih halus, lebih adiluhung entitasnya.

Ini menarik, sebagaimana dikupas oleh Bani Sudardi, bahwa tersembulnya gairah sufistik pada periode bersangkutan tidak terlepas dari iklim sosial, politik, ekonomi masyarakat pada waktu itu (Bani Sudardi, 2003: 136-137).

Narasi ini diamini oleh teori sosiologi madzhab Durkheimian (The Elementary Forms of Religious Life). Teori ini menegaskan bahwa sikap, pola pikir, perasaan, dan tindakan individu tidak terlepas dari pelbagai aspek dan struktur sosial yang melingkupinya.

Meski, saya mengambil mata-pandang yang berbeda dengan Bani Sudardi. Ia menyatakan bahwa pada periode 50-an sampai 70-an tersebut, kondisi sosial-politik-ekonomi Indonesia relatif stabil. Dalam keadaan seperti itu manusia sempat berkontemplasi sehingga kelak menyemaikan benih untuk mendekatkan diri dengan Yang Mutlak.

Sorotan saya, dalam hal ini, agak berbeda. Tentang penjelasan bahwa ada pengaruh sosial-politik-ekonomi, tentu saja sepakat. Namun, menyangkut apakah situasinya kondusif sehingga banyak waktu luang untuk merenung, saya rasa tidak.

Pada kurun waktu antara tahun 1950-1970-an, banyak kejadian-kejadian besar yang tidak boleh dielakkan, seperti yang paling menonjol dan terkenang adalah G 30-S/PKI. Belum contoh tragedi atau peristiwa lainnya. Maka tidak adil jika disebut kondusif.

Kecurigaan perlu dititik-tolakkan pada bagaimana mereka ini memiliki kecenderungan yang relatif serupa: yaitu dimensi sufistik. Mengapa hal demikian dapat timbul-kembali—setelah beberapa tahun sebelumnya tenggelam—dan faktor apa yang memicunya?

Globalisasi membuka ruang dan peluang selebar-lebarnya terhadap keluar-masuknya ‘peradaban tamu’. Hal itu secara otomatis berdampak terhadap sosio-kultur ‘masyarakat tuan-rumah’.

Konsekuensi logis darinya juga mengandung industrialisasi, pasar-bebas, pergumulan budaya pop Barat dengan lokal. Semua itu yang akan pula menimbulkan moral-panic sekaligus rasa teralienasi dari kalangan masyarakat tuan-rumah. Fenomena ini sebagaimana digambarkan oleh Karl Marx dalam memandang kaum buruh yang bekerja di pabrik-pabrik Eropa sana.

Masyarakat kemudian akan merasa asing dengan dirinya sendiri. Fenomena inilah yang kelak akan melahirkan sebuah gelagat untuk mencari nilai-nilai yang sempat hilang untuk ditemukan kembali, salah satunya yaitu dimensi ruhaniah manusia.

Tidak mengherankan jika atmosfer kesusastraan modern Indonesia lebih condong ke arah spiritualitas. Ini pertanda turning-point dari estetika bahasa Angkatan Lama dan kegaharan plus keliaran angkatan Chairil Anwar menuju ke sastra sebagai wadah pencarian dan pengalaman sufistik. Demikian itu melibatkan aspek personal-batiniah dan Ilahiah yang saling berjalin-kelindan secara harmonis sekaligus ‘menggiriskan’.

Isyarat itulah yang terpancar prominen dalam beberapa karya-karya Kuntowijoyo, Emha, dan Danarto. Sastra dijadikan semacam alat-ungkap dan ruang pemenuhan panggilan rindu setiap jiwa manusia setelah terseok-seok oleh hiruk-pikuk zaman dan peradaban yang mengasingkan mereka.

Boleh dikatakan bahwa sastra sufistik tersebut berperan menyuarakan elegi peradaban yang makin menjauhkan manusia dari dirinya sendiri. Maka, mau tidak mau, akan secara perlahan tapi pasti, “kebutuhan katarsis” pada diri manusia akan menagih nafasnya kembali, baik secara menggelegak maupun secara senyap dan sunyi.

Dalam perkembangannya, sastra sufistik akan dihadapkan dengan salah satu pertanyaan, apakah sastra sufistik ini hanya akan berhenti sebagai kata benda, atau justru menjadi kata kerja?

Sederhananya, apakah ia akan dikaji semata-mata sebagai suatu karya sastra dan berhenti untuk dunia sastra belaka? Atau justru akan semakin berkembang menjadi wahana transformasi individual maupun kolektif yang melibatkan kelengkapan potensi intelektual, emosional, spiritual serta sensibilitas suatu zaman.

Sedangkan secara historis, A.H. Johns (1961: 10-23) sendiri meneropong keistimewaan sufisme dalam peta sastra dan sejarah bangsa Nusantara. Ia menilai sebagai kekayaan batiniah kolektif manusia beserta kebudayaannya—baik yang diabadikan secara lisan ataupun catatan.

Dari uraian tersebut, satu hal penting yang patut dipertimbangkan. Dapatkah sastra sufistik kelak tidak hanya stagnan dan vakum sebagai ‘patung-patung’ yang dipajang di museum seni, melainkan justru menjadi suatu metode, cara, atau media yang merekam kegelisahan dan kerinduan manusia untuk melancarkan metabolisme ruhaniah individual (ataupun kolektif?).

Dengan kata lain, sastra sufistik sangat mungkin potensial untuk didayagunakan sebagai alegori alternatif, bahkan, menjadi sejenis terapi sufistik. Hal ini sebagaimana dapat kita temukan bahwa kini di dunia psikoterapi Islam banyak yang menggunakan kisah dan sohbet, cerita sufistik yang beredar di Turki dan tarekat-tarekat. Tentu ini akan menjadi PR yang menarik sekaligus menantang.

 

A.H. Johns. “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History.” JSEAH II, no. 2 (1961): 10–23.

Bani Sudardi. Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi Dalam Sastra Indonesia. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.

Danarto. Adam Makrifat. Yogyakarta: Basabasi, 2017.

_______. Godlob. Yogyakarta: Divapress, 2017.

Emha Ainun Nadjib. 99 untuk Tuhanku. Bandung: Bentang Pustaka, 2014.

___________.  Seribu Mesjid, Satu Jumlahnya. Bandung: Mizan, 1994.

Kuntowijoyo. Khotbah di Atas Bukit. Yogyakarta: Benteng Invervisi Utama, 1993.

Leave a Response