Tugas paling berat dalam kehidupan adalah untuk senantiasa tetap bersabar dalam belajar. Bahkan, Imam Syafi’i sangat mewanti-wanti agar jangan sampai lelah dalam belajar.

Sebab, jika manusia sudah menyerah maka niscaya ia akan menanggung perihnya kebodohan. Begitu kiranya kalimat yang mampu menggambarkan mistikus Annemarie Schimmel sebagai orang yang tekun dan gigih pada kesabaran.

Alkisah, saat itu usia Schimmel sudah renta, sekitar 80 tahun. Ia masih menyibukkan diri dengan teks-teks tua berbahasa Urdu, Sindikh, atau Ibrani hanya untuk mengecap langsung mata air pengetahuan dari sumbernya. Belajar dalam kesabaran ia ambil dari hikmah Surat Al-Ashr dan menjadi patokan tertinggi pada kehidupannya.

“Setiap pengalaman mesti dimasukkan ke dalam kehidupan untuk memperkaya kehidupan itu sendiri. Sebab, tak ada kata akhir untuk belajar seperti pula tak ada akhir untuk kehidupan.” Tulisnya dalam A Life of Learning.

Bagi Schimmel memang tiada kata akhir untuk belajar. Lihatlah apa yang dapat kita katakan kepadanya yang saat itu di tengah kecamuk Nazi dan belitan perang dunia II. Ia mampu belajar dan menguasai lebih dari 7 bahasa dan di masa selanjutnya menguasai lebih dari 15 bahasa.

Dengan kemampuan dalam berbagai bahasa, mungkin Schimmel lah mistikus yang saat ini paling menguasai setiap inci risalah pustaka literasi dunia muslim dan abad-abad terdahulu. Pujian itu terhitung biasa saja bagi seorang perempuan yang namanya diabadikan di sebuah jalan indah di Pakistan.

Schimmel telah berdialog dengan Rumi, Ibn al-Arabi, dan Iqbal. Ia berdebat dengan pakar ahli sejarah agama tersohor Freiderich Heiler, filsuf Rudolf Pannwitz dan mistikus Louis Massignon yang menceritakan kepada Schimmel tentang mawar mistik yang membuatnya terlupa pada kebisingan suasana kota Tokyo.

Ia pun telah mengunjungi Ankara untuk melihat rambut Nabi dan mengikuti tarian persaudaraan sufi Mulawiyah. Ia pernah pula menjabat sebagai Presiden Asosiasi Sejarah Agama Internasional dan menjadi guru tamu di berbagai universitas terkenal sekaligus Profesor di Hardvard.

Annemarie Schimmel lahir tahun 1922 di Erfurt, kota kecil di Jerman Tengah. Sejak kecil ia tumbuh manja dengan dibalut kasih sayang ayahnya yang bekerja sebagai pengantar surat di kantor pos, sekaligus menjadi kesayangan ibunya seorang pemeluk Protestan yang taat.

Ayah Schimmel sangat gandrung dan menyukai puisi. Setiap minggu siang Schimmel selalu dihadiahi narasi puisi Jerman juga Prancis.

Ketika liburan di rumah nenek, Schimmel kecil akan ditimang dengan dongeng perjalanan berbahaya di Tanjung Horn atau India serta petualangan sang Kakek yang kehilangan kapal di Rio Grande del Sul.

Pada usianya yang ketujuh, Schimmel sudah punya kebiasaan yang jarang dilakukan anak sebayanya. Ia suka memperbaiki naskah-naskah yang salah cetak dalam pengejaan.

Saat itulah ia mendapat buku dongeng yang salah satu babnya bertutur tentang kisah Padmanaba dan Hasan. Ada satu kalimat dalam cerita itu yang menggugah dirinya:

“Manusia sebenarnya sedang tidur dan ketika meninggal mereka terbangun.”

Kelak ia tahu kalimat itu bukan hanya indah, namun kalimat itu merupakan kalimat Sayyidina Ali r.a dan dinisbatkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. yang sering menjadi semacam jimat kaum mistikus.

Bahasa adalah kejeniusan yang dimiliki Schimmel. Pada usia sepuluh tahun ia sudah mahir berbahasa Inggris dan Latin. Akan tetapi, perkenalannya dengan bahasa Arab di usia 15 membuat hidupnya serasa bertaburkan mawar.

“Sungguh menyenangkan walaupun kegembiraan itu harus aku simpan sendiri. Tidak akan ada teman yang mau mengerti tentang seseorang yang belajar bahasa Semit di tengah kecamuk fanatisme dan nasionalisme Jerman.” Kenangnya saat itu.

Schimmel menyelesaikan Sekolah Menengahnya di usia 16 tahun dengan hanya jangka waktu 6 bulan. Pasca itu ia terpaksa harus mengikuti Arbeitsdient, semacam kerja paksa sebelum berkuliah.

Hanya saja perang dunia II pecah dan ayahnya dipindahkan ke Berlin. Schimmel kemudian menyusul dan berkuliah di Fakulltas Seni dan Sains sambil tetap kursus bahasa Arab dan Seni Islam.

Saat Natal tahun 1939 Profesor Kuhnel memintanya hanya mendalami Seni Islam dan menjanjikan posisi Asisten Doktor pada Schimmel. Sayangnya janji itu tak kunjung ditepati. Setelah meraih gelar doktor pada November 1941 Schimmel memutuskan bergabung dengan Departemen Luar Negeri sebagai penerjemah.

Selama kuliah Schimmel diampu oleh Annemarie von Gabain yang serius mengajarkan padanya Ilmu Turkologi. Ada pula Richard Hatrman yang mengajarkan pendekatan historis-klasik naskah Arab dan Turki Usmaniyah.

Termasuk juga Hains Heinrich Schaedar yang mengajaknya masuk ke titik terjauh tentang mistisme Islam. Schaedar mengajak Schimmel untuk menyelami Rumi dan menuntunnya mengagumi Al-Hallaj.

Karena diskusinya dengan Dekan Fakultas Seni Universitas Marburh, Freiderich Heller, Schimmel kemudian ditawari menjadi profesor Kajian Arab-Islam di universitas itu. Tanggal 12 Januari 1946 saat masih berusia 24 tahun ia memberi pidato pelantikannya sebagai satu-satunya profesor perempuan di sana.

Mei 1946 ayah Schimmel terbunuh perang. Tiga tahun kemudian ia pergi ke Swedia dan belajar bahasa negeri itu sambil berdebat dan berdiskusi dengan pakar keagamaan di sana yang 35 tahun kemudian menganugerahinya gelar doktor ilmu ketuhanan.

Tahun 1950 Schimmel pergi ke Amsterdam untuk menghadiri Konferensi Internasional Sejarah Agama. Di sana ia berkenalan dengan pakar mistik kenamaan: Louis Massignon.

Massignon  adalah seorang figur yang seakan terbuat dari cahaya putih, hampir tanpa berkas jasa materi. Ia juga seorang mistikus yang menyatukan nafsu dan cinta. Schimmel menyatakan penilaiannya tentang Massignon. Pada tahun itu ia meraih lagi gelar doktor di Marburg.

Tahun 1952 Schimmel ke Turki, ia pergi ke Konya. “Aku seperti menjumpai surga di kota kecil ini, surga yang sebelumnya hanya aku dapati dari nyanyian Matsnawi Rumi, cerita tentang musim semi, menjelajahi tiap sudut kota bersama pustakawan Aya Sofya yang mendaraskan puisi di tiap perjalanannya.”

Situasi kerja yang tak nyaman di Marburh membuat Schimmel menerima tawaran mengajar di Universitas Ankara, Turki. Karena kecintaannya pada Sir Muhammad Iqbal, di tahun 1958 ia mendatangi undangan Pakistan. Di negeri itu ia dianugerahi Hilal Pakistan, penghargaan tertinggi yang pernah diberikan pada rakyat sipil.

Tahun 1966 Harvard memintanya untuk menjadi pengajar. Di universitas itu Schimmel mengajar Sejarah Islam, Bahasa Sindikh, Persia, Urdu dan beberapa topik lainnya.

Selama setahun ia hanya habiskan enam bulan di Amerika, sisanya ia terbang ke Turki atau Pakistan untuk mengobati kerinduan pada budaya anak benua itu.

Di usianya yang renta tidaklah Schimmel harusnya merasa lelah?

“Surga adalah tiadanya hari libur.” Katanya tersenyum sembari mengutip ucapan Iqbal.

Benar saja tak ada hari libur. Tubuh renta itu pun mengalami misteri usia. 28 Januari 2003 sebuah kecelakaan parah menghentikan aktivitasnya.

Setelah koma sekian jam dan tak kunjung sadarkan diri maut pun mengajaknya berlibur, menghadirkan surga yang selama ini ia idamkan.

Dunia jelas saja kehilangan Schimmel, pemikir paling juur dan cemerlang tentang mistisme Islam yang menulis dengan kecintaan, seperti mengalami sendiri.

“Aku melihat Rumi, aku melihat Rumi..”

Demikian ia pernah berkata. Mungkin saat ini mereka sedang reuni, merengkuh cinta Ilahi.

Leave a Response