Pengalaman bertemu dengan perempuan sholehah yang hemat berbicara, itu masih hal biasa dan banyak terjadi. Beda halnya dengan pengalaman berjumpa perempuan sholehah yang berbicara hanya pakai ayat-ayat Alquran. Barangkali hal itu termasuk kejadian langka dan terbilang unik.
Kejadian langka seperti itu yang pernah dialami oleh ulama kenamaan bernama Imam al-Ashma’i (w. 216 H). Pengalaman unik yang menimpa ulama kelahiran Bashrah itu dikisahkan secara apik oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya berjudul Raudhatul ‘Uqalaa’ wa Nazaahatul Fudhalaa’ (h. 49-50).
Alkisah, suatu hari Imam al-Ashma’i bersama beberapa rekannya melakukan perjalanan jauh. Dalam perjalanan, di tengah-tengah luasnya gurun pasir, Imam al-Ashma’i dan rombongannya tiba-tiba bertemu perempuan suku Arab Badui. Perempuan itu mengendarai untanya seorang diri. Padahal, pada zaman dahulu mustahil bin aneh ada perempuan mengembara sendirian begitu.
Merasa ada yang ganjil, Imam al-Ashma’i berinisiatif menanyai perempuan tersebut, “Wahai nona, kau sedang mencari siapa?” Perempuan itu menjawab pertanyaan ini dengan mengemukakan QS. Al-Isra’ [17] ayat 97.
Dan barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa Dia sesatkan, maka engkau tidak akan mendapatkan penolong-penolong bagi mereka selain Dia.
Mendengar penggalan ayat di atas Imam al-Ashma’i menjadi mafhum dan memprediksi perempuan itu sedang kehilangan rombongannya. Guna memastikan kebenaran prediksinya, Imam al-Ashma’i menanyakannya. “Kelihatannya kau sedang kehilangan rombongan, ya?” Perempuan itu membenarkan prediksi Imam al-Ashma’i itu dengan mengetengahkan QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 79.
Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat) dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.
Selanjutnya, Imam al-Ashma’i bertanya tentang dari mana asal perempuan itu. Kali ini perempuan itu menjawab dengan ayat berikut ini,
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya.
Berdasarkan QS. Al-Isra’ [17] ayat pertama tersebut, Imam al-Ashma’i jadi paham perempuan itu berasal dari kota Alkudsi (Yerusalem).
Sadar terus-terusan direspons hanya pakai ayat Alquran, Imam al-Ashma’i bertanya perihal itu. Tak dinyana, lagi-lagi perempuan itu memberikan jawaban berupa ayat Alquran. Tepatnya QS. Qaf [50] ayat 18.
Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).
Lama-lama perilaku tidak lumrah yang ditunjukkan perempuan itu mengundang curiga dari sebagian rekan-rekan seperjalanan Imam al-Ashma’i. Hingga ada di antara mereka yang menuduh perempuan itu sebagai penganut paham Khawarij. Namun, perempuan itu menyanggah tuduhan tersebut dengan menyitir QS. Al-Isra’ [17] ayat 36.
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.
Singkat cerita, Imam al-Ashma’i bersama rekan-rekannya bersepakat untuk menemani perempuan itu mencari rombongannya. Lalu, setelah mereka menempuh perjalanan beberapa lama, dari kejauhan tampak terlihat oleh mereka akan kubah-kubah dan himpunan tenda perkemahan. Ketika itulah perempuan itu kemudian berseru,
Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]: 16).
Karena tidak mengerti maksud perempuan itu dengan ayat yang dia rapalkan tadi, Imam al-Ashma’i pun bertanya. “Apakah yang kau maksud?” kata Imam al-Ashma’i menanyai perempuan itu. Perempuan itu kemudian memperjelas maksudnya dengan mengutarakan QS. Yusuf [12] ayat 19.
Dan datanglah sekelompok musafir, mereka menyuruh seorang pengambil air. Lalu dia menurunkan timbanya. Dia berkata, “Oh, senangnya, ini ada seorang anak muda!”.
Imam al-Ashma’i bertanya lagi, “Siapa orang yang harus kupanggil?” Perempuan itu lantas membacakan secara beruntun tiga ayat berbeda, yakni:
Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. (QS. Maryam [19]: 12).
(Allah berfirman), “Wahai Zakaria! Kami memberi kabar gembira kepadamu”. (QS. Maryam [19]: 7).
(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi”. (QS. Sad [38]: 26).
Ternyata dengan kelima ayat terakhir yang disebutkan tadi, perempuan itu hendak mengabarkan bahwa kubah dan tenda yang terlihat dari kejauhan itu milik rombongannya yang dia cari-cari selama ini.
Akhirnya, Imam al-Ashma’i bersama rekan-rekannya berhasil mengantarkan perempuan itu sampai bersua kembali dengan rombongannya. Kawan-kawan serombongannya mengaku telah kehilangan perempuan itu sejak tiga hari yang lalu. Seterusnya perempuan itu berucap,
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri. (QS. Fatir [35]: 34).
Selepas itu, Imam al-Ashma’i kemudian mengisyaratkan kepada mereka untuk pamit melanjutkan perjalanan, perempuan itu lalu membaca QS. Al-Kahf [18]: ayat 19.
Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu.
Lantaran di antara mereka tidak ada yang mampu memahami apa yang dimaksud oleh perempuan itu, maka Imam al-Ashma’i memberitahukan maksud perempuan itu kepada rombongannya agar mereka memberi bekal perjalanan bagi dirinya dan rekan-rekan rombongannya.
Mereka lantas bergegas membawakan sejumlah perbekalan makanan berupa roti dan kue. Alih-alih menerima perbekalan tersebut, Imam al-Ashma’i justru menolaknya dan mengatakan, “Maaf, kami tidak butuh ini semua”. Kemudian, Imam al-Ashma’i melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada salah seorang kawan perjalanan perempuan itu. “Siapa sebetulnya perempuan ini?” tanya Imam al-Ashma’i penasaran.
“Namanya Amna. Sudah empat puluh tahun dia tidak pernah berbicara kecuali dengan menggunakan ayat-ayat Alquran. Hal ini dia lakukan karena saking takutnya berkata bohong.” Begitulah penjelasan perempuan muda yang jadi salah satu kawan perjalanan perempuan itu.
Sejurus kemudian Imam al-Ashma’i menghampiri perempuan sholehah itu. “Wahai nona, sekiranya kau berkenan memberiku nasihat atau petuah,” pinta Imam al-Ashma’i kepada perempuan itu. Perempuan itu pun mengamini permintaan Imam al-Ashma’i dan menyampaikan QS. Asy-Syura [42] ayat 23.
Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.
Mendengar ayat yang disampaikan perempuan sholehah itu, sekonyong-konyong Imam al-Ashma’i berpaling meninggalkannya. Sebab, menurut hemat Imam al-Ashma’i, berdasarkan ayat yang disampaikan tadi jelaslah perempuan itu seorang beraliran Syiah.
Akan tetapi, Imam Ibnu Hibban malah berpandangan berkebalikan dengan hemat Imam al-Ashma’i tersebut. Menurutnya, bisa jadi dengan ayat tadi perempuan itu ingin menasihati Imam al-Ashma’i supaya senantiasa mengikuti jejak Rasulullah saw.
Mengingat teladan Rasulullah saw. yang tetap berupaya menjaga hubungan baik bersama sanak keluarganya, sekalipun keluarganya kerap kali mengusik beliau. Juga ketabahan Nabi saw. dalam mendakwahkan risalah Tuhan kepada keluarganya, demi mengharapkan mereka selamat dari siksa-Nya kelak di hari kiamat, serta agar mereka dapat merengkuh kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat nanti. Semua itu beliau lakukan semata-mata karena betapa besarnya kasih sayang dan kepedulian beliau pada sanak saudara atau keluarganya.
‘Ala kulli hal, terlepas mana yang benar di antara klaim Imam al-Ashma’i dan Imam Ibnu Hibban tentang siapa sebenarnya perempuan itu. Intinya, terdapat pelajaran dan hikmah begitu berharga dari ahwal yang dilakukan oleh sosok perempuan sholehah itu. Semoga saja penulis dan pembaca sama-sama dimampukan meniru kegigihan perempuan itu menjaga lisannya tak sampai berkata bohong. Terlebih pada zaman sekarang yang dikata orang sebagai masa merebaknya budaya post-truth dan juga kenyataan hoaks yang bertebaran di mana-mana.
Arkian, in uriidu illal-ishlaaha mastatho’t, wa maa taufiiqiii illaa billaah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib (Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya pula aku kembali). Wallahu a’lam bish-shawab.