Rasulullah Muhammad Saw pada masa hidupnya mempunyai dua peran dalam masyarakat Islam. Pertama, beliau adalah utusan Allah Swt yang berkewajiban menyampaikan firman Allah Swt. Kedua, beliau adalah pemimpin kaum muslimin pada saat itu dan menjadi rujukan utama umat Islam sekaligus teladan.
Oleh karena itulah, pada masa itu banyak kalangan yang ingin mendapatkan pengakuan dari Nabi. Pada suatu ketika terjadi polemik antara kalangan Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim tentang siapa yang paling dicintai dan berhak atas Rasulullah Saw.
Syekh Abu Nu’aim al-Asfahani dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’ menerangkan kisah Rasulullah yang mendamaikan suatu perselisihan yang melibatkan sahabat Anshar dan Muhajirin.
Pada suatu hari, ada tiga golongan yang sedang duduk di depan rumah Rasulullah Saw. Kedatangan mereka itu karena ada mereka berselisih tentang siapa di antara mereka yang paling berhak atas Nabi Muhammad Saw, dan yang paling beliau cintai.
Golongan pertama, mereka yang berasal dari sahabat Anshar pun berkata:
“Kami para sahabat Anshar beriman kepada beliau, mengikuti beliau, dan berperang bersama beliau. Kamilah pasukan beliau yang menohok leher musuh beliau, sehingga kami lebih berhak atas Rasulullah dan paling beliau cintai.”
Tidak mau kalah dengan jawaban para sahabat Anshar, golongan kedua yakni para sahabat yang berasal dari kalangan Muhajirin pun berkata:
“Kamilah yang hijrah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, meninggalkan kerabat, keluarga dan harta benda, tetapi kami juga hadir di tempat dan kejadian yang kalian hadiri, dan menyaksikan apa yang kalian saksikan. Dengan demikian, kami adalah yang paling berhak atas Rasulullah Saw, dan yang paling beliau cintai.”
Setelah pernyataan dua golongan itu, lalu golongan ketiga yang merupakan para sahabat dari kalangan Bani Hasyim ikut berkata:
“Kami adalah keluarga Rasulullah Saw. Kami juga hadir di tempat, dan kejadian yang kalian hadiri, dan menyaksikan apa yang kalian saksikan. Dengan demikian, kami adalah yang paling berhak atas Rasulullah Saw, dan yang paling beliau cintai.”
Setelah mereka semua adu argumen, tidak lama kemudian Rasulullah Saw keluar menemui mereka. Beliau langsung menghampiri mereka dan bersabda, “kalian membicarakan sesuatu?”
Mereka kemudian bercerita persis seperti perkataan di atas. Rasul lantas bersabda kepada para sahabat Anshar, “Kalian benar. Siapa yang membantah kalian?” Kemudian Rasulullah Saw diberitahu perkataan dari para sahabat Muhajirin. Dan beliau pun bersabda, “mereka benar dan jujur. Siapa yang membantah ucapan mereka?” Dan setelah itu, beliau diberitahu tentang apa yang dikatakan dari kalangan Bani Hasyim, lalu beliau bersabda, “mereka benar dan jujur. Siapa yang membantah mereka?”
Rasulullah Saw kemudian bersabda, “maukah aku putuskan perselisihan kalian ini” Mereka pun menjawab, “Mau, demi ayah dan ibu kami, ya Rasulullah.”
Beliau kemudian bersabda, “Adapun kalian, wahai para sahabat Anshar, aku ini adalah saudara kalian.” Mereka pun berkata, “Allahu Akbar! Kami terima itu, demi Tuhan Pemilik Ka’bah.”
Nabi pun kembali bersabda, “Adapun kalian, wahai para sahabat Muhajirin, aku ini berasal dari kalian.” Mereka pun berkata, “Allahu Akbar! Kami terima itu, demi Tuhan Pemilik Ka’bah.”
Selain itum Rasulullah kembali bersabda, “Adapun kalian, wahai Bani Hasyim, kalian berasal dariku dan kembali kepdaku.”
Mendengar sabda Rasulullah Saw tersebut, para sahabat dari kalangan Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim pun berdiri semua dalam keadaan ridha dan senang dengan Rasulullah Saw.
Itulah akhlak Rasulullah Saw dalam mendamaikan dan menyelesaikan sebuah perselihan, dan konflik di kalangan para sahabat Anshar, Muhajirin, Bani Hasyim, dan kalangan umat Islam secara umum pada saat itu. Beliau mengayomi semua kalangan, tidak membeda-bedakan berdasarkan statusnya.
Soal “akhlak” inilah yang mulai hilang di dalam diri para tokoh agama atau ulama yang menjadi pewaris para Nabi Saw. Banyak para tokoh agama yang justru mengkotak-kotakkan kelompoknya masing-masing. Padahal Rasulullah memberikan contoh tidak seperti itu.
Oleh karena itulah, para da’i, para ulama dan tokoh agama yang mempunyai banyak jama’ah seharusnya selalu berdakwah dengan meneladani akhlak Rasulullah Saw. Agar umat tidak terpecah-pecah dan saling merasa paling benar sendiri antara satu dengan yang lainnya.
Akhlak Rasulullah Saw selain harus ditiru oleh para ulama, pada da’i dan tokoh agama juga harus diteladani oleh para pemimpin. Hal ini karena Nabi Muhammad sendiri pada masa hidupnya selain menjadi seorang utusan yang menyampaikan firman Allah, beliau juga menjadi pemimpin umat Islam pada saat itu.
Apa yang Rasulullah Saw lakukan itu tidak lain bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan di tengah adanya banyak perbedaan. Apalagi dalam setiap perbedaan pasti ada titik temunya.
Perbedaan adalah fitrah, oleh karena itulah kita semua seharusnya mencari titik persamaan di antara banyaknya perbedaan. Bukan malah semakin mempertebal perbedaan dan merasa paling benar atas kelompoknya sendiri.
Tugas-tugas keurukunan dan keumatan itulah yang seharusnya dilakukan oleh para ulama, pemimpin, para da’I dan tokoh agama. Caranya hanya satu, yakni meniru akhlak yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.