Kampung Pamijahan di Tasikmalaya terkenal dengan keberadaan tempat peziarahan karena adanya beberapa makam ulama besar penyebar ajaran agama Islam di Tatar Sunda. Salah satunya ialah makam Syaikh KH. Abdul Muhyi (w. 1930).

Selain itu, Pamijahan juga teristimewakan oleh keberadaan warisan peradaban Islamnya berupa naskah-naskah tua tulis tangan (manuskrip) peninggalan masa Syaikh Abdul Muhyi dan para keturunannya. Salah satu manuskrip penting yang tersimpan di Pamijahan adalah manuskrip salinan kitab “Bayanullah”.

Kitab “Bayanullah” salinan Pamijahan merupakan naskah berbahasa Arab dengan terjemah interlinear (logat) berbahasa Jawa Pegon. Jumlah keseluruhan halaman terdiri dari 15 halaman dengan tiap halaman terdiri dari sembilan baris terkecuali pada halaman awal dan halaman akhir naskah terdiri dari delapan baris.

Ukuran naskah 13,3 x 20,8 cm. Secara umum, kondisi naskah terbilang masih bagus dan teksnya dapat dibaca dengan baik.

Pengarang (mu’allif) kitab “Bayanullah” sendiri adalah seorang ulama sufi yang bernama Syaikh Yusuf bin Muhammad Makiyyah. Nama sosok pengarang ini sebagaimana tercantum dalam pembukaan naskah. Tertulis di sana:

“Berkata Syaikh Imam Al-‘Arif, Al-Faqir, Al-Dhaif (yang lemah) semoga Allah memberi rahmat kepada beliau ‘Yusuf bin Muhammad Makkiyyah’ yang Allah telah menyucikan ruhnya yang mulia.”

Saya sendiri belum mendapatkan data dan informasi lebih lanjut mengenai sosok pengarang kitab “Bayanullah” ini. Melihat dari nama belakangnya, yaitu Makkiyyah, besar kemungkinan tokoh ini memiliki hubungan yang dekat dengan kota suci Makkah.

Naskah “Bayanullah” berisi tentang ajaran tasawuf. Menurut Ronit Ricci dalam bukunya yang berjudul “Banishment and Belonging: Exile and Diaspora in Sarandib, Lanka and Ceylon”, naskah ini disebut sudah banyak tersebar di Bandung dan wilayah Tatar Sunda lainnya pada pertengahan abad ke-19.

Daftar beberapa salinan naskah “Bayanullah” termuat dalam buku katalog induk naskah-naskah Jawa Barat karya Edi S. Ekajati dan Undang A. Darsa (hal.474-475).

Saya sendiri menjumpai salinan kitab “Bayanullah” ini di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat pada koleksi naskah pribadi Ustadz Akin. Ustadz Akin merupakan salah satu tokoh pemuka Agama di desa tersebut dan masih keturunan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Melihat bahan kertas naskah dan usianya, diperkirakan naskah salinan Pamijahan ini juga berasal dari abad ke-19.

Selain itu, ternyata juga naskah “Bayanullah” ditemukan salinannya di Ponorogo, Jawa Timur. Naskah salinan “Bayanullah” tersebut disalin oleh Kyai Idris bin Ali Munada, seorang mursyid tarekat Syattariyah di Ponorogo.

Naskah salinan Kyai Idris bin Ali Munada tersebut bertitimangsa: Hari Ahad Kliwon, bulan Rajab tanggal 19 tahun Wawu (11 Oktober 1903 M). Sebuah salinan lain atas kitab “Bayanullah” juga dijumpai di Pontianak, Kalimantan Barat.

Salinan tersebut diselesaikan di Kampung Bugis, Pontianak pada malam Sabtu, pukul 10 tanggal 16 Dzulqa’dah 1957 M. Beberapa salinan kitab “Bayanullah” lainnya juga dijumpai di Minang Kabau, Universitas Andalas tanpa menyebutkan penyalin dan titimangsa penyalinan.

Dan salinan lain naskah “Bayanullah” juga ditemukan di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat koleksi Angku Umar SL Tuanku Mudo dalam Manuskrip Surau Colau 5.

Menariknya, naskah “Bayanullah” Pamijahan ini belum banyak yang mengetahui, meneliti dan belum tersampaikan pada khalayak. Padahal isi naskah mengandung nilai positif sehingga menggerakkan saya untuk mengupas naskah ini.

Naskah ini memuat juga tentang ke-Esa-an Tuhan (Tauhid) sebagaimana ungkapannya:

“Sesungguhnya Allah tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya sebelum-Nya atau sesuatu yang mengawali terhadap wujud-Nya, tidak ada sesuatu pula yang akhir daripada-Nya, tidak tampak, tidak pula bathin atas keberadaan-Nya karena sesungguhnya Dia-lah Allah yang maha satu tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Hal ini selaras dengan Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Ikhlas yang mana surat Al-Ikhlas menegaskan akan ke-Esa-an Allah SWT dan selaras dengan Q.S. Asy-Syuraa: 11 yang menegaskan bahwa Allah tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.

Tentu hal ini sejalan dengan sifat yang wajib dimiliki Allah SWT nomor empat “مخالفة الحوادث” yakni “berbeda dengan sesuatu yang baru”.

Syaikh Yusuf sendiri mengungkapkan definisi tauhid yang mana menurutnya Tauhid adalah yakin bahwasannya tiada Tuhan selain Allah serta tidak melihat kepada selain daripada Allah, dan ketika tidak melihat Allah maka di situ terpisahnya atau tiadanya ketauhidan.

Sebagaimana dalam tulisannya :

“Berkata Yusuf yang Allah telah menyucikan ruhnya yang mulia: Sesungguhnya tauhid ialah meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak melihat kepada selain Allah, terpisahnya tauhid itu ketika kamu tidak melihat Allah sedangkan sesungguhnya penglihatan hanyalah terkecuali melihat Allah”.

Selain manuskrip kitab “Bayanullah”, di Pamijahan juga terdapat banyak manuskrip bercorak tasawuf seperti Kitab Al-Ruh, Kitab Al-Ma’rifah, Kitab Tasawuf, Kitab Martabat Tujuh, dan lain-lain.

Keberadaan manuskrip tersebut mengukuhkan Pamijahan bukan hanya sebagai pusat peziarahan tetapi juga sebagai pusat pemikiran Islam utamanya tasawuf pada masanya. Sampai saat ini, eksistensi Pamijahan tidak pernah surut sebagai pusat spiritual masyarakat Nusantara untuk berziarah dan menapak tilas sejarah.

Topik Terkait: #Resensi kitab

Leave a Response