Tradisi pesantren dan kitab kuningnya menghadapi problem seiring melemahnya pengajaran atau kajian kitab sebagai ciri khas pendidikan pesantren baik dilihat dari kitab-kitab pilihan kiai ataupun santri, hal ini mungkin disebabkan oleh pergeseran orientasi pesantren yang cenderung mengadopsi kebutuhan dalam konteks kekinian. Misalnya, memodernisasi pelajaran pesantren dengan memasukan pelajaran umum sehingga pelajaran kitab kuning sebagai ciri khas pesantren melemah.
Tentu saja hal ini bukan sebuah kesimpulan yang begitu saja diterima, mungkin saja terdapat pesantren yang masih memiliki tradisi sangat bagus dalam kajian kitab yang dapat dijadikan model bagi revitalisasi tradisi kajian kitab di pesantren, oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk pesantren yang masih memegang teguh tradisi kajian kitab.
Pentingnya penelitian terhadap teks pesantren dengan segala seluk beluknya juga disinyalir oleh van Bruinessen (1995:17) dan Dhofier (2011:86) yang berpendapat bahwa kitab (terkadang sering disebut dengan “kitab kuning”) adalah salah satu dari elemen-elemen pesantren yang penting, kitab juga adalah sumber kontruksi pengetahuan dan peradaban kaum santri, pesantren tidak lengkap tanpa kitab sehingga dapat dikatakan tradisi dan peradaban pesantren adalah tradisi dan peradaban kitab maka penting artinya untuk melihat bagaimana tradisi kajian kitab saat ini dalam khazanah tekstual dan kontekstual.
Survey ataupun penelitian kitab yang diajarkan di pesantren sudah dilakukan Departemen Agama dimulai tahun 1977 sampai sekarang, hasil penelitian oleh Sofia University Australia berhasil mengoleksi kitab di Asia Tenggara mencapai 2569 katalog kitab. Kata kitab berasal dari bahasa Arab yaitu Kitabun dalam bahasa indonesianya bermakna buku, dalam konteks pesantren kitab biasanya mengacu pada buku bertulisan arab yang berisi tentang berbagai aspek keilmuan islam seperti Ilmu Tauhid, Fiqih, Akhlaq, Tasawuf, sejarah, Ilmu bahasa (Nahwu dan Shorof), Gramatika (Ilmu Mantiq) (Van Bruinessen, 1995: 131-132).
Meskipun bertulisan Arab, tidak semua kitab-kitab yang digunakan di pesantren itu berbahasa Arab, kadang-kadang ada juga yang berbahasa melayu (Huruf Jawi). Ada juga yang berbahasa Jawa atau Sunda (Huruf Pegon), tapi semuanya tetap ditulis dalam bahasa Arab. Nah, bahasa-bahasa lokal (Melayu, Jawa dan Sunda) ini kadang\menjadi teks utama (Matan), kadang juga menjadi syarah (Penjelasan) atau sekedar menjadi terjemah dari teks utama (Ma’na Jenggot).
Kata “kitab” biasanya juga ditambahkan dengan kata “kuning” dibelakangnya. Disebut kuning karena biasanya menggunakan kertas berwarna kuning yang dibawa dari Timur Tengah pada awal abad ke-20. Sesungguhnya tidak ada ciri khas tertentu yang membedakan antara “Kitab Kuning” dan “Kitab Putih” selain perbedaan pada kertasnya saja, sebab semuanya berisi ilmu-ilmu keislaman yang ditulis dari abad ke-10 hingga ke-15.
Namun kitab (kuning) sudah terlanjur dikenal di kalangan pesantren sehingga orang merasa tidak lengkap jika tidak menyebut kitab kuning untuk ma’na yang sama sebagai buku pengetahuan islam. Kitab adalah akar tradisi keilmuan islam di Nusantara dimana pesantren adalah lembaganya, melalui pesantren, akses terhadap kitab yang berisi ilmu keislaman dalam bahasa Arab menjadi terbuka, terlebih dengan banyaknya penerjemahan dan pembuatan syarah (penjelasan atau komentar atas sebuah kitab) oleh para kiai pemimpin pesantren.
Dengan penerjemahan dan pembuatan syarah tersebut maka terjadilah adaptasi dalam bentuk tanggapan pembaca terhadap kitab berupa penyalinan, penerjemahan, penjelasan dan penyaduran (vernakularisasi) dari sini kemudian terjadi transformasi teks dan reproduksi teks dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa selanjutnya ke dalam bahasa Melayu dan Sunda.
Pada dasarnya tradisi kitab kuning jelas bukan berasal dari Indonesia, semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia itu bersumber dari kitab berbahasa Arab yang dikarang sebelum islam menyebar di Indonesia. Begitu juga kitab syarh (penjelasan) terhadap teks-teks klasik juga berasal dari bahasa Arab, meskipun banyak juga yang dikarang oleh ulama Indonesia tapi tetap saja sumber teks matannya berbahasa Arab.
Di samping itu, pola khas lembaga pesantren menyerupai lembaga madrasah (Kuttab) di Timur Tengah dan India, hal ini tampak dari hampir semua kyai besar menyelesaikan pendidikan agamanya di tanah Arab, bahkan pada abad ke-17 dan ke-18 sudah terdapat jaringan antara ulama Timur Tengah dan Nusantara (Azra, 2007).
Sebagaimana diketahui ada dua jenis pesantren yakni “Pesantren Salafiyyah” (Tradisional) dan “Pesantren Kholafiyah” (Modern). Pesantren yang bercorak Salaf ditandai dengan beberapa ciri yaitu: pertama, menggunakan kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Kedua, kurikulumnya adalah materi khusus pelajaran agama. Ketiga, sistem pengajarannya individual (Sorogan) dan klasikal (Bandongan, Wetonan dan Halaqoh).
Adapun ciri pesantren yang bercorak Kholaf. Pertama, kurikulumnya terdiri dari agama dan umum. Kedua, dilingkungan pesantrennya bertype sekolah umum. Ketiga, adakalanya tidak mengajarkan kitab klasik (Kitab kuning) (Dhofier 2011:76), disini tampak bahwa kedua tipe pesantren ini tetap sama menggunakan kitab sebagai salah satu sumber belajar walaupun ada perbedaan tipologi pesantren di atas, menurut beberapa pendapat kyai hal tersebut sudah tidak lagi relevan, karena yang terpenting adalah ilmu yang bermanfa’at bagi santri.
Jika pesantren dan kitabnya dianggap sebagai sebuah kekayaan tradisi islam di Indonesia, maka perlunya kita melestarikan tradisi ini yang telah terbangun secara kokoh sejak berabad-abad yang lalu serta memanfa’atkannya untuk membendung aspek negatif dari arus modernisasi dalam segala bidang, namun permasalahannya santri yang sedang mengkaji kitab itu terbentur dengan ma’na murodif dari kitab itu sendiri sehingga diperlukan inovasi dari pemimpin pesantren untuk mencari metode agar para santri mudah memahaminya.
Inilah faktor utama yang dilakukan oleh Mama K.H. Ahmad Makki dalam tujuan awal menerjemahkan dan menjelaskan kitab kuning ke dalam bahasa Sunda dan Indonesia, dengan berbekal semangat dan harapan yang tinggi beliau menerjemahkan kitab-kitab klasik karya ulama dan terdorong oleh keinginan agar para santri ketika kembali ke daerahnya masing-masing mempunyai logath, keterangan dan penjelasan awal yang tertata dengan rapih.
Maka Mama K.H. Ahmad Makki mulai tahun 1988 mencetak kitab-kitab berbahasa Sunda dan Indonesia, hingga sekarang tidak kurang sudah ada 180 item kitab terjemah sunda dan 60 item kitab terjemah indonesia yang sudah dicetak. Respon positif masyarakat, santri, ustadz dan para kiai mengalir dari berbagai daerah di Indonesia dan juga respon ustadz-ustadz dari negara lain, Alhamdulillah.
Beliau berpesan kepada para santrinya Gemarlah membaca, Gemarlah menulis, Gemarlah berkarya. Pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan karya cipta. Beramal salihlah untuk orang lain agar kelak dikenang sepanjang masa.
Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English