Ulama nusantara memang dikenal sangat produktif dalam menuliskan karya-karya seputar keislaman. Berbagai kitabnya yang syarat dengan nuansa keislaman nusantara santer dipelajari hingga kini. Salah satu kitab yang sudah tidak asing bagi umat Islam Indonesia, khususnya kaum santri, adalah kitab Syifaul Jinan. Bahkan kitab ini tidak hanya dikaji di pesantren, tetapi juga menjadi bahan ajar di berbagai madrasah dan TPQ.
Kitab ini bernama lengkap Syifaul Jinan Fi Tarjamati Hidayati Shibyan. Sebuah kitab berbahasa Jawa pegon (Arab Jawa) yang ditulis oleh seorang ulama dari Semarang, Jawa Tengah, KH. Achmad Mutahhar bin ‘Abdurahman al-Muraqi as-Samarani.
Kitab ini ditulis oleh KH. Achmad Mutahhar sebagai Syarah (penjelas) dari matan kitab Nazham Hidayatush Shibyan fi Tajwid Al-Quran, yang notabene berisi syair atau nazhaman yang jumlahnya 40 bait. Perlu diketahui, kitab Hidayatu Shibyan merupakan buah karya dari Syekh Sa’id bin Sa’ad Nabhan Al-Hadhrami, seorang ulama yang berasal dari Yaman.
Secara keseluruhan, kitab Syifaul Jinan membahas tentang dasar-dasar ilmu tajwid. Dalam mukadimahnya, KH. Ahmad Mutahhar menegaskan, penulisan kitab ini merupakan sebuah respons dari para guru dan murid madrasah ibtidaiah yang menginginkan adanya tarjamah dari kitab-kitab kecil yang mempunyai faedah yang besar.
Seperti halnya kitab Syifaul Jinan, meskipun hanya terdiri tidak lebih dari tiga puluh halaman, tapi mempunyai kegunaan yang besar untuk mengkaji hukum-hukum bacaan dan cara membaca Alquran dengan benar.
Kitab ini terdiri atas enam bab pembahasan, dengan diawali mukadimah yang berisi puji-pujian kepada Allah, salawat kepada nabi, dan juga kata pengantar dari mushanif (pengarang kitab) mengenai tujuan dalam penulisan kitab, harapan, dan juga permintaan maaf jika terdapat banyak kesalahan dan kelalaian.
Sifat tawadlu’ seperti demikian memang sudah menjadi tradisi para ulama terdahulu, agar diberikan keberkahan oleh Allah dalam proses penulisan kitab. Tak lupa mushanif juga meminta kepada Allah agar kitab ini dapat bermanfaat bagi diri sang pengarang dan juga masyarakat luas pada umumnya.
Di bab pertama, dengan berdasar pada bait yang disusun oleh Syekh Sa’ad bin Sa’id, KH. Achmad Mutahhar berusaha menjelaskan tentang hukum bacaan tanwin dan nun mati. Dalam keterangannya, mushanif memberikan paparan umum tentang apa saja hukum bacaan apabila terdapat tanwin atau nun sukun bertemu dengan salah satu huruf hijaiah yang berjumlah dua puluh delapan.
Seperti idzhar, idgham bi gunnah, idgham bilagunnah, iqlab, serta ikhfa’ dengan disertai contoh-contoh bacaan yang ada di Alquran. Begitu pula pembahasan pada bab kedua yang menjelaskan tentang hukum mim dan nun yang di tasydid serta mim mati. Dalam bab ini, secara lebih khusus mushanif membagi hukum bacaan menjadi ikhfa’ syafawi, idgham mistli, dan idzhar syafawi.
Secara umum, bab ketiga dan keempat merupakan perincian dari pembahasan dalam dua bab sebelumnya. Seperti pada bab ketiga yang memaparkan tentang pembagian idgham beserta cabang-cabangnya. Misal disebutkan bagaimana hukum bacaan idgham yang dibagi lagi menjadi mistli saghir dan mistli kabir.
Bab keempat menjelaskan secara lebih terperinci lagi, yaitu mengenai pengaruh lam ta’rif dan lam fi’li terhadap bacaan idzhar dan idgham. Yang menyebabkan bacaan idzhar dan idgham terbagi lagi menjadi idzhar qomari, idhgam syamsi, idzhar fi’li, dan idzhar halqi.
Baru pada pembahasan yang selanjutnya diterangkan mengenai apa itu huruf tafhim dan huruf qalqalah. Dalam bab ini juga disebutkan berbagai macam huruf hijaiyah yang termasuk ke dalam bacaan tafhim dan bacaan qalqalah. Dari keseluruhan bab, pembahasan pada bab inilah yang paling singkat dan ringkas karena mualif hanya menjelaskan dua bait saja. Meskipun demikian, penjelasan pada bab yang keempat ini cenderung lebih mudah dipahami, sebab langsung pada konteks pembahasan yang dituju.
Pembahasan yang terakhir terdapat pada bab keenam yang menjelaskan tentang beberapa huruf maad serta berbagai macam pembagiannya. Pada bagian ini KH. Achmad Mutahhar memaparkan dengan sangat rinci, baik definisi maupun contoh-contoh dari bacaan Maad. Beliau mendasarkan argumennya pada nazham yang ada, serta dilengkapi dengan refrensi dari pendapat para ulama ahli tajwid.
Kitab Syifaul Jinan selesai ditulis pada 10 Syawal 1374 hijriah dibuktikan dengan kalimat penutup yang termaktub di akhir kitab. Sebagai penutup mushanif mengucap syukur kepada Allah karena dengan pertolongannya telah bisa menyelesaikan dalam menulis kitab tersebut. KH. Achmad Mutahhar juga berharap agar kitab Syifaul Jinan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi para santri dan murid-murid madrasah di Indonesia.
Selain kitab Syifaul Jinan karya KH. Achmad Mutahhar, beberapa syarah dari matan kitab nazham Hidayatu Sibyan juga telah ditulis oleh para ulama. Seperti Irsyadul Ikhwan karya Syekh Muhammad Al-hadad, Bahjatul Ikhwan karya Syekh Muhsin Bin Jafar, bahkan telah disyarahi sendiri oleh sang penulis matan, Syekh Sa’ad bin Sa’id Nabhan dalam Mursyidul Wildan ila Ma’ani Hidayat As-Shibyan.
Namun demikian, kitab Syifaul Jinan mempunyai beberapa keunggulan bagi para pengkaji ilmu tajwid di tanah air, terutama di Jawa. Dengan penggunaan bahasa Arab Jawa (pegon), Kitab karya KH. Achmad Mutahhar ini menjadi lebih mudah untuk dipahami oleh penduduk lokal yang masih awam dengan bahasa Arab.
Beberapa keunggulan lain dari kitab Hidayatu Shibyan adalah pada setiap materi hukum bacaan selalu dipaparkan pengertian secara harfiah maupun terminologinya. Di samping itu juga disertai catatan kaki dan penggalan pendapat para ulama ilmu tajwid sebagai referensi.
Yang tak kalah pentingnya, untuk memudahkan para pelajar dalam memahami, juga disertakan jadwal atau tabel yang berisi ringkasan hukum bacaan dan juga contoh bacaan Alquran. Dengan beberapa kelebihan tersebut, tentu kitab yang dikarang oleh ulama asal Jawa ini harus tetap dikaji dan dilestarikan sebagai salah satu orientasi dari Khasanah keislaman Nusantara.