Salah satu di antara upaya Islam mengakhiri jaman perbudakan adalah dengan dilahirkannya konsep “kitabah” dalam fikih pembebasan perbudakan (al-‘itq). Secara bahasa “kitabah” berarti “menghimpun dan mengumpulkan” (al-dhdham wa al-jam’) –pengertian yang mirip dengan makna “nikah”. Ini juga yang mengesankan Islam mempertahankan “milk al-yamin” sebab “kitabah” semakna dengan kata nikah.
Kitabah merupakan akad kontrak untuk memerdekakan diri yang diajukan budak kepada majikannya dengan cara menghimpun dana dalam jangka waktu yang disepakati antarkeduanya. Dalam akad kitabah, baik cara penghimpunan dana tebusan maupun rentang waktunya harus jelas. Jika hanya salah satunya saja yang diutarakan maka dianggap tidak sah.
Setelah kesepakatan bersama, majikan akan menghimpun dana yang dihasilkan budak dari upah yang diterimanya melalui jasa penyewaan budak oleh majikannya kepada pihak lain.
Kitabah pertama kali dipraktikkan di jaman Islam sebagai bentuk memanusiakan para budak yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam peradaban manusia di mana pun. Selama berabad-abad lamanya budak selalu diperlakukan seperti hewan yaitu dipekerjakan tanpa sedikit pun upah diterima para budak.
Sedangkan di masa Islam, sekalipun perbudakan masih bertahan hingga abad pertengahan, akan tetapi para budak diberikan haknya berupa upah setelah dipotong untuk hasil keuntungan para majikan.
Majikan mendapatkan bagian dari jasa tenaga budak miliknya karena kepemilikan mereka atas budak bukan diperoleh secara gratis. Mereka adakalanya mempertaruhkan jiwa dalam pertempuran untuk memiliki budak dan adakalanya melalui transfer maupun jual beli budak.
Para majikan juga harus bertanggungjawab menebus kesalahan yang dilakukan budaknya tatkala melakukan tindak kriminalitas. Itulah yang mendasari mereka memiliki hak atas budak.
Dalam fikih klasik, budak dianggap sebagai orang yang telah kehilangan identitasnya. Sebab tak ada lagi orang tua maupun kerabat, dan pemimpin yang memberikan perlindungan kepadanya. Sebagai gantinya, perlindungan para budak menjadi tanggung jawab pemiliknya (maula) selama mereka belum dapat membebaskan diri. Hal ini berlaku dalam sistem perbudakan yang diwarisi secara turun-temurun.
Hanya saja setelah kedatangan Islam diperkenalkan sistem baru perbudakan yang disebut “kitabah”. Budak tidak lagi dianggap barang komoditi melainkan manusia yang terpasung separuh haknya oleh majikan.
Budak dipekerjakan dan diberikan upah namun tidak seratus persen karena dipotong pembayarannya untuk jasa sewa yang diberikan majikan kepada pihak lain.
Seperti pernah berlangsung di masa kesultanan Banten, para majikan biasa menyewakan jasa budak untuk bongkar muat kapal dengan upah sehari sebesar 10 gantang beras atau gandum. Upah yang diterima budak itu lalu diserahkan kepada majikan untuk dikumpulkan dan dipotong untuk biaya pembebasan diri yang telah disepakati antara budak dengan majikan selama masa tertentu.
Jika telah terpenuhi akad antara budak dengan majikan maka secara otomatis budak menjadi manusia yang bebas. Demikianlah deskripsi penerapan konsep “kitabah” yang pernah berlaku dalam peradaban Islam dan pada akhirnya berkontribusi dalam penghapusan sistem perbudakan di dunia.
Jadi, tujuan pembahasan perbudakan dalam fikih Islam bukanlah untuk melanggengkan perbudakan, melainkan menghapusnya secara perlahan.
Kini, sistem perbudakan sudah lenyap dari muka bumi. Oleh sebab itu seharusnya umat Islam tidak mencoba-coba lagi menghidupkan perbudakan. Anggap saja fikih perbudakan yang masih tertera dalam literatur Islam klasik sebagai teori hukum yang sudah mati. Wallahu a’lam.