“Padahal saat itu kalian sedang bermunajat kepada Allah, namun mengapa kalian masih bisa memperhatikan diriku? Bila kalian benar-benar cinta pada Allah, sebagaimana aku cinta pada Layla maka kalian tidak akan melihatku.” –Layla Majnun.
Sebelum ditulis ulang oleh Nizami Ganjavi pada abad ke-12, kisah cinta Layla Majnun sudah menjadi cerita rakyat Timur Tengah yang tersebar secara lisan. Novel Layla Majnun karya Nizami Ganjavi berisi tentang kisah percintaan seorang pemuda bernama Qays ibnu Mulawwih dan kekasihnya yang bernama Layla ibnu Amir.
Singkat cerita, Qays begitu mencintai Layla dengan segenap jiwanya. Namun cinta keduanya terhalang oleh restu dari keluarga Layla. Meski cintanya terhalang, namun Qays tidak menyerah dan masih mendambakan cinta Layla sampai akhir hayatnya.
Rasa cintanya yang terhalang itu membuat hidup Qays tiba-tiba berubah. Ia berjalan tak tentu arah sambil menangis dan sesekali membacakan syair-syair cintanya untuk Layla. Orang-orang yang bertemu dengannya meneriakkan namanya si “majnun” atau “si gila”. Sehingga kata Layla Majnun dapat diartikan sebagai “yang gila karena Layla”.
Mahabbah al-Ilahiyah berarti kecintaan kepada Allah Swt. Konsep Mahabbah al-Ilahiyah seringkali disebut sebagai Maqam tertinggi oleh beberapa Sufi. Menurut Abu Nasr al-Sarraj, jenis Mahabbah dalam dunia Sufistik dapat dibedakan menjadi tiga.
Pertama, cinta orang awam yakni mereka yang lisan dan batinnya selalu mengingat Allah. Kedua, cinta orang Siddiqin yakni mereka yang lebih mencintai Allah ketimbang dirinya sendiri sehingga apapun yang ada diluar dirinya tampak tak berarti.
Ketiga, cinta orang arifin yakni mereka yang sudah sangat mengenal Allah dan apa yang dilihat bukan lagi bentuk cinta itu tetapi “diri yang dicintai”. Di sinilah orang-orang arifin merasa batinnya sudah bersatu dengan Allah. Puncaknya, orang-orang arifin merasakan kerinduan yang begitu besar kepada Allah Swt.
Kisah cinta antara Qays dan Layla bukanlah kisah cinta biasa. Meskipun mengalami penderitaan dan kesengsaraan, keduanya masih bisa memperoleh kenikmatan cinta. Inilah representasi cinta seorang hamba kepada Tuhannya.
Menurut Ibnu Arabi, “Sesungguhnya cinta tulus antarmanusia adalah awal perjalanan menuju pengenalan kepada Tuhan, memasuki pengalaman mencintai-Nya dan limpahan anugerah dan kemurahan-Nya.”
Oleh karenanya kisah cinta Layla Majnun ini dapat mengingatkan kepada kita tentang konsep Mahabah al-Ilahiyah dalam dunia sufistik.
Saat Qays diancam akan dibunuh oleh keluarga Layla karena perbuatannya terlalu memalukan, ayah Qays yang merasa iba ikut memperingatkan anaknya itu. Namun Qays menjawab bahwa pecinta macam apa yang menganggap kematian sebagai hal yang serius.
Menurut Qays seorang pria yang termakan habis oleh cinta takkan gentar menghadapi kematian. Seorang pria yang mencari kekasihnya takkan takut menghadapi dunia dan juga perangkapnya.
Begitulah perumpamaan seorang hamba yang telah menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya. Hamba itu akan menganggap semua yang ada di dunia ini tidak lagi berarti. Baik itu kebahagian, kesedihan, dan kesusahan semuanya bersifat sama. Sama-sama datangnya dari Allah, Tuhan yang ia cintai dan dengan segala kerelaan ia harus menerimanya.
Maka, jika seorang hamba masih merasa khawatir dan takut terhadap apa-apa di luar Allah berarti ucapan cinta itu hanya omong kosong belaka.
Saat Qays diliputi cinta yang mendalam kepada Layla, tibalah di satu titik di mana Qays tidak lagi memperhatikan ucapan semua orang. Hanya kata “Layla” lah yang berarti baginya dan terucap dari lisannya tanpa henti.
Ketika mendengar nama kekasihnya disebutkan, mata Qays membeliak dan sebuah senyuman menghiasi wajahnya. Dan ketika orang membicarakan hal-hal lain, ia akan menutup telinganya rapat-rapat.
Begitu pula bagi seorang hamba yang telah jatuh cinta kepada Allah, maka otomatis yang keluar dari lisannya adalah nama Allah, Allah dan Allah, meski disadari olehnya atau tidak. Hal ini membuat apapun nama selain Allah tidak berarti apa-apa baginya.
Qays merasa begitu merana saat dipisahkan dengan Layla. Karena kerinduan yang begitu mendalam, di tengah malam Qays mengendap-ngendap menuju tenda Layla. Begitu berdiri di ambang pintu tenda, ia kemudian membacakan do’a dan bergegas pergi secepat ia datang.
Begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Betapa sulit baginya untuk bergerak menjauh dari tenda kekasihnya. Dalam perjalanan menuju tenda Layla, ia seakan terbang, namun tatkala melangkah pergi, ia berjalan terseok-seok bagaikan orang mabuk atau hewan yang sedang terluka.
Begitulah perumpamaan seorang hamba yang begitu rindu kepada Allah. Baginya bersama dengan orang yang dicintai (yakni Allah) adalah hal yang paling ditunggu-tunggu dan berpisah darinya adalah suatu kesengsaraan.
Contohnya seperti menunggu waktu salat, seorang Muslim yang taat pasti selalu menunggu kapan datangnya waktu tersebut karena ia ingin selalu bercengkrama dengan Allah Swt.
Meskipun manusia yang dekat dengan Allah Swt selalu memiliki tanggung jawab yang harus dikerjakan. Seperti harus selalu patuh akan perintah-Nya, namun jauh dari Allah juga merupakan sumber kegelisahan. Oleh karena itu, dekat dengan Allah ternyata lebih baik ketimbang jauh dari-Nya.
Qays diliputi oleh pancaran kasih sayang kepada semua makhluk Allah Swt. Buktinya saat ada seorang pemburu yang akan membunuh seekor rusa dengan belatinya ia langsung melarangnya dengan berkata bahwa rusa itu adalah ciptaan Allah yang tak berdosa. Jadi tidak ada satu alasan yang membenarkan perbuatan pemburu itu.
Adapula kisah saat Qays berjalan melintasi tenda Layla. Lalu ia ciumi tenda itu, sambil berkata bahwa cinta di dadanya bukanlah untuk tenda Layla, namun cinta kepada siapa yang tinggal di dalamnya.
Pelajaran dari kisah di atas yakni apabila manusia mencintai Allah, maka apa saja yang berhubungan dengan Allah pasti akan dicintai pula. Karena pada apapun yang ada di dunia ini merupakan manifestasi kehadiran Allah Swt.