Ulama ahli Al-Qur’an dan Tafsir asal Kab. Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu pengajian kitab bersama para santri membahas tafsir surat al-Maidah ayat 4 tentang sejarah awal mula najisnya anjing.

[Link versi video ada di bawah]

Berikut penjelasan Gus Baha:

Saya cerita ilmiah ya. Sejak dulu anjing dikenal sebagai hewan yang paling mudah diajari dan dilatih.

Sehingga Al-Qur’an mengistilahkan hewan-hewan pemburu yang terlatih dengan istilah ‘mukallibin’, yaitu hewan yang telah “menganjing”. Maksudnya hewan yang sudah punya tabiat seperti anjing (terlatih).

Jadi, saya mau cerita ilmiah, tapi bukan fikih. Fikih kita memang salah. Jadi sejak dulu, dari era Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad, anjing itu tidak memiliki problem.

Banyak juga sahabat yang mempunyai anjing. Namanya anjing ya (dilatih) untuk menjaga kebun atau hewan ternak. Orang Badui (Arab) zaman dulu itu punya ternak banyak dan penjaga mereka dari serigala adalah anjing.

Ya, tidak ada apa-apa. Belum ada masalah dengan anjing. Sehingga istilahnya  Al-Qur’an ketika ada pertanyaan, “Wahai Muhammad, apa saja yang halal itu?”

Jawabnya Allah, “Muhammad, bilang ke mereka bahwa sesuatu yang halal itu adalah yang suci atau hasil berburu hewan yang sudah dilatih, di mana hewan yang sudah terlatih itu sama pandainya seperti anjing (mukallibin).”

Tapi, tafsir Imam Suyuthi lebih ekstrem. Membuat contoh tidak hanya standar anjing, hasil buruan anjing pun tidak masalah. Makanya tafsir di sini menjelaskan ‘yaitu hewan terlatih dari jenis anjing.’

Ini ngaji tafsir, lho..!!

Maksudnya hewan ay al-kawāsib minal kilāb was sibā’ wat  thairiyyah (اي الكواسب من الكلاب والسباع والطيرية), yaitu hewan terlatih dari jenis anjing, hewan buas dan juga burung.

Saya jelaskan tentang Fikih dulu.

Anjing itu tidak pernah najis dalam semua periode. Sehingga dulu itu tidak asing orang memuji anjing Ashabul Kahfi. Memang tidak pernah ada masalah dengan anjing.

Sampai periode sahabat dan tabi’in, rata-rata sahabat punya anjing. Bahkan, ada banyak sahabat punya keyakinan kalau anjing yang sudah merawat kambing seratus, maka satu kambing itu diberikan kepada anjing tersebut untuk dimakan.

Hal ini karena (anjing) telah menjaga keutuhan kambing (dimakan) dari serigala.

Nah, istilah yang dipakai Al-Qur’an pun begitu, wa mā ‘allamtum minal jawārihi mukallibīn (وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ).

Kali ini kamu ngaji tafsir dan saya baca di depan kalian semua. Artinya saya jujur membacakan tafsirnya: ay al-kawāsib minal kilāb (اي الكواسب من الكلاب), yaitu hewan pemburu (terlatih) dari jenis anjing.

Lha, ini namanya membayangkan masa lalu!

Zaman sahabat dulu, kalau ingin mendapatkan kijang atau (hewan) buruan, mereka melatih anjing untuk mengejar kijang itu.

Menurut Fikih, hewan bisa halal dengan dua cara, yaitu pertama dengan disembelih secara syar’i. Kedua, (hewan) yang mati karena diburu atau terkena panah.

Jadi misalkan kalian berburu kijang, lalu kalian panah dan mati, itu (hukumnya) halal. Jadi tidak perlu disembelih.

Pernah dengar hukum ini tidak?!

Atau (mati) diburu hewan yang sudah terlatih. Itu ya (hukumnya) halal dimakan dan tidak perlu disembelih.

Itu (hukum) standar!

Makanya, ketika Nabi ditanya (hewan) yang halal apa saja, yaitu (hewan) yang disembelih dan yang dicengkeram (mati) oleh hewan pemburu yang sudah dilatih.

Jadi, kalau ada kijang lari, sapi liar atau belibis, lalu kamu panah kemudian mati. Itu (hukumnya) halal. Atau kamu tangkap menggunakan hewan yang terlatih.

Rahasianya Al-Qur’an ya, itu. Mencontohkan anjing, wa mā ‘allamtum minal jawārihi mukallibīn (وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ).

Ini saya cerita ilmiah, tidak perlu menggunakan Mazhab Syafi’i.

Kemudian mitos tentang anjing itu berlebihan. Seperti Ashabul Kahfi yang berjumlah tujuh orang dan yang kedelapan adalah anjing mereka.

Terus nama mereka dibuat macam-macam (jimat) biar rumah nggak terbakar. Tapi, di antara nama-nama itu yang paling tengah dan keren itu Qithmir (anjingnya Ashabul Kahfi).

Tapi, ketika periode Syafi’iyah (murid-murid Imam Syafi’i), bukan Imam Syafi’i, karena ketika (zaman) Imam Syafi’i, orang-orang masih banyak yang memiliki anjing.

Ketika periode Syafi’iyah dan kebetulan mazhab Syafi’iyah yang paling dominan di Indonesia, kemudian orang menganggap anjing itu najis.

Konsekuensi dari dianggap najis, (anjing) dijauhi, diburu bahkan dibunuh. Ketika saya kecil dulu, membunuh anjing dianggap ‘ibadah’. Jadi, desa saya tidak ada anjing.

Untuk konteks Indonesia memang begitu. Desa yang ada anjingnya berarti daerah “Abangan”. Kalau tidak ada anjingnya maka daerah santri. Jadi, berburu anjing itu terasa ibadah.

Tapi, di saat yang sama, santri juga mengakui bahwa (hewan) peliharaan Ashabul Kahfi adalah anjing. Ya mengakui juga kalau hewan yang paling pintar itu adalah anjing.

Apalagi intelijen, kepolisian atau BNN (Badan Narkotika Nasional) tetap mengakui bahwa hewan yang paling mudah dilatih itu ya anjing.

Itu jelas membuktikan ilmiahnya Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sendiri mengakui bahwa hewan terpelajar adalah anjing. Wa mā ‘allamtum minal jawārihi mukallibīn (وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ).

Makanya saya bilang, tahu-tahu kita bodoh, yaitu ketika Mazhab Syafi’iyah menganggap anjing itu najis, kemudian kita lupa pada hal-hal istimewa pada anjing (khawaasul kalbi). Padahal itu bukanlah hal yang bertentangan.

Jika anjing itu merupakan hewan yang pintar dan istimewa, sudah benar kalau itu dianggap najis. Biar tidak kalian sembelih jadi (hewan) ternak.

Nggeh mboten (betul tidak)?!

Justru barang istimewa itu tidak perlu dibunuh. Iya tidak? Karena ia istimewa!

Kalau anjing itu halal seperti kamu anggap seperti ayam, kemudian kalian sate. Malah cepat habis.

Namun di sini, Imam Suyuthi itu termasuk orang yang secara ilmiah adalah jujur. Padahal beliau itu mazhab Syafi’i.

Tapi, dalam hal yang seperti ini, beliau itu bebas mazhab. Orang merdeka, tidak bermazhab. Makanya beliau tetap memberi tafsir: ay al-kawaasib minal kilaab (اي الكواسب من الكلاب), yaitu hewan pemburu (terlatih) dari jenis anjing.

Kalau kamu tanya, “Kenapa Mazhab Syafi’i itu menganggap anjing najis?”

Sebenarnya itu khilaf (ada perbedaan ulama). Asli teks hadis (redaksi) anjing itu najis adalah sabda Nabi:

“Jika (ada) anjing menjilat di antara wadah kalian, maka basuhlah sebanyak tujuh kali.”

Jadi Nabi itu bersabda, ada istilah ‘jilat’ dan ada istilah ‘wadah’. Yang membuat ekstrem itu redaksi ‘jilat’ dan ‘wadah’. Wadah itu bisa saja wadah untuk minum atau untuk apa saja.

Kemudian ada ijtihad. Imam Malik beranggapan bahwa perintah membasuh itu tidak mesti karena najis. Barang kotor, bikin risih, tidak sampai najis pun bisa saja disuruh untuk dibasuh. Kamu punya baju tidak najis tapi kotor, ya dibasuh (dicuci).

Kemudian masih ditambah redaksi ‘wadah’. Wadah itu memang sesuatu yang spesial. Meskipun jok (motor) kamu kotor, tidak kamu cuci. Tapi, yang namanya gelas (wadah) tetap kamu cuci.

Nggeh mboten (betul tidak)?!

Jok mobil nggak perlu dicuci. Kotor nggak apa-apa. Tapi, kalau yang namanya wadah untuk minum tetap dicuci. Karena berkaitan dengan kesehatan dan macam-macam.

Makanya Imam Malik tetap teguh berpendapat bahwa anjing itu tidak najis sama sekali!!

Soal dibasuh tujuh kali itu ta’abbudi (kepatuhan). Patuh sama Nabi yang menyuruh untuk membasuh sebanyak tujuh kali. Tapi, tidak ada konsekuensi bahwa hal itu menjadi divonisnya anjing (hukumnya) najis.

Hal ini karena secara logika ijtihad, redaksi yang dipakai Nabi itu ‘wadah’ dan ‘jilat’. Apalagi kalau sekarang kamu menguasai ilmu medis. Efek yang ditimbulkan dengan sekedar memegang dibandingkan efek karena menjilat, perbedaannya jauh sekali.

Kamu kalau dipegang perempuan tidak cantik kan tidak masalah. Tapi, jika sampai dijilat, pasti keberatan. Memegang sama menjilat itu beda. Hehehe

Akhirnya, Imam Malik memutuskan bahwa tidak ada hubungannya (jilat) dengan najis!

Imam Syafi’i, beda. ‘Tidak hanya jilat, memegang (anjing) pun najis’. Nah, ini yang bikin ekstrem. Akhirnya, memegang ya najis, mengelus-elus anjing ya najis.

Link ngaji versi video:

Gus Baha – Hukum Anjing

Leave a Response