Konsep Mengenal Diri menurut Imam Al Ghazali
Abu Hamid Al-Ghazali atau yang dikenal dengan Imam Al-Ghazali merupakan salah satu ilmuan, sufi, fakih, filosof dan intelektual Muslim yang berhasil mewarnai ruang pemikiran dunia. Salah satu aspek yang intens ia pikirkan adalah tentang psikologi manusia.
Psikologi yang ia gagas berbeda dengan konsep psikologi modern yang berdasarkan pada metode ilmiah empirik. Al-Ghazali lebih menyajikan psikologi yang bersifat transendental, yakni psikologi manusia yang berkaitan dengan Tuhan.
Dalam bukunya yang berjudul Kimiya al-Sa’adah Al-Ghazali menyajikan rumus-rumus kebahagiaan. Baginya kebahagiaan merupakan unsur kimiawi manusia yang dapat diciptakan, ditumbuhkan dan kembangkan oleh manusia itu sendiri. Jika Freud menggunakan konsep psikoanalisis untuk mendeteksi diri manusia, Al-Ghazali lebih menggunakan konsep perbandingan berbagai karakter yang dikumpulkan oleh manusia dalam dirinya sendiri.
Dalam pandangan Al Ghazali manusia menyimpan berbagai karakter seperti karakter binatang ternak, binatang buas, dan malaikat. Manusia pada dasarnya memiliki pontensi untuk menjadi salah satu dari tiga karakter tersebut.
Pertama, karekter binatang ternak. Binatang ternak dalam pandangan Al-Ghazali memiliki cara tersendiri untuk memenuhi kebahagiaannya. Binatang ternak seperti kambing, sapi, unta dan lain sebagainya akan puas dan bahagia apabila ia sudah makan kenyang, minum yang cukup, tidur yang pulas dan berhubungan seksual ketika bersyawat.
Ketika ada tanda-tanda semacam itu dalam diri manusia sangat mungkin ia sedang mengalami sindrom “kebinatang-ternakan” sehingga ia akan berusaha sekuat mungkin untuk memenuhi syahawatnya hanya dengan makan, minum, tidur dan berhubungan seksual.
Kedua, karakter binantang buas. Al-Ghazali menyebutkan bahwa binatang buas akan merasa puas dan bahagia apabila mampu menerkam dan melumpuhkan mangsanya. Karekter ini dapat melekat pada seseorang yang suka dan gemar merampas hak orang lain dengan berbagai cara, diliputi dengan rasa iri dan dengki serta mendominasi orang lain dengan berbagai kekuatan yang ia miliki.
Orang semacam ini akan merasa puas ketika orang lain berada di bawah kekuasaan, pengaruh, dan kendalinya. Apabila seseorang sudah terpengaruh oleh karakter semacam ini, maka sudah hampir pasti ia mengidap sindrom “binatang buas”.
Ketiga, karakter malaikat. Menurut Al-Ghazali, malaikat juga memiliki unsur kepuasan dan kebahagiaan. Kebahagiaan malaikat ialah apabila ia dapat menyaksikan secara langsung keindahan Dzat Adi Kodrati, yakni Tuhan penguasa semesta.
Apabila seseorang hanya merasa bahagia manakala ia mampu menyingkap hijab (penghalang) sehingga ia mampu menyaksikan keindahan Tuhannya, pada saat itu pula karakter malaikat mendominasi pada dirinya. Orang semacam ini yang selalu berusaha mendekat kepada Tuhan dengan melakukan berbagai amaliyah spiritual secara bersungguh-sungguh.
Karakter pertama, yakni binatang ternak disinggung oleh Allah dalam Al Qur’an. Di ayat 179 surat Al A’raf, Allah menyebut manusia yang sama dengan binatang adalah yang memiliki hati tapi tidak mau memahami, memiliki mata namun tidak mampu melihat persoalan secara objektif, memiliki telinga tapi tidak mau mendengar.
Al Zuhaili dalam tafsir Munirnya menyebut bahwa ciri-ciri manusia yang sekelas dengan binatang ternak adalah mereka yang memiliki hati tapi tidak mau memahami kebenaran, memiliki mata tapi tidak mau melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan, serta memiliki telinga tapi tidak mau mendengar nasihat yang baik. Bahkan mereka itu lebih sesat karena mereka lalai.
Karakter binatang buas juga disinggung Allah dalam Al Qur’an dengan berbagai kisah penindasan yang dilakukan oleh Fir’aun, penguasa Mesir kuno. Allah berfirman dalam surat Al A’raf Ayat 123 dan 124.
“Fir‘aun berkata, “Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya ini benar-benar tipu muslihat yang telah kamu rencanakan di kota ini, untuk mengusir penduduknya. Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini). Pasti akan aku potong tangan dan kakimu dengan bersilang (tangan kanan dan kaki kiri atau sebaliknya), kemudian aku akan menyalib kamu semua.”
Demikian pula karakter malaikat -yang menurut Al Qur’an- selalu bertasbih dan mensucikan Tuhan (Al Baqarah: 30). Dari situlah kemudian Al Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menyebut bahwa malaikat terjaga dari seluruh dosa dan kemaksiatan, selalu takut pada Tuhan dan melaksanakan perintah-Nya.
Ketiga karakter tersebut pada dasarnya dapat digunakan oleh seseorang untuk mengidentifikasi diri. Ketika ia memeilihara karakter binatang ternak maka yang ia usahakan hanyalah bagaimana caranya ia bisa makan dan minum sepuasnya, memenuhi syahwat kelaminnya dan menuruti kemalasannya. Layaknya sapi, kambing dan ternak lainnya.
Selanjutnya, ketika seseorang selalu ingin menguasai dan mendominasi orang lain, maka karakter yang tersimpan adalah karakter binatang buas. Ia selalu tidak bisa menerima apabila ada orang yang melebihi dirinya.
Ia akan selalu gusar ketika ada orang lain yang lebih dipuji darinya. Ia juga akan tidak senang apabila ada orang lain yang lebih berpengaruh darinya. Sebisa mungkin ia harus mengalahkannya dengan cara apapun.
Kedua karakter di atas dalam pandangan Al-Ghazali merupakan sifat yang merugikan diri sendiri. Hal ini karena kedua karakter tersebut tidak kekal dan hanya sementara. Kesenangan karena memenuhi syahwat tidak akan bertahan lama sehingga ia justru yang akan menjadi budak yang tertawan oleh hawa nafsunya.
Berbeda dengan jenis karakter ketiga. Karekater malaikat ini berusaha menemui Tuhan dengan membuang sifat-sifat buruk yang melekat di hati. Kemarahan, syahwat, emosi yang berlebihan dan dorongan negatif lainnya tidak akan menguasai dirinya. Sebaliknya kemarahan, syahwat dan emosi tersebut mampu dikendalikannya sehingga dapat menjadi alat yang dapat digunakan untuk mencapai kecintaan Tuhan.
Seseorang harus mengenali dan mengidentifikasi dirinya, karakter apakah yang mendominasi. Sebab apabila ia tidak mengenali dirinya boleh jadi ia akan tertipu oleh keadaan. Ia mengira bahwa apa yang ia lakukan mampu membahagiakan, akan tetapi pada hakikatnya ia justru terjerumus pada kemurkaan Tuhan.