Dua pertanyaan akan memulai tulisan ini. Pertama, kenapa kontra narasi-ektremis di media sosial itu penting? Kedua, kenapa harus ala Walisongo?

Setidaknya ada dua alasan. Pertama, anjuran berdakwah (teologis). Dalam QS. An-Nahl [16]: 125, pentingnya kontra narasi disebutkan dengan wajadilhum bi allati hiya ahsan, yang juga bisa berarti wajadilhum bil al-Medsos, bil facebook, bil youtube dan lain-lainnya.

Ini menandakan bahwa medsos sebagai alat untuk berdakwah juga penting  untuk melawan berbagai isu di dalamnya, termasuk ekstremisme. Kita tidak pernah tahu kapan, di mana, dan bagaimana seseorang bisa terkontaminasi bacaan atau pun tulisan yang mengandung ajakan ekstremisme. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

Ibarat wayang pada masa Walisongo, dan ini menjadi alasan kedua, medsos adalah alat dakwah. Kalau syair pada masa Walisongo memainkan peran penting untuk menyebarkan Islam, begitu pula dengan medsos. Ia juga menjadi alat penting di era milenial yang penuh dengan berbagai macam arus informasi. Di sinilah letak pentingnya wajadilhum bil medsos, bil facebook, bil instragram dan bil youtube.

Pertanyaan kedua adalah kenapa harus ala Walisongo? Mari kita flashback sebentar. Ada hal menarik yang harus kita lihat dari tata cara Walisongo berdakwah. Yakni pendekatan kebudayaan.

Islam yang hadir sejak berabad-abad lamanya tidak pernah sedikit pun mengalami peperangan ketika ia masuk ke Nusantara, khususnya Indonesia. Berbeda dengan negara Eropa dan sekitarnya.

Di Spanyol, misalnya, Islam masuk dengan peperangan. Dalam catatan Philip K. Hitty di dalam buku History of Arabs (2006), setidaknya tidak kurang dari 500 orang pasukan di bawah komando Tharif ibn Malik sebagai perintis untuk menaklukkan Spanyol.

Pada tahun 711 M, lanjut K. Hitty, Musa ibn Nushair mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 pasukan di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.

Contoh di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa ada perbedaan yang sangat mencolok antara masuknya Islam di Spanyol dan di Indonesia. Di Indonesia, proses masuknya Islam disebarkan melalui perdagangan, perkawinan serta pendidikan. Artinya, dan ini menjadi alasan pertama, masuknya Islam di Indonesia tidak dengan kekerasan (peperangan).

Kedua, peran ajaran tasawuf dalam proses Islamisasi di Indonesia. Tasawuf merupakan ajaran yang berpusat kepada kepasrahan dan ketundukan total kepada Allah SWT. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (2013) menyebutkan bahwa peran para sufilah yang menyebabkan berkembangnya Islam secara luas di Indonesia.

Kemampuan para sufi dalam menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik agama lokal itulah, menurut Azra, yang menjadi faktor keberhasilan. Oleh sebab itu, kebudayaan ataupun praktik agama tertentu yang sebelumnya telah ada tidak dibasmi. Ia dijadikan oleh para penyebar Islam, khususnya kebudayaan, sebagai alat menyebarkan Islam.

Dan ketiga, adalah nalar Islam yang inklusif. Masih berkaitan dengan alasan yang di atas, karena masuknya Islam di Indonesia tanpa peperangan dan Islamisasi melalui tasawuf maka terbentuklah apa yang disebut, setidaknya menurut penulis, sebagai nalar Islam yang inklusif. Nalar Islam yang inklusif ini tentu dipengaruhi banyak faktor.

Nalar Islam iklusif inilah yang menjadikan orang-orang Islam di Indonesia memiliki sifat terbuka dalam beragama, menghargai sesama tanpa merasa dirinya paling benar dan orang lain salah. Juga tidak menghapus kebudayaan atau –meminjam istilahnya Kiai Said Aqil Siroj– menjadikan kebudayaan sebagai infrastruktur agama (Islam).

Islam rahmah ini harus terus digaungkan, khususnya di media sosial, sebagai upaya kontra-narasi ekstremis. Penulis berharap, mungkin juga kita semua, Indonesia akan menjadi role model bagi negara-negara di dunia dalam memahami Islam rahmatan lil ‘alamin.

Islam adalah agama kepasrahan dan ketundukan kepada Allah SWT bukan gagah-gagahan. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan terkait makna tersebut. Di antaranya adalah QS. Al-Baqarah [2]: 131. Allah berfirman “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa makna Islam sebagai relasi personal dan basis bagi relasi antarmanusia. Ketika kita mampu tunduk dan pasrah kepada Tuhannya sudah barang tentu akan menghasilkan perilaku keberislaman yang mendamaikan kepada sesamanya.

Entah itu dalam bentuk perbuatan maupun perkataan. Mari kita mengajak (sekaligus menyebarkan narasi di media sosial) kepada Islam yang mengasihi, bukan mencaci maki. Merangkul bukan memukul. Mengajak bukan mengejek. Islam yang rahmah bukan marah. Wallhua’alam bish-showab.

Leave a Response