Asghar Ali Engineer merupakan aktivis sekaligus pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif. Salah satu karya besar yang dihadirkan oleh Engineer adalah pemikirannya tentang “Islam dan Teologi Pembebasan”. Ia meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang membahas pelbagai topik: sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, dan lain sebagainya.
Melihat begitu besarnya kontribusi Engineer bagi dunia Islam dan gerakan Islam progresif pada umumnya, maka saya tertarik untuk memperbincangkan kembali buah pemikirannya yang brilian ini. Namun dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan pemikiran Engineer, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus pada tema kritik Asghar Ali Engineer terhadap pemikiran teologi Islam klasik.
Asghar Ali Engineer lahir di India pada tanggal 10 Maret 1939 di sebuah daerah bernama Salumbar Rajasthan. Ia berasal dari keluarga Bohras yang merupakan sekte dari Syiah Ismailiyah. Ayahnya, Syekh Qurban Husain, salah seorang ulama dan pemimpin Dawoodi Bohras, dan ibunya bernama Maryam.
Komunitas Bohras termasuk sekte Syiah yang beraliran ekstrem-fundamental. Kendati demikian, ayah Engineer lebih dikenal sebagai ulama liberal, terbuka dan berpikiran inklusif terutama ketika melakukan diskusi-diskusi dengan kelompok yang berbeda aliran atau agama.
Engineer kecil memperoleh pendidikan agama pertama kali dari ayahnya sendiri seperti bahasa Arab, tafsir, kitab suci al-Qur’an, hadis, dan fikih. Hal ini wajar, karena ayah Engineer adalah seorang ulama yang menguasai pelbagai bidang ilmu agama.
Yang menarik dari keluarga Engineer adalah ayahnya tidak membatasi Engineer mempelajari ilmu agama semata, tetapi ia mendorongnya untuk mempelajari pelbagai disiplin ilmu tanpa melakukan pemisahan antara ilmu sekuler modern dengan ilmu agama. Kondisi ini mempertegas bahwa lingkungan keluarga Engineer adalah lingkungan pluralis, inklusif, dan moderat.
Sebelum memfokuskan dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer bekerja di BUMN India sebagai seorang engineer profesional selama 20 tahun sebelum akhirnya bergabung pada gerakan reformasi Dawoodi Bohras sekitar tahun 1970-an. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Virkam.
Selama kariernya, ia mendirikan dan menakhodai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif, seperti Institut of Islamic Studies (IIS), Center for Study of Society and Secularism (CSSS), dan Asian Muslim Action Network (AMAN). Tidak hanya itu, Engineer termasuk intelektual produktif. Dia menulis kurang lebih 40 buku dalam berbagai bidang keislaman dan menulis berbagai artikel yang telah dipublikasikan di berbagai penerbit dan website.
Ketika memperbincangkan pemikiran teologi Islam klasik, yang tampak adalah persoalan Qodariah dan Jabariah, sifat dua puluh Tuhan, apakah Al-Qur’an diciptakan dalam kurun waktu tertentu ataukah kekal abadi seperti hakikat Tuhan sendiri, perbuatan Tuhan terkait dan terkena hukum kausalitas atau tidak.
Itulah tema-tema yang masih mewarnai teologi Islam klasik, yang membuat corak pemikirannya bersifat transendental-spekulatif. Realitas empiris kehidupan masyarakat pada waktu itu seperti kemiskinan, ketidakadilan, ketertindasan, hak asasi manusia, demokrasi, dan keterbelakangan luput dari perhatian serius pemikiran teologi Islam klasik.
Menurut Engineer, teologi harus dekat dengan realitas kehidupan sosial masyarakat. Teologi tidak hanya berkutat pada aspek metafisika agama, tetapi ia menyentuh terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bahkan menurut Engineer, teologi yang digaungkan oleh para teolog klasik kerap memberi ketidak-jelasan pemahaman, karena fokusnya pada hal-hal yang abstrak.
Sehingga, karakter teologi seperti ini menurut Engineer, akan berdampak kepada penguatan status quo. Semakin tidak jelas aspek metafisika yang diperbincangkan oleh satu teologi, maka peluang untuk memperkuat status quo semakin besar.
Kritik yang dilancarkan oleh Engineer kepada beberapa aliran teologi Islam klasik, sekurang-kurangnya terhadap tiga aliran teologi: Pertama, teologi Jabariah, yang bagi Engineer, teologi ini tidak memberikan kebebasan berkehendak (pilihan) atau secara langsung membunuh kreativitas manusia dalam menentukan pilihan-pilihannya.
Pengaruh aliran Jabariah ini tampak jelas di awal pemerintahan Bani Umayyah di bawah pemerintahan Yazid bin Muawiyah, yang pada saat itu menjadikan teologi Jabariah sebagai ideologi negara. Di mana, sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem monarki, bahwa segala kekuasaan berpusat pada raja dan segala kebijakan yang dikeluarkan adalah kebenaran yang tak boleh dikritik, sebab, apa yang dititahkan sang raja adalah titah Tuhan.
Rakyat dalam hal ini tidak memiliki kebebasan untuk memberikan hak suara dalam penentuan kebijakan, semuanya tersentralistis pada kekuasaan raja. Fenomena ini bagi Engineer, cukup memprihatinkan, sebab teologi yang seharusnya menghindari kemapanan baik itu kemapanan religius maupun politik seperti pada pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Pun juga, teologi seharusnya membela kaum tertindas bukan malah memperkuat kemapanan.
Kedua, teologi Muktazilah, pengaruh paham Muktazilah tampak pada masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah di bawah penguasa al-Makmun, yang pada saat itu menjadikan Muktazilah ideologi resmi negara. Pengaruh tersebut bisa dilihat dari proses penegakan aturan yang dilakukan oleh penguasa telah mencederai makna Islam yang membebaskan. Kelompok Muktazilah melakukan tindakan represif dalam menjalankan ajaran-ajarannya, terutama bagi kelompok yang berbeda dengan paham mereka.
Menurut Engineer, suatu kesalahan yang dilakukan Muktazilah dengan menjadikan ajarannya sebagai justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah. Pun juga, proses pelanggengan tersebut dengan cara yang tidak membebaskan, sehingga menjadikan teologi tidak lagi berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan, membenarkan segala bentuk penindasan terhadap kelompok yang tidak sejalan dengan kebijakan para penguasa. Padahal bagi Engineer, kehadiran teologi adalah sebagai spirit pembelaan terhadap kaum yang tertindas, yang disertai dengan gerakan-gerakan konkret dalam menciptakan keadilan pada masyarakat.
Ketiga, teologi Ahlu as-Sunnah wal-Jamaah, bagi Engineer, teologi Asy’ariah memiliki kecenderungan fatalism atau Jabariah. Perihal perbuatan yang dilakukan manusia misalnya, tidaklah diciptakan oleh manusia itu sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Sehingga orang yang menjadi kafir dan mukmin, tidak terlepas dari intervensi Tuhan.
Kendatipun Asy’ariah, sebagai aktor teologi Ahlu as-Sunnah wal-Jamaah mereformulasinya dengan istilah kasb (daya) untuk menjelaskan perbuatan manusia. Namun, daya tersebut tidak memberikan efek pada diri manusia, meskipun persentasenya tidak totalitas seperti paham Jabariah. Inilah yang dimaksud Engineer, bahwa teologi Asy’ari ini juga sebenarnya berorientasi pada sikap fatalisme yang pada gilirannya tidak membawa misi pembebasan manusia dari berbagai belenggu.
Kritik Engineer terhadap teologi Islam klasik berangkat dari pemikirannya tentang “Islam dan Teologi Pembebasan”, di mana konsep teologi ini tidak hanya memperbincangkan aspek-aspek metafisika ketuhanan saja, tetapi harus memberikan perhatian terhadap realitas sosial manusia seperti kemiskinan, penindasan, serta keterbelakangan ekonomi. Sehingga, teologi tampak tidak asing lagi bagi umat manusia.