Lasem merupakan salah satu kecamatan yang berada di pesisir utara Jawa Tengah dengan dilintasi jalan Daendels, yang menghubungkan Pulau Jawa bagian barat dengan bagian timur. Bisa dikatakan kota tersebut merupakan sebuah kota yang memiliki keunikan dalam berbudaya. Berdasarkan observasi, warisan budaya yang masih dapat dilihat sedikitnya ada 3 pengaruh budaya yaitu Eropa, China, dan Kebudayaan Islam.
Pengaruh Eropa dan China terlihat pada pengaruh arsitektur bangunan-bangunan yang ada di kecamatan Lasem. Pengaruh China juga terlihat pada berbagai tradisi yang masih dijalankan oleh sebagian masyarakat China di Kecamatan Lasem. Sementara pengaruh kebudayaan Islam terlihat adanya pesantren dengan tradisi-tradisi tradisional. Bahkan, daerah tersebut juga sering disebut sebagai kota santri.
Dari berbagai pengaruh budaya tersebut, baik dari dominasi arsitektur dan aktivitas ritual perayaan keagamaan masyarakat China di Kecamatan Lasem. Kemudian muncul sebuah istilah Petit Chinois yang artinya Cina kecil. Istilah Petit Chinois pertama kali dilontarkan oleh wisatawan Prancis karena banyaknya tinggalan budaya yang berupa upacara-upacara perayaan keagamaan dan bangunan-bangunan yang berarsitektur China (Hartono, 2010;2).
Warisan budaya tangible (nyata) lainya yang ada di Kecamatan Lasem antara lain yaitu situs masa prasejarah, klasik, Islam, maupun kolonial. Situs masa prasejarah antara lain terdapat di Binangun, Plawangan, Terjan, dan Leran. Situs masa klasik dapat ditemui di Candi Samodrawela. Situs masa klasik Islam dapat dijumpai berbentuk masjid Jami’ dan makam-makam yang tersebar di beberapa lokasi. Selain warisan budaya tangible, terdapat pula warisan budaya intangible yang terdiri dari keahlian membatik, makanan khas, dan berbagai tradisi yang masih dijalankan oleh beberapa kelompok masyarakat di kecamatan Lasem.
Yang menarik di sini, upaya pelestarian budaya masih dijunjung tinggi. Sebab, masih dianggap sebagai upaya untuk meneruskan kebiasaan yang dilakukan turun-temurun oleh para orang tua mereka. Sebagai contoh, kepandaian membuat kain dengan motif batik khas Lasem. Selain itu ada juga yang meneruskan tradisi membaca kitab Badrasanti dengan tembang dan diiringi gambang, salah satu alat musik gamelan.
Upaya-upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat kecamatan Lasem terdapat warisan budaya mereka adalah dengan membentuk lembaga-lembaga yang peduli terhadap warisan budaya tersebut. Lembaga-lembaga tersebut aktif baik dalam sosialisasi informasi sejarah dan budaya kepada masyarakat maupun tindakan-tindakan advokasi terhadap warisan budaya yang mengalami ancaman pelestarian.
Selain itu, mereka juga aktif memperkenalkan kekhasan Kecamatan Lasem melalui warisan budayanya kepada masyarakat luar wilayah. Hal tersebut bukan saja sebagai sebuah langkah yang sifatnya ekonomis, dalam pengertian sebagai bumbu daya tarik wisata ke Kecamatan Lasem, namun juga sebagai bagian dari perayaan identitas ke Lasem-an itu sendiri.
Selaras dengan itu, masyarakat sejarawan Indonesia kabupaten Rembang juga menyatakan bahwa motif dan warna batik tulis Lasem yang dominan dengan warna merah, sejatinya merupakan pertautan antara budaya Tionghoa dan Jawa. Dari selembar batik lasem tersimpan kisah tentang pembaruan etnis dan budaya.
Batik tulis ada sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho sekitar tahun 1413. Saat itu, batik tulis sudah mendapatkan tempat penting di sektor perdagangan. Para saudagar mengirim batik ke berbagai pulau di Nusantara. Batik Lasem juga masih berjaya hingga era 1970-an bersama lima daerah penghasil produk batik lainnya, yakni Surakarta, Cirebon, Yogyakarta, Pekalongan, dan Banyumas.
Untuk pemesanan batik Lasem dulu tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenajung Malaka, (Pulau Penang, Johor dan Singapura), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname. Dan sampai sekarang bisa dikatakan kebudayaan ini masih dengan eksis dijalankan oleh masyarakat Lasem dan sekitarnya.
Pengasuh pondok pesantren Kauman KH Zaim Ahmad Ma’shoem (Gus Zaim) juga menyebutkan, pembaruan etnis di Lasem telah menelurkan proses asimiliasi dan akulturasi budaya yang saling mempengaruhi. Ia mencontohkan, rumah warga China di sana tak murni berarsitektur China.
Tingginya nilai toleransi di Lasem inilah yang kemudian menjadikan kehidupan antar beragama berkembang. Dan bagi pendatang yang baru kali pertama berkunjung ke sana, dimungkinkan akan sulit membedakan mana warga keturunan Tionghoa dan Pribumi. Sebab, semua sudah membaur.
Inilah yang seharusnya diteladani bersama. Bahwa sebenarnya budaya merupakan sumber dari toleransi contohnya yakni di Lasem. Sebagaimana Sunan Kalijaga ketika berdakwah dengan budaya wayang dan sebagainya. Pun budaya juga menjadi sumber pangan bagi masyarakat Lasem.
Seperti batik tulis Lasem yang sudah turun temurun menjadi ladang untuk mencari nafkah bagi setiap yang menggeluti. Untuk itu, sudah seharusnya kita menjaga setiap kebudayaan yang ada di Indonesia. Sebab, tidak menutup kemungkinan itulah jalan terbaik untuk melahirkan toleransi dan pentingnya gotong-royong. Sebagaimana toleransi yang masih dilakukan oleh masyarakat Lasem dan sekitarnya.