Lobi-lobi Gus Dur terhadap kelompok Yahudi sering disalahpahami. Padahal, ada misi perdamaian fundamental, yang sedang diperjuangkan Gus Dur. Bagaimana kisahnya?
Di antara kerja-kerja kemanusiaan yang diperjuangkan Gus Dur, yakni menyiapkan misi jangka panjang untuk perdamaian Israel-Palestina. Gus Dur melakukan kerja perdamaian ini, sebagai bentuk dari komitmennya menebarkan Islam ramatan lil-‘alamin, menebar kasih sayang ke seluruh semesta.
Menurut Gus Dur, di antara masalah-masalah kemanusiaan dalam beberapa abad, yang terus menjadi akar konflik di seluruh dunia, adalah hubungan antara Islam-Yahudi, khususnya tampak pada relasi antara Israel dan Palestina. Nah, di antara konflik itu, ada memori tragedi Holocaust, yang menyayat hati dan menyebabkan luka menganga di dada orang-orang Yahudi.
Dalam sejarah kemanusiaan, Holocaust merupakan tragedi genosida yang berlangsung selama perang Dunia II. Dalam peristiwa itu, orang-orang Yahudi dibunuh oleh Nazi German, yang secara sistematis menyebabkan kematian lebih enam juta orang kelompok Yahudi Eropa (Laurence Rees, 2017).
Rabbi Abraham Cooper, seorang Rabbi Yahudi dari Amerika Serikat, mengingat kegigihan Gus Dur untuk mengobati luka-luka kemanusiaan akibat peristiwa Holocaust. Pada tahun 2007, Gus Dur mensponsori sebuah konferensi perdamaian, yang digelar di Bali.
“Presiden Wahid, saya telah bepergian ke penjuru dunia untuk mencari pemimpin muslim yang mau berdiri bersama kita untuk melawan siapa saja yang menjustifikasi terorisme dengan bunuh diri atas nama Tuhan, dengan sedikit kesuksesan,” demikian Copper berkata.
“Sekarang setelah Bali, dan bom bunuh diri, pembunuhan orang-orang tak bersalah di Israel dan Jordania, saya datang kepadamu untuk menanyakan tentang konferensi yang anda selenggarakan bersama Simon Wiesenthal Center dan Lib for All Foundation (Holland Taylor), sebuah konferensi antar pemimpin-pemimpin agama dunia, yang bersatu melawan teror, di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,” kenang Rabbi Abraham Cooper dalam kolomnya di HuffingtonPost (Abdurrahman Wahid: the Blind Man with 20/20 Vision, 18/03/2010). Gus Dur memang telah lengser dari kursi presiden, tap Abraham Cooper tetap memanggilnya ‘Presiden Wahid’.
Pada Juni 2007, konferensi internasional tentang perdamaian lintas agama digelar. Tokoh-tokoh agama, dari Imam, Swami, Priest, dan Rabbi berkumpul bersama korban-korban bom bunuh diri yang selamat, di negara-negara Asia dan Israel. Pada forum itu, hadir pula Sol Teichman, penyintas tragedi Holocaust.
Rabbi Abraham Cooper mengingat betapa Presiden Abdurrahman Wahid sangat berani dan tegas jika membahas masalah-masalah kemanusiaan. Pada forum pembuka, Gus Dur berpidato di depan Rabbi Daniel Landes dari Jerusalem dan Sri Sri Ravi Shankar dari Bangalore, serta ratusan jurnalis nasional-internasional, Gus Dur berucap tegas.
“..Presiden Ahmadinejad. Dia adalah teman saya, namun jika dia berbohong tentang peristiwa Holocaust, maka saya akan bicara keras melawan dia..,” demikian Gus Dur membuka pidato.
Pada konferensi ini, Gus Dur mengajak kepada seluruh pemimpin-pemimpin agama dari pelbagai belahan dunia, untuk berpikir dan menyiapkan aksi nyata tentang peristiwa Holocaust. Sebagai tragedi kemanusiaan, Holocaust perlu menjadi bahan renungan bersama untuk menyiapkan skenario anti kekerasan sekaligus membangun jalur perdamaian yang lebih kokoh, antar pemeluk agama di berbagai belahan dunia.
“Sebuah pertemuan lintas agama, yang direpresentasi oleh Buddha dari Jepang, Hindu dari India, dan Kristen, Yahudi dan Muslim dari pelbagai belahan dunia. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita memperlakukan peristiwa Holocaust? Tentu saja Holocaust menjadi pembahasan utama, dan kita berbagi pendapat, yang mana akan dipandu pada akhir pertemuan dengan deklarasi bersama,” ungkap Gus Dur, sebagaimana liputan Tobias Grote Beverborg (Qantara, 25 Juni 2007).
Rainer Adam, perwakilan Friedrich Naumann Foundation, mengungkapkan pentingnya konferensi Holocaust yang disponsori Gus Dur ini. Bahwa, konferensi ini merepresentasikan, “…perjuangan untuk nilai-nilai penting di negeri ini, seperti toleransi, kemerdekaan dan toleransi, Islam moderat dengan segenap representasinya di negeri ini, menjadi sangat bermakna. Ini memperlihatkan bahwa sesuatu dapat dikerjakan secara berbeda, dan tidak hanya terdapat Islam Arab, namun juga Islam Jawa, dan juga Islam Indonesia, yang mana dapat menjadi tercerahkan dan modern, serta memperlihatkan bagaimana jalan menuju masa depan.”
Selepas konferensi antar agama tentang Holocaust di Bali, misi perdamaian Gus Dur terus berlanjut, terutama untuk menyembuhkan luka-luka dari tragedi kemanusiaan di pelbagai belahan dunia.
Persahabatan Gus Dur dengan Rabbi Abraham Cooper, menjadi penanda komunikasi jangka panjang untuk menjalin kepercayaan dengan umat Yahudi, untuk selanjutnya mencipta jalan damai di tengah konflik Israel-Palestina.
Komunikasi ini terus berlanjut, pada 2008, Gus Dur beberapa pemimpin muslim diundang ke Jerusalem untuk kunjungan dan dialog kemanusiaan. Selain itu, Gus Dur juga dianugerahi medali oleh Simon Wiesenthal Center, atas pengabdian panjang dalam diplomasi perdamaian.
“With the passing of Abdurrahman Wahid, we have lost a leader with crystal clear vision of religion’s true role in the lives of individual and nations,” kenang Cooper atas wafatnya Gus Dur (HuffPost, 25 Mei 2011).
Rabbi Abraham Cooper juga gelisah atas fenomena terorisme mutakhir, yang merenggut nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa tragedi penembakan di Pittsburg, Amerika Serikat dan Cristchurch, New Zealand, mencipta kekhawatiran tentang bagaimana kebencian bekerja, meruntuhkan kedamaian.
Dalam analisanya, Abraham Cooper mengajak komunitas Yahudi di seluruh dunia, sebagaimana dilansir Times of Israel (9/04/2019), untuk lebih waspada dengan penggunaan media sosial, apalagi jika digunakan untuk hal-hal negatif. Ia juga menyeru kepada umat Yahudi seluruh dunia, agar membuka aliansi kepada kelompok-kelompok yang sama-sama menjadi korban teror.
Menurut Cooper, di antara tragedi-tragedi kemanusiaan mutakhir, ada beberapa kesamaan jika ditelaah, di antaranya: pelaku teror terinspirasi gagasan ‘white supremacy’ serta neo-nazi, pelaku bekerja secara mandiri atau ‘lonewolf’ teroris, di antara pelaku juga percaya bahwa kelompok mereka/ras kulit putih sedang terancam, serta mereka terkoneksi dengan sosial media, yang memungkinkan jejaring dan publikasi aksi brutalnya.
Persahabatan Gus Dur dengan orang-orang Yahudi layak dipelajari secara jernih, sebagai batu pondasi untuk melempangkan jalan perdamaian Israel-Palestina. Jika Indonesia ingin menjadi juru damai dalam konstelasi konflik dunia, selayaknya kita meniti jalur dari Gus Dur. Bukankah begitu?