Senja itu kami tengah menikmati kelapa muda yang fuwa-fuwa di bilangan Rawamangun, tiba-tiba seorang kawan bertanya tentang kasus ijazah palsu seorang rektor. “Lagi viral bro!” tambahnya. Saya balik tanya, apa yang enggak palsu di Indonesia? Pemilu? Pre…? Demokrasi? Pendidikan (sekolah)? Biar obrolannya tambah seru…he.

Ijazah palsu di Indonesia sudah menjadi komoditas yang menggiurkan. Pasalnya, permintaan pasar semakin meningkat, buktinya tampak sekali kasus ini kian marak diperbincangkan setiap tahunnya.

Tak usah heran, mengapa kasus ijazah palsu terjadi begitu masif, bahkan pelakunya adalah kampus, tepatnya kampus-kampus gadungan, atau kalau gak mau disebut kampus, ya oknum akademisi, tepatnya akademisi-akademisi gadungan yang melacurkan intelektualnya.

Sebenarnya, ijazah palsu adalah sebagian dari “pelacuran” di dunia sekolah (kampus). Masih banyak kasus lain, seperti universitas palsu, dan karya ilmiah palsu (skripsi, tesis, disertasi) yang pelakunya adalah penulis-penulis “nakal”.

Ijazah biasa bisa menjadi “sakti” mandraguna, sebab di Indonesia ijazah masih menjadi syarat bagi orang yang melamar kerja dan naik pangkat (negeri maupun swasta), bukan kapabilitas personal yang dimilikinya. Miris! Tapi itulah yang terjadi.

Bagaimana cara menyikapinya? Tentu, perlu rekonstruksi kebijakan yang bisa menutup peluang “bisnis” tersebut. Tidak hanya itu, kasus ijazah palsu adalah immoral, yang menggambarkan bahwa masyarakat kita masih senang dengan barang-barang “haram”. Artinya, internalisasi moral (agama) mesti ditingkatkan hingga membudaya dalam kehidupan masyarakat.

Biar hidup ini enggak terlalu kering , mari bersajak:

 

BERDIALOG DENGAN WAKTU

Aku sedang berpikir, seperti apa warna angin yang menerbangkan wewangian.
Waktu masih kanak-kanak, mama membuatkan pesawat terbang dalam mimpiku. Selesai percakapan malam.

Aku sedang bercakap-cakap dengan masa lalu, dimana air laut mengalir dalam nadiku. Sepanjang hari, terbangnya burung dan sayap kupu-kupu.

Waktu, ‘ku ingin terus menyebut-nyebut namamu.

 

Leave a Response