Oleh Gus Dur, Bondan Gunawan dijuluki, “Banteng yang berkeliaran di mana-mana, di luar habitatnya”. Penyebutan ini bukan tanpa sebab. Menurut Bondan, Gus Dur menyebut dirinya seperti itu karena sebagai seorang Nasionalis, Marhaenis, sekaligus Soekarnois, ia tidak bergerak di lingkungan/organisasi resmi kaum Nasionalis, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atau Partai Nasional Indonesia (PNI).

Ia tidak pernah jadi pengurus kedua organisasi tersebut. Ia justru bergerak bebas di mana saja. Dari situlah julukan tersebut Gus Dur sematkan pada dirinya.

Bondan Gunawan adalah sahabat dekat Gus Dur sekaligus salah seorang pendiri Forum Demokrasi (Fordem). Bondan telah bersahabat dengan Gus Dur sejak lama. Persahabatan mereka, menurut Bondan didasari oleh kesamaan visi untuk membangun kehidupan demokratis di Indonesia. Buku Hari-Hari Terakhir bersama Gus Dur adalah memoar yang ditulis Bondan dalam rangka mengenang persahabatan tersebut.

Sebagai salah satu orang terdekat Gus Dur, Bondan tentu memiliki segudang cerita mengenai Gus Dur, baik saat sama-sama berjuang melawan Orde Baru, maupun saat mendampingi Gus Dur ketika menjadi Presiden, hingga lalu dilengserkan oleh MPR.

Bagi Bondan, Gus Dur adalah teman diskusi yang ngomongnya menarik dan menyenangkan. Ia selalu punya joke ketika bicara. Pergaulan Gus Dur pun tidak hanya di lingkungan para kiai dan pesantren, ia bergaul dengan siapa saja, terutama dengan mereka yang biasanya dikategorikan sebagai kaum intelektual dari berbagai latar belakang agama dan aliran politik. Ia begitu akrab dengan Romo Franz Magnis Suseno yang Katolik, Aristides Katoppo yang Kristen, Rahman Tolleng atau Todung Mulya Lubis yang merupakan simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI). (Hal. 85)

Sebagaimana diketahui, dalam dunia pesantren, Gus Dur bisa dibilang berdarah biru. Ia adalah cucu dari Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan putra dari K.H Wahid Hasyim (Anggota BPUPKI dan Menteri Agama pertama). Walau begitu, menurut Bondan, Gus Dur justru selalu menampilkan dirinya sebagai rekan biasa yang suka bergaul dengan siapapun, berdiskusi dan bercanda tanpa pilih-pilih orang. Ia juga tidak memilih teman dan bersikap terbuka kepada siapa saja serta selalu punya bahan untuk didiskusikan. (Hal. 77)

Sikap Gus Dur yang sederhana dan terbuka juga tercermin saat ia menjadi Presiden. Gus Dur menjadikan istana sebagai rumah rakyat. Bondan sering melihat banyak kiai dan rakyat dari daerah hanya memakai sandal dan sarung saat menghadap Gus Dur di istana. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh Presiden setelah Gus Dur.

Menurut Bondan, seluruh aktifitas Gus Dur dipandu oleh wawasan dan visi politik yang menjadi inti pemikiran Gus Dur. Wawasan dan visi tersebut antara lain; Pertama, Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama umat islam—memperjuangkan kepentingan umat islam karena NKRI bukan negara islam.

Kedua, Ukhuwah Wathaniyah, persaudaraan dalam ikatan kebangsaan—memperjuangkan kepentingan bangsa sebagai bentuk rasa senasib sepenanggungan karena sama-sama penduduk Hindia Belanda yang tertindas selama berabad-abad.

Ketiga, Ukhuwah Basyariah, persaudaraan sesama umat manusia—negara pada hakikatnya adalah entitas lembaga kekuasaan yang merepresentasikan kedaulatan rakyat, yang bertujuan melindungi dan memajukan kehidupan rakyat. Negara yang ideal adalah negara yang mengutamakan Ukhuwah Basyariah, yaitu nilai-nilai solidaritas dan kemanusiaan yang universal dan modern. Negara yang menjalankan demokrasi yang dapat menjamin hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berpikir. (Hal. 91-93)

Tiga hal di atas menjadi jawaban mengapa Gus Dur begitu peduli terhadap isu Demokrasi, HAM, Gender, atau kehidupan minoritas di Indonesia. Tiga visi ini jugalah yang nanti memandu aktifitas Gus Dur saat menjadi Presiden hingga dilengserkan. Banyak kisah dalam buku ini yang menjelaskan hal itu.

Untuk sekedar contoh, kebijakan Gus Dur saat berusaha menyelesaikan konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh menjadi bukti bekerjanya tiga visi politik di atas. Dalam upaya penyelesaian konflik itu, Gus Dur melakukan pendekatan non militer dengan menggelar dialog kepada tokoh GAM. Dialog ini digelar dalam rangka mencari solusi terbaik atas konflik yang telah berlangsung puluhan tahun tersebut. Bondan Gunawan adalah orang yang ditugasi Gus Dur melakukan dialog ini.

Walau belum mampu menyelesaikan konflik secara tuntas, tapi usaha Gus Dur setidaknya telah berhasil meredam konflik untuk semakin meluas. Kebijakan Gus Dur di Aceh ini disebut “Jeda Kemanusiaan”. Kebijakan tersebut ialah kesepakatan berlakunya genjatan senjata dengan pihak GAM. Masa jeda perang itu digunakan kedua belah pihak untuk mencari solusi penyelesaian konflik dan masalah Aceh. (Hal. 218)

Berbagai kisah yang telah diuraikan di atas adalah fragmen kecil dari berbagai sepak terjang Gus Dur yang terdapat di buku Hari-Hari Terakhir bersama Gus Dur. Masih banyak kisah menarik lain mengenai Gus Dur dalam buku ini.

Semua yang tertulis dalam buku ini bisa sedikit mengobati kerinduan kita akan sosok Gus Dur di tengah situasi kebangsaan kita yang masih morat-marit. Membaca buku ini, setidaknya kita akan diingatkan kepada dua hal dari sosok Gus Dur. Pertama, pribadinya yang sederhana, terbuka, dan berpandangan luas. Kedua, ide-ide besar Gus Dur tentang islam, Indonesia, dan dunia. Kedua hal ini nantinya dapat menjadi penguji, apakah Indonesia yang sangat dicintai Gus Dur ini telah berjalan sebagaimana mestinya atau belum.

Bondan Gunawan kini telah menyusul Gus Dur menghadap Sang Pencipta. Tepat pada tanggal 23 Mei 2019, Bondan meninggal dunia. Buku Hari-Hari Terakhir bersama Gus Dur menjadi salah satu bentuk persahabatan abadi antara dirinya dengan Gus Dur.

Identitas Buku

Judul: Hari-Hari Terakhir bersama Gus Dur

Penulis: Bondan Gunawan

Penerbit: Kompas

Cetakan: I, 2018

Tebal: xxiv+328

Leave a Response