Menimba ilmu adalah satu dari kebiasaan para ulama Nusantara terdahulu, maka tak asing lagi jika ulama kita memiliki catatan sejarah menimba ilmu nan jauh di Mekkah.
Sekian nama-nama ulama kenamaan yang kita kenal seperti Syekh Nawawi al-Bantany sampai Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’arie sang ulama pendiri ormas Islam terbesar di dunia yaitu Nahdatul Ulama pun mengenyam pendidikan di Mekkah.
Bahkan kecintaannya akan pengetahuan tak jarang membuat ulama kita menjadi pengajar di Mekkah seperti Syekh Nawawi al-Bantany, Syekh Zainuddin as-Sumbawi, Syekh Abdul Ghani al-Bimawy, Syekh Zainudin Bawean dan banyak lagi ulama-ulama ternama lainnya.
Koloni Jawi yang berada di Mekkah pun sempat mendirikan institusi pendidikan ternama yang berada di Mekkah yang dikagumi oleh ulama-ulama dunia. Hari ini pun beberapa ulama kita tetap menjadi bagian dari ulama berpengaruh di dunia, lihat saja contohnya Habib Lutfi Pekalongan yang memimpin jaringan Thariqoh dunia.
Jejaring ulama sampai ke belahan dunia oleh ulama nusantara sudah sejak lama terbentuk. Bahkan pendidikan dan nasionalisme adalah ciri khas bagi ulama nusantara, terbukti dengan didirikannya institusi pendidikan bernama Darul Ulum.
Sikap nasionalisme di kalangan ulama tidak terjadi hari ini saja, sikap itu telah jauh ditunjukkan oleh ulama kita terdahulu. Nasionalisme ulama tidak terhalang oleh ruang dan waktu, jarak dan lamanya berada di luar tanah air, tidak memudarkan rasa cinta akan tanah kelahiran. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh ulama sekaliber Syekh Yasin bin Isa al-Fadani dan ulama nusantara yang sedang menuntut ilmu di tanah Haramayn, sekitaran tahun 1930-an.
Berdirinya Madrasah Darul Ulum
Dalam buku Ahmad Baso Islam Nusantara jilid 1 (2017), mencatat sekitar tahun 1934 berdiri Madrasah Darul Ulum yang dibangun oleh ulama-ulama Nusantara, sebagai sikap atas pengajar di Madrasah Shaulatiyah yang menyebut orang nusantara ‘bodoh dan mudah di jajah’. Atas peristiwa ini, Madrasah Shaulatiyah yang awalnya sangat diminati oleh ulama nusantara, kemudian menarik diri dan membangun institusi pendidikan sendiri yang khas nusantara.
Maka, berdirilah Madrasah Darul Ulum, madrasah ini bukan saja lembaga pendidikan yang mengajarkan agama, tetapi juga mendidik ulama Nusantara untuk mencintai tanah airnya. Sesuai dengan sejarah berdirinya Madrasah Darul Ulum yang berada di tanah Haramayn ini adalah bentuk atas sikap nasionalisme, patriotisme ulama terhadap bangsanya sendiri.
Terdapat 120 santri dari Nusantara yang mengenyam pendidikan di Madrasah Darul Ulum di bawah pimpinan seorang ulama terkenal yaitu Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Madrasah inilah yang memberikan sumbangsi sikap nasionaslime di kalangan santri yang sedang menuntut ilmu di tanah Hadramayn.
Maka “ Hubbul Wathon Minal Iman “ bukanlah jargon biasa, ini adalah sikap ulama Nusantara terhadap negerinya, tidak heran ulama-ulama seperti Hadratusyekh K.H Hasyim Asy’arie, K.H Wahab Chasbullah, K.H Abbas Buntet Cirebon terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang kita kenal dengan peristiwa 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Bahkan fatwa ‘Resolusi Jihad’ sebagai hasil dari keputusan ulama Jawa-Madura sebagai rasa tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh Ir. Soekarno-Hatta. Rasa tanggung jawab untuk menjaga tanah air inilah yang mendorong munculnya resolusi jihad oleh ulama Jawa-Madura dan berdirinya Madrasah Darul Ulum di tanah Haramayn sebagai sikap nasionalisme yang ditunjukkan oleh ulama kita saat itu.
Kemudian, tidak ada alasan lagi bagi kita terutama umat Islam untuk tidak mencintai dan menjaga negara ini, terutama menjaga negara dari pihak yang ingin memecah-belah persatuan, menjaga negara dari kaum radikal-ekstrimis yang berbalut kata khilafah, yang ingin mendirikan negara Islam yang telah selesai perdebatannya Pancasila telah diakui sebagai dasar negara. Ulama terdahulu telah memberikan contoh kepada kita semua hari ini, untuk selalu mencintai tanah air dimana pun kita berada dan dalam kondisi apapun.
Ulama terdahulu pun siap mengorbankan nyawa demi menjaga negara kita dari penjajah, maka kita juga sebagai penerus untuk menjaga negara kita. Jika dahulu penjajah berbentuk negara, fisik dan jelas menindas serta merusak keharmonisan masyarakat Indonesia, sekarang ‘penjajah’ itu berbentuk buah pikiran yang menjangkit yang bernama Radikalisme-Ekstrimisme, ingin merubah negara, meneror kedamaian, dari paham inilah kita perlu menjaga negara, menjaga persatuan.