Sudah hampir satu bulan umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan ibadah Ramadhan bersamaan dengan badai pandemi virus corona. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, Ramadhan hanya tinggal menghitung hari.

Momen yang selalu teringat oleh sanubari umat dan paling didambakan pada bulan penuh keberkahan ini adalah hadirnya lailatul qadar.  Menurut keterangan sebagian besar ulama Lailatul Qadar dapat ditemukan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan yang ganjil.

Pendapat tersebut berdasar pada beberapa hadits Rasulullah Saw di antaranya, “Carilah lailatul qadar di sepuluh terakhir malam ganjil Ramadhan,” (H.R. Bukhari).

Juga keterangan Aisyah ra. Yang menceritakan, “Ketika memasuki sepuluh akhir Ramadhan, Rasul sangat fokus beribadah, mengisi malamnya dengan ibadah, serta membangunkan keluarganya untuk mengajak beribadah,” (H.R. Bukhari).

Begitu istimewanya lailatul qadar hingga hampir semua umat Islam berlomba-lomba untuk berjumpa dan meraih keistimewaannya yang secara ringkas terekam pada di satu firman-Nya pada surat Al-Qadr.

Leopold Weiss atau dikenal dengan Muhammad Asad seorang penerjemah juga penafsir dengan karya monumentalnya The Message of Quran memaknai surat Al-Qadr agak berbeda. Baginya lailatul qadar (night of destiny) adalah malam diturunkannya Al-Qur’an. Malam tersebut begitu istimewa sebab lebih baik dari 1000 bulan.

Selain itu, pada malam itu turun berbondong-bondong malaikat membawa ‘Ruh’ (wahyu Ilahi) dengan seizin pemelihara mereka. Maka malam itu aman hingga terbit fajar.

Keterangan lebih lanjut turunnya Al-Qur’an pada lailatul qadar disampaikan Ibnu Katsir dari keterangan Ibnu Abbas bahwa al-Quran turun pada malam itu (lailatul qadar) secara utuh sekaligus dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-‘Izzah yang ada di langit dunia. Lalu diturunkan pada Rasulullah Saw secara rinci dan berangsur sesuai kejadian selama dua puluh tiga tahun masa kenabian.

Menariknya, Indonesia memiliki tradisi memperingati turunnya Al-Qur’an pada 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an). Padahal di Mesir Nuzulul Qur’an diperingati di malam 27 Ramadhan dengan didasari beberapa redaksi hadits lailatul qadar. Hal tersebut bukan tak beralasan, nyatanya Al-Qur’an memang diturunkan melalui beberapa fase.

Adapun diperingatinya Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan di Indonesia konon dicetuskan oleh Haji Agus Salim. Tentu pendapat itu memiliki alasan dengan pemahaman ayat 185 surat Al-Baqarah yang menyatakan Al-Qur’an turun di bulan Ramadhan sebagai petunjuk (hudan), dan sebagai penjelasan-juga pembeda antara mana yang benar dan yang salah (al-furqan).

Al-Furqan ini yang kemudian dihubungkan (munasabah) dengan yaumul furqan pada Surat al-Anfal ayat 41 seperti masih merujuk Ibnu Katsir, hari furqan merupakan hari dimana Perang Badar berkecamuk pada tanggal 17 Ramadhan.

Selain menjadi peringatan turunnya Al-Qur’an, peringatan Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan bisa sekaligus memperingati Perang Badar yang sangat menentukan.

Syahdan, terlepas dari itu semua, malam lailatul qadar tetaplah menyimpan sejuta misteri karena yang menjadi bagian pengalaman ruhani. Lailatul qadar sendiri bisa dimaknai dengan “malam kemahakuasaan (Tuhan)” karena “qadr” merupakan bagian dari al-Qadir yang berarti “Maha Kuasa” yang menjadi sifat Tuhan.

Selain itu ia pun bisa bermakna “malam penentuan” sebab qadr bisa terambil dari derivasi taqdir yang ditegaskan oleh Muhammad Asad diungkapkan dengan “Night of Destiny” (malam takdir/penentuan).

Makna yang pertama merupakan bagian dari pentasbihan keagungan Tuhan yang menurunkan al-Quran pada umat manusia di malam agung itu, sedangkan makna kedua memiliki implikasi pemahaman yang cukup beda dan transendental karena lailatul qadar dipandang sebagai momen spiritual yang langka penentu kehidupan manusia.

Makna seperti itulah yang diuraikan Muhammad Asad dalam The Message of Quran. Baginya “Ruh” pada ayat 3 Surat Al-Qadr bukan dimaknai Ruh Kudus (Jibril) seperti kebanyakan mengartikan.

Namun, ia dibahasakan dengan “bearing divine inspiration” atau wahyu ilahi itu sendiri, yang juga bisa diartikan ilham (bagi yang bukan Nabi). Sebab, “Ruh” biasa digunakan Al-Qur’an untuk merujuk pengertian “wahyu” atau “ilham” khususnya “wahyu/ilham ilahi” atau “divine inspiration.”

Akhirnya dengan merujuk Al-Zamakhsyari, Muhammad Asad akhirnya berpendapat bahwa “inspiration” berfungsi menghidupkan hati yang (seakan) sudah mati karena kebodohannya, oleh karenanya inspiration ibarat halnya ruh bagi tubuh agar tetap hidup.

Makna yang dihadirkan Muhammad Asad menegaskan bahwa lailatul qadr secara totalitas merupakan malam kemahakuasaan (Tuhan) dengan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.

Selain itu, lailatul qadr juga merupakan “malam penentuan” bagi setiap manusia untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih baik dengan cara memperoleh ‘kesadaran ilahi’ yang diturunkan pada malam seribu bulan (bila dikonversikan kurang lebih 80 tahun karena bisa menentukan pola kehidupannya ke depan).

Walhasil, lailatul qadar apapun dan bagaimanapun makna sesungguhnya, pada intinya Rasulullah Saw menganjurkan setiap umatnya untuk berusaha mencapai lailatul qadar untuk menyikap tabir kerahasiaan dan misterinya.

Mari, detik-detik jelang berakhirnya Ramadhan pada situasi pandemi ini kita sama-sama mendekatkan diri dan berniat meraih ‘malam penentuan’ untuk segera beralih menyongsong kehidupan yang sudah terlalu lama berkubang dari makhluk material—menjadi makhluk spiritual.

Demikian pandangan-pandangan dalam menguak makna Lailatul Qadar sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Insya Allah dengan hati yang ikhlas dan memiliki kesiapan ruhani yang bersih, seraya bermunajat kepada Allah, kita semua mampu mendapatkan “inspiration” untuk bisa menerima, memahami, menghayati dan mengamalkan Al-Qur’an di malam ganjil Ramadhan kita dijumpai saat ini. Wallahu A’lam.

Leave a Response