Lahir di Negri Abubu, Pulau Nusalaut yang kini dikenal sebagai kepulauan Uliase pada tanggal 4 Januari 1800. Martha Christina Tiahahu (selanjutnya ditulis dengan Martha) adalah putri dari Paulus Tiahahu dan Sina. Ibunya telah meninggal sejak Martha masih kecil.
Sejak Martha lahir, Belanda masih memperlihatkan sikap angkuhnya. Seluruh kaum pribumi harus tunduk dan mengikuti seluruh perintah pemerintah Belanda. Hal inilah yang menyebabkan Martha memendam kebencian terhadap Belanda dan bersikeras mengusir Belanda dari desanya.
Di saat usianya beranjak 17 tahun, diadakanlah perundingan di tengah hutan yang membahas tentang strategi perang untuk menyerang dan melumpuhkan pemerintah Belanda. Perundingan tersebut diadakan pada tanggal 14 Mei 1817.
Perundingan ini dihadiri oleh ayah Martha, Kapitan Paulus Tiahahu yang menjadi komandan perang ketika itu. Keputusan dari perundingan yaitu menunjuk Martha menjadi salah satu pemimpin pasukan perang bersama ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu. Semua pasukan berada di bawah komando Kapitan Pattimura.
Pada tanggal 16 Mei 1817 terjadilah pertempuran yang luar biasa di Saparua. Di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura, rakyat Saparua menyerbu benteng Duurstede. Tentara belanda dan penghuni benteng tewas termasuk Residen Van den Berg.
Bersamaan dengan pertempuran di Saparua, di daerah Nusa Laut Kapitan Paulus Tiahahu dan Martha mencoba merebut benteng Beverwijk. Semua tewas hanya seorang Kopral Belanda bernama Biroe dan dua orang serdadu Indonesia yang selamat dalam penyerangan ini. Pada tanggal 17 Mei 1817, benteng Beverwijk berhasil direbut pasukan Indonesia.
10 Oktober 1817 benteng Beverwijk kembali ke tangan Belanda. Hal ini disebabkan oleh pengkhianatan seorang Patih Akoon. Dia memberitahukan kepada pihak Belanda perihal strategi yang akan digunakan oleh pasukan rakyat Maluku dalam menghadapi pasukan Belanda.
Pertempuran hebat oleh rakyat Maluku melawan pasukan belanda terjadi di daerah Ulat dan Ouw. Martha dengan beraninya memberikan semangat kepada para perempuan di Ulat dan Ouw untuk tidak takut terhadap pasukan Belanda.
Dalam pertempuran tersebut, pasukan rakyat Maluku berhasil menewaskan pemimpin pasukan perang Belanda yang bernama Meyer. Karena kematian Meyer, pemimpin perang akhirnya diambil alih oleh Kapten Vermeuleun Krieger.
Serangan demi serangan tidak berhenti begitu saja. Setelah kekalahannya melawan pasukan Maluku, Kapten Vermeuleun Krieger kemudian memerintahkan penyerangan kembali terhadap pasukan Maluku. Serangan kembali dari Belanda menyebabkan para pemimpin rakyat di Ulat dan Ouw ditangkap oleh pasukan Belanda.
Para pemimpin rakyat Maluku termasuk juga Kapitan Paulus Tiahahu, ayah Martha dan Martha sendiri dibawa ke kapal perang Eversten milik Belanda. Mereka diperiksa oleh Laksamana Muda Beuyskers. Setelah masuk ke dalam kapal ternyata terdapat banyak sekali pasukan Maluku yang juga diasingkan di dalamnya.
Ayah Martha, Kapitan Paulus Tiahahu dianggap sebagai pejuang yang sangat berbahaya bagi pasukan Belanda. Akhirnya Kapitan Paulus dihukum mati dan akan dieksekusi di Nusa Laut. Setelah Kapitan Paulus Tiahahu dieksekusi oleh Belanda diharapka tidak ada lagi orang yang berani menentang Belanda.
Pada 16 November 1817, Kapitan Paulus Tiahahu dan Martha dibawa ke Nusa Laut dan ditahan di benteng Beverwijk dengan pengawalan yang sangat ketat. Sehari setelah itu, Kapitan Paulus Tiahahu dibawa ke lapangan tempat di mana dia akan dieksekusi mati. Lapangan tersebut berada tepat di belakang benteng Beverwijk.
Eksekusi mati Kapitan Paulus Tiahahu disaksikan oleh seluruh rakyat yang berada di beteng Beverwijk. Semua rakyat mengikuti perintah pemimpin Belanda dan tidak ada satupun yang berani melakukan perlawanan terhadapnya.
Rasanya begitu berat menjalani kehidupan setelah melihat kematian ayahnya. Eksekusi mati yang dijatuhkan kepada ayahnya membuat Martha memilih untuk tinggal di hutan. Martha masih berusaha mengumpulkan pasukan ayahnya yang masih tersisa.
Keinginan Martha tidak berjalan dengan mulus. Martha dan 39 pasukan lainnya tertangkap oleh pasukan Belanda. Mereka dihukum dan dibuang ke pulau Jawa untuk menjadi pekerja paksa di sebuah kebun kopi.
Perjalanan Martha dan pasukan yang tertangkap lainnya menuju pulau Jawa menggunakan kapal Eversten. Selama di atas kapal, Martha tidak pernah makan ataupun minum. Martha juga tidak pernah minum obat yang diberikan oleh pihak Belanda. Martha hanya terdiam dan memilih untuk bungkam. Hal ini menyebabkan kesehatan Martha semakin memburuk.
Dalam perjalanannya menuju pulau Jawa, Martha menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 2 Januari 1818. Martha meninggal di atas kapal Eversten. Atas perintah pemimpin pasukan Belanda Ver Huell, jenazah Martha dibuang ke laut Banda dengan penghormatan militer. Martha meninggal di usia masih sangat muda.
Pada tanggal 20 Mei 1969, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Indonesia kepada Martha Christina Tiahahu. Penghargaan ini diberikan sebagai rasa terima kasih atas jada dan pengorbanannya melawan pasukan Belanda. Terima kasih Martha Christina Tiahahu, jasamu tidak akan pernah terlupakan.